Kehadiran Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi menuai pro dan kontra. Pasalnya, peraturan yang diteken pada 31 Agustus 2021 dan diundangkan pada 3 September 2021 itu mendapatkan kritik dari berbagai pihak.
Kritik ini muncul terkait frasa “tanpa persetujuan korban” dalam Pasal 5 Permendikbud Ristek 30 Tahun 2021. Beberapa pihak menganggap frasa tersebut sebagai bentuk legalisasi zina atau seks bebas di lingkungan perguruan tinggi.
Untuk menggali perspektif dari sudut pandang akademisi dan konsep hukum Islam dalam memandang perdebatan tersebut, Linikampus mewawancarai Siti Rofiah, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo, aktivis, dan peneliti Elsa Semarang, (30/11).
Bagaimana tanggapan Anda terhadap maraknya kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi?
Maraknya kasus-kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi sebenarnya sudah terjadi sejak lama, tapi baru terungkap baru-baru ini. Pada 2018 sampai 2019 saya terlibat di dalam collecting data juga penelitian yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan bersama dengan Dirjen Pendis (Direktorat Jenderal Pendidikan Islam), untuk pendataan kekerasan seksual di perguruan tinggi, dan angkanya memang sangat besar sekali.
Saat itu melibatkan 16 PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri) dan selama kurang dari 1 tahun itu ada 1.011 kasus kekerasan seksual. Angka tersebut termasuk ke dalam angka yang fantastis. Itupun baru yang di PTKIN, belum yang di PTKIS (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta), belum yang di PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Saat itu juga belum se-booming sekarang. Jadi kalau sekarang maraknya kasus tersebut booming di media, saya sudah tidak kaget.
Kedua, tentu saya sebenarnya prihatin ya terhadap kasus ini karena makin lama tidak berkurang, tetapi justru semakin bertambah. Tetapi di satu sisi, selain prihatin saya juga senang. Hal tersebut karena saat ini media memblow up sehingga orang yang tadinya tidak aware dan tidak punya wawasan tentang hal ini menjadi terbuka. Dengan maraknya kasus ini maka terbuka bahwa kasus ini fakta dan bukan isapan jempol, ini bukan hanya isu tetapi ini adalah fakta yang tidak bisa ditolak.
Bagaimana pandangan Anda terhadap disahkannya Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi?
Kalau terhadap permendikbud tentu saya appreciate, saya senang, karena sangat penting. Ini adalah sebuah terobosan yang saya kira sangat tepat. Inilah kehadiran negara, memang negara itu harus hadir di dalam situasi yang dibutuhkan. Ini kan kita butuh perlindungan terhadap kekerasan seksual, perlindungan akan kebutuhan rasa aman, jaminan rasa aman di dalam belajar, di konteks perguruan tinggi, saya kira sangat pas.
Bagaimana pendapat Anda terkait Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 dari tinjauan syariat Islam?
Kalau tinjauannya syariat Islam, maka kita bisa melihat dari tujuan syariat Islam itu sendiri. Tujuan dari syariat Islam kalau kita lihat teorinya namanya Maqashid Al-Syari’ah. Ada lima hal yang dirumuskan dalam Maqashid Al-Syari’ah. Jadi syariat Islam itu ditujukan untuk melindungi lima hal:
- Hifdz al-Dîn: untuk menjaga atau memberikan perlindungan terhadap agama
- Hifdz al-áql: menjaga atau memberikan perlindungan terhadap akal
- Hifdz al-Mâl: memberikan perlindungan terhadap harta benda
- Hifdz al-nafs: menjaga, melindungi jiwa dan kehormatan setiap individu
- Hifdz al-Nasl: perlindungan untuk menjaga keturunan
Kalau dilihat dari sini, yang namanya kekerasan seksual itu bertentangan dengan nilai-nilai Maqashid Al-Syari’ah. Misalnya di dalam konteks Hifdz al-áql, kebebasan untuk berpikir termasuk untuk mendapat pendidikan. Terjadinya kekerasan seksual itu melanggar hak pendidikan. Seringkali korban menjadi terhambat akses pendidikannya. Kalau sudah terjadi biasanya dia akan trauma, gangguan psikologis, dan seterusnya. Sehingga, dia memiliki hambatan dalam belajar, ga konsentrasi lagi, takut ke kampus.
