Oleh: Diki Mardiansyah*
Rencana pembelajaran tatap muka di kampus harus ditunda demi keselamatan bersama. Pada mulanya kabar baik datang untuk mahasiswa yang bosan dan jenuh dengan pembelajaran dalam jaringan (daring). Koran Harian Suara Merdeka tertanggal 22 Maret 2021 mengabarkan kegiatan belajar-mengajar diizinkan untuk digelar (lagi) secara tatap muka. Pada saat itu, pemerintah berencana mengizinkan perkuliahan tatap muka secara bertahap mulai April 2021. Namun, hingga Juli, pembelajaran tatap muka urung terlaksana.
Kasus Covid-19 semakin menggila di berbagai daerah, terutama di Jawa Tengah dan tentunya daerah-daerah lain. Hal ini, menjadi salah satu penyebab utama pembelajaran tatap muka hingga kini belum terlaksana. Apalagi tercatat pada 21 Juni 2021, Indonesia tembus 2 juta kasus Covid-19. Pada 8 Juli 2021, kasus harian mencapai angka tertinggi selama pandemi, yakni 38.391 kasus (Kemenkes, 8/7/2021).
Tiap hari, angka dan rekor baru terus bertambah. Pasien Covid-19 meningkat, rumah sakit kolaps, oksigen semakin langka, rumah sakit pasang tenda darurat, orang-orang terdekat banyak yang tertular, dan kabar duka terus berdatangan. Kita semua harus semakin waspada.
Menyikapi lonjakan kasus Covid-19, pemerintah daerah dan sekolah/perguruan tinggi tidak memaksakan pembelajaran tatap muka dimulai bulan Juli mendatang (Harian Kompas, 25/6/2021). Hal itu direspon oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang mengungkapkan pembelajaran tatap muka ditunda sampai kasus Covid-19 melandai.
Rencana kembali diadakannya pembelajaran tatap muka di perguruan tinggi semestinya harus ditunda demi keselamatan bersama. Bagaimanapun, keselamatan mahasiswa, dosen, dan seluruh civitas academica di lingkungan kampus menjadi yang utama. Meskipun sebagian besar mahasiswa menginginkan segera dilaksanakan pembelajaran tatap muka.
Problem
Keinginan kembali terselenggaranya pembelajaran tatap muka bukan tanpa sebab. Lebih dari setahun mahasiswa tidak melaksanakan pembelajaran secara tatap muka di kampus. Ada mahasiswa baru angkatan 2020 yang bahkan belum “mencicipi” bangku, fasilitas, hingga belum bertemu teman baru di kampusnya sendiri. Belum lagi, pembelajaran daring selama pandemi menimbulkan kebosanan mahasiswa. Kebosanan menatap gawai dan materi yang sulit dipahami karena keterbatasan dosen menyampaikan materi dan alasan personal mahasiswa sendiri. Kebosanan lain, lahir karena tugas-tugas menumpuk, bahkan tidak mendapatkan timbal balik (feedback) dari dosen.
Bulan April lalu, saya menulis opini berjudul “Simalakama Perkuliahan Tatap Muka” yang termuat di linikampus.com—sebuah media alternatif mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes). Tulisan tersebut memuat kedilematisan antara dilaksanakan atau tidaknya perkuliahan tatap muka. Tidak dilaksanakan, akan membuat “Generasi yang Hilang” seperti yang dituliskan oleh Saratri Wilonoyudho di Suara Merdeka, 26 Maret 2021.
Prof. Saratri mencatat, jika pandemi Covid-19 berlangsung tiga tahun saja, dan tatap muka proses pendidikan ditiadakan. Oleh sebab itu, siswa kelas VI Sekolah Dasar (SD) tiga tahun kemudian otomatis akan duduk di kelas X Sekolah Menengah Atas (SMA). Masalahnya, jika proses daring selama tiga tahun tersebut tidak optimal, maka siswa yang tiba-tiba duduk di kelas XII SMA dikhawatirkan, pengetahuan dan wawasannya masih setara siswa SD.
