Oleh: Laili Ayu Ramadhani*
Identitas Buku Judul : Bukan Perawan Maria Pengarang : Feby Indirani Jumlah Halaman : xiv + 202 Penerbit : PT Bentang Pustaka Tahun Terbit : 2021
Para pembaca mungkin terhubung dengan satu benang merah keyakinan, bahwa spiritualitas adalah hubungan yang sangat intim antara individu dan Sang Pencipta, yang tak dapat dihakimi siapa pun (halaman 198).
Agaknya, agama menjadi isu sensitif bagi sebagian orang. Pembahasan terkait agama kerap dikemas dengan pembawaan yang serius, bahkan terkadang menakutkan. Hal tersebut berbanding terbalik dengan kumpulan cerpen (kumcer) Bukan Perawan Maria yang dianggit oleh Feby Indirani. Meski mengusung tema agama, Feby mengemas cerpen-cerpennya dengan topik, alur, dan bahasa yang santai.
Pada dasarnya, Bukan Perawan Maria menjadi buku pertama dari trilogi islamisme magis garapan Feby. Total ada sembilan belas cerpen yang dimuat dalam buku ini. Semua cerpennya mengangkat tema agama yang didasarkan pada sederet pertanyaan dan perenungan ‘liar’ penulis. Bagaimana jika iblis pensiun? Bagaimana jika malaikat memilih cuti? Bagaimana jika seekor babi ingin masuk Islam? Dan masih banyak pertanyaan lainnya.
Tak jarang, realitas yang dihadirkan dalam cerpen ini bertentangan dengan teks yang turun-temurun di masyarakat. Tak ayal jika cerpen-cerpen ini belum bisa diterima dengan legowo oleh sejumlah kalangan, khususnya yang memiliki pemikiran konservatif. Lebih-lebih karena topik yang diangkat menyangkut soal agama—sesuatu yang dianggap sakral. Dengan begitu, besar peluang buku ini untuk menjadi bulan-bulanan perdebatan bagi khalayak.
Islamisme Magis
Bergayut pada definisi dari penulis, islamisme magis berarti sebuah karya fiksi yang berakar dari tradisi, mitologi, dan keseharian hidup berislam, yang lekat dengan hal gaib bagi pemercayanya. Feby menyuguhkan realitas tentang hal-hal yang bersifat irasional. Sebagai contoh, cerpen yang bertajuk Poligami dengan Peri (halaman 50). Singkatnya, istri tokoh Aku memintanya untuk menikah lagi dengan peri. Bagaimana mungkin seorang manusia berpoligami dengan peri? Jelas saja, hal itu bertentangan dengan fakta dan pemahaman yang diyakini masyarakat.
“Aku meminta kamu menikah dengan peri.”
Petir kembali menyambar dadaku. Aku tahu dia tidak sedang bercanda. (halaman 52)
Cerpen lain pun menyajikan realitas irasional yang serupa. Tokoh cerita bertindak sebagaimana latar belakang pada cerpen. Meski kerap berbenturan dengan realitas, tapi penulis berusaha menjaga kelogisan melalui gerak alur. Alhasil, pembaca bisa menemukan kepolosan tokoh cerita dalam menghadapi realitas irasional pada cerpen. Hal tersebut justru menjadi keunikan tersendiri. Pembaca seolah diberikan sajian menggelitik lewat fantasi imajinatif di setiap ceritanya.
Imajinasi itu tumbuh dari kegalauan dan perenungan Feby dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Sampai akhirnya ia memilih untuk menggunakan karya sastra sebagai wadah kegelisahannya. Pendekatan yang digunakan pun beragam. Mulai dari yang penyampaiannya terkesan main-main, lugas, bahkan terkadang terselubung. Tak jarang, masalah yang dihadirkan membuat pembaca berpikir ulang terhadap pemikiran yang jamak di masyarakat.
Sejatinya, konsep islamisme magis lahir dari istilah realisme magis. Unsur magis yang dimaksud yakni hal-hal tak kasat mata saat bicara tentang agama. Unsur tersebut bisa dijumpai pada cerpen-cerpen di buku ini. Antara cerpen satu dengan lainnya memiliki sisi magis tersendiri, yang tidak bisa dinalar sepenuhnya.
Relaksasi Beragama
Tidak hanya mengusung konsep islamisme magis, buku ini juga mengkampanyekan gerakan relaksasi beragama dengan motto “Relax, it’s just religion”. Bisa dikatakan, Feby cukup berani untuk membuat revolusi tersebut. Tak bisa memungkiri, saat ini banyak orang yang seolah-olah keranjingan agama. Karena terlalu gandrung, agama justru digunakan sebagai pembenaran perilaku yang tidak semestinya. Sejalan dengan hal itu, makin ke sini, makin banyak pula orang yang dengan mudah mengkafirkan orang lain.
Terkadang orang-orang terlalu curiga tentang banyak hal, khususnya yang bersangkutan dengan agama. Bahkan imajinasi pun makin dipersempit ruangnya karena rasa curiga. Tak hanya imajinasi, humor juga seolah dibatasi. Padahal umat beragama yang baik adalah yang bisa menanggapi imajinasi dan humor dengan wajar.
Untuk itu, Feby merefleksikan kehidupan beragama saat ini ke dalam tulisannya. Ia juga berusaha untuk menuangkan keresahannya terhadap kondisi beragama yang diwarnai ketegangan. Alasan itulah yang membuat Feby merilis buku Bukan Perawan Maria. Seakan menjadi detoksifikasi sekaligus sindiran pada realitas beragama. “… untuk mengkampanyekan kemerdekaan beragama dan berkeyakinan dalam karya sastra dan seni” (halaman xiv).
Secara sederhana, gerakan relaksasi beragama mengajak kita untuk berpikiran terbuka. Terlebih, pendekatan sastra yang digunakan membuat jangkauan gerakan ini makin luas. Melalui tulisannya, Feby mengajak pembaca untuk berempati pada orang lain yang memiliki tafsir berbeda terkait agama. Sederet cerpen pada buku ini juga bisa menjadi alternatif di tengah kebuntuan dan ketegangan obrolan seputar agama.
Di luar imajinasi liar yang diusung oleh penulis, buku ini bisa dijadikan bahan renungan bagi pembaca. Tak masalah jika belum sepakat dengan imajinasi yang disodorkan penulis. Perlu digarisbawahi, cerpen-cerpen ini tidak untuk mendoktrin pembaca agar mempercayai realitas cerita. Penulis hanya menawarkan percakapan baru tentang agama dan spiritualitas.
*Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes 2019