Lalu Hifdz al-Mâl, akses ekonomi. Orang kalau mengalami kekerasan seksual imbasnya macam-macam. Terganggu pekerjaannya, sehingga yang tadinya kerjanya lancar, kemudian jadi terganggu. Misalnya, dalam konteks kampus, korban tidak selalu mahasiswi bahkan dosen juga bisa menjadi korban. Ketika dosen itu mengalami tindakan kekerasan, lalu di dalam aktivitas akademik itu menjadi terganggu, itu juga akan berimbas pada akses ekonominya.
Hifdz al-Nasl, karena di sini, kekerasan seksual bisa menyebabkan kerusakan organ tubuh misal fungsi reproduksi. Hifdz al-nafs, karena banyak sekali korban-korban yang kemudian merasa depresi dan kemudian itu memicu untuk (konteks paling ekstrem) bisa bunuh diri.
Jadi, dari sisi semua aspek di dalam Maqashid Al-Syari’ah saya kira terlanggar di sini. Yang penting untuk kita ketahui, bahwa Islam itu melarang semua jenis perilaku yang bisa merusak kehormatan dan martabat manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Karena manusia itu makhluk yang dimuliakan oleh Allah, kita bisa cek itu di berbagai ayat-ayat Al-Quran, banyak sekali yang mengatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang dimuliakan.
Sehingga prinsip ajaran Islam bisa kita ketahui, prinsipnya itu untuk melindungi kemuliaan, kemerdekaan dan juga keadilan untuk manusia. Maka, Islam itu memerintahkan untuk saling tolong menolong, saling bersaudara, dan menjunjung tinggi kesetaraan. Jadi ketika terjadi kekerasan seksual, menurut saya itu melanggar semua perintah tadi. Kekerasan seksual dalam segala bentuknya adalah haram dan negara wajib hadir untuk memberikan jaminan pemenuhan terhadap hak-hak korban kekerasan dan juga hak-hak setiap manusia untuk tidak mengalami kekerasan. Jadi, dalam perspektif syariat Islam, saya kira ini sangat penting. Ini menjadi cara untuk mencapai jaminan atas perlindungan.
Apakah dalam agama Islam sendiri terdapat ajaran untuk mencegah kekerasan seksual ataupun untuk menangani korban?
Di dalam ilmu fikih itu ada kaidah-kaidah fiqhiyah yang menjadi pedoman di dalam merumuskan fikih. Di dalam kaidah itu (ini untuk memperkuat argumen bahwa Islam itu melarang kekerasan seksual dan mendukung terhadap perlindungan), misalnya ada kaidah Dar’ul Mafasid, artinya menolak kemafsadatan. Hingga saat ini kekerasan seksual menghasilkan banyak sekali kemafsadatan, sehingga kita harus menolak itu. Lalu misalnya atas aturan ini (berupa apapun tidak hanya permendikbud) itu juga dibutuhkan. Kaidahnya misalnya jalbul mashalih, menarik kemaslahatan. Banyak korban yang sampai saat ini tidak terlindungi karena kita belum punya landasan hukumnya, jadi memang harus diatur.
Terkait anggapan bahwa frasa “tanpa persetujuan korban” merupakan bentuk legalisasi zina atau seks bebas di lingkungan perguruan tinggi, bagaimana Anda memandang hal tersebut?
Cara pikirnya harusnya tidak seperti itu. Jadi, ketika ada frasa “tanpa persetujuan korban” itu yang dilarang, lalu tidak kemudian otomatis mengatakan bahwa yang dengan persetujuan itu diperbolehkan. Gak begitu cara berpikirnya. Karena ini konteksnya kampus, di kampus masih ada aturan lainnya. Misalnya, kode etik. Kode etik kan mengatur hubungan asusila. Itu baru di dalam konteks kampus.
Kalau di luar, ada KUHP. Di sini sebenarnya kita hanya perlu menggunakan penafsiran yang sistematis saja. Kalau kita tidak menemukan di satu aturan itu, tapi sudah diatur di aturan lain, maka itu kita pakai. Jadi kita menghubungkan satu aturan dengan aturan lain yang relevan. Karena tidak bisa satu aturan itu mengatur semua hal.
Lagipula, frasa “tanpa persetujuan korban”, itu sebenarnya melekat pada pengertian kekerasan itu. Bukan kemudian kalau dengan persetujuan itu menjadi boleh, itu tidak. Ada satu lagi, saya kutip dari Pak Agung Wardana dari UGM, beliau menjelaskan begini, “Kita ini negara hukum, cuman sistem hukum kita beda dengan sistem hukum negara lain. Misalnya gini, kita itu tradisinya civil law, kita beda dengan tradisi common law. Itu yang sering kali dicampur-campur, sehingga orang menganggap kalau ada frasa ‘tanpa persetujuan korban’, itu maka kalo ada persetujuan itu boleh. Itu merupakan sudut pandang yang keliru”.
Penjelasannya begini, kalau di dalam tradisi civil law prinsipnya itu everything that is not permitted is prohibited. Jadi segala perbuatan yang tidak diperbolehkan berarti menjadi perbuatan yang dilarang. Kalau dalam sistem common law, anything that is not prohibited is permitted. Jadi sesuatu yang tidak dilarang itu berarti ia diperbolehkan. Karena kita menganut sistem hukum civil law, maka apabila tidak ada larangan bukan berarti itu diperbolehkan.
Jadi, logika hukum yang berlaku di sini, tindakan tersebut masih dilarang kecuali ada perintah tegas yang memperbolehkan. Pertama, bahwa frasa “tanpa persetujuan korban” itu bagian dari definisi yang tak terpisahkan. Kedua, jika itu tidak dilawan dari apa yang dilarang, belum tentu itu diperbolehkan juga.
Kita bisa lihat dari judulnya juga, judulnya itu pencegahan. Pencegahan berarti dihindari agar tidak terjadi, kok malah disuruh, ya itu tidak betul penafsirannya. Keliru. Harap dipahami bahwa permendikbud ini mengatur tentang kekerasan seksual. Dia tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kesusilaan tadi.
Adanya kritik soal frasa “tanpa persetujuan korban” yang disuarakan oleh organisasi Islam dan partai politik, apakah memungkinkan peraturan ini bakal ditinjau ulang?
Saya tidak bisa memastikan. Tetapi, yang namanya kemungkinan itu selalu ada. Karena bagaimanapun yang namanya peraturan itu sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh politik. Yang penting begini, kalaupun nantinya ada tinjauan ulang, revisi dan sebagaimana, menurut saya yang penting tidak mengurangi maksud dari perlindungan yang sudah ditentukan oleh peraturan ini. Kalau revisinya itu menjadi lebih baik, saya rasa tidak masalah. Tapi kalau justru mengurangi perlindungan terhadap korban, itu yang perlu untuk dikritisi lagi.
Apa saran, kritik, dan harapan Anda dengan disahkannya Permendikbud Ristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi?
Harapan saya dengan disahkan ini, orang-orang menjadi memiliki kesadaran untuk membatasi diri. Jadi angka kekerasan seksual bisa ditekan. Orang berpikir ulang untuk melakukan kekerasan. Orang juga perlu belajar berempati kepada korban. Jadi untuk belajar berempati itu kita tidak harus menjadi korban terlebih dahulu, jangan sampai. Tapi kita memahami bagaimana sih pengalaman korban itu, itu adalah pengalaman yang sangat valid dan tidak boleh diabaikan. Jangan sampai kita tidak punya keberpihakan hanya karena kita belum pernah mengalami itu.
Harapan saya orang-orang juga belajar untuk lebih meningkatkan literasi. Jangan termakan gosip, mengkonsumsi berita yang sepotong-potong. Ada orang yang bilang ini melegalkan zina dan sebagainya, lalu langsung ikut-ikut menolak tanpa mengecek, tanpa membaca terlebih dahulu draf permendikbudnya seperti apa tapi langsung menolak. Itu sekarang sudah tidak pas yang seperti itu. Harapan saya, orang meningkatkan literasi dengan banyak membaca.
Saran saya bagi siapapun jangan jadi pelaku. Tips yang paling utama agar tidak terjadi kekerasan