Kekhawatiran itu bisa saja dirasakan oleh mahasiswa baru angkatan 2020 dan tentunya calon mahasiswa baru angkatan 2021. Jika saja pandemi berlangsung selama empat tahun. Mereka mahasiswa baru angkatan 2020 yang belum merasakan sama sekali pembelajaran tatap muka di kampus akan wisuda dan bergelar sarjana.
Tidak lucu rasanya sudah sarjana, tanpa merasakan perkuliahan tatap muka di kampus, mengenal iklim di kampusnya sendiri, menjalin relasi, dan hanya melaksanakan pembelajaran daring. Namun, dilaksanakan pembelajaran tatap muka di masa pandemi ini memang memiliki risiko yang sangat tinggi. Tidak ada pilihan lain selain menunda pembelajaran tatap muka demi keselamatan nyawa.
Selain problem tersebut, problem dari sudut pandang lain pun muncul. Dikutip dari Materi Paparan Direktur Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan—Amich Alhumami—mengenai dampak negatif berkepanjangan pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi. Dampak tersebut di antaranya ancaman putus sekolah/kuliah, penurunan capaian belajar, hingga kekerasan pada anak dan risiko eksternal lain. Temuan baru mencatatkan, pandemi memperlebar kesenjangan pendidikan. Mereka yang berkecukupan fasilitas semakin berkembang, sebaliknya yang kurang makin tertinggal.
Hal-hal itulah yang kemudian menjadi problem jika pembelajaran daring dilaksanakan berkepanjangan, menunggu pandemi melandai. Namun, kita harus tetap kuat bertahan dengan pahit dan manisnya pembelajaran daring. Waktu demi waktu akan menyadarkan. Pada akhirnya, tulisan “Simalakama Perkuliahan Tata Muka” bulan April lalu—yang ditulis sebelum libur lebaran dan Covid-19 belum separah sekarang—sudah tidak menjadi simalakama lagi. Sebab, perkuliahan tatap muka harus ditunda, demi kesempatan untuk hidup yang lebih panjang.
Demi Keselamatan
Barangkali kita semua sepakat, perkuliahan tatap muka harus ditunda sampai batas waktu yang belum ditentukan. Program vaksinasi bagi dosen, mahasiswa, dan civitas academica diharapkan bisa bertahap selesai dilakukan. Presiden menargetkan jumlah penerima vaksin harian dikebut hingga sejuta peserta sampai bulan Juli (Harian Kompas, 27/6/2021). Percepatan vaksinasi Covid-19 tentu saja diperlukan dalam strategi penanganan Covid-19.
Langkah ini perlu diiringi peningkatan tes, pelacakan, dan disiplin protokol kesehatan. Langkah-langkah tersebut diperlukan agar lonjakan kasus Covid-19 yang terjadi saat ini bisa direm. Jika ada kesempatan di daerah masing-masing untuk vaksinasi, maka segeralah mendaftar dan ajak teman-teman untuk divaksin. Jangan lelah taat protokol kesehatan. Jika program vaksinasi berhasil dilakukan di seluruh penjuru Nusantara, akan tercipta imunitas atau kekebalan tubuh bersama. Dengan itu, kehidupan lekas pulih dan pembelajaran tatap muka akan kembali terlaksana.
Pandemi membuat kegelisahan umat manusia dan kerugian di berbagai bidang kehidupan, tak terkecuali nasib mahasiswa di perguruan tinggi. Kita mengingat Cicero, filsuf berkembangsaan Italia, yang menyatakan, “Keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi”. Akhirnya, demi keselamatan bersama, rencana pembelajaran tatap muka harus ditunda hingga waktu yang belum ditentukan. Semoga pandemi lekas berakhir dan keadaan membaik.
*Mahasiswa Ilmu Hukum Unnes 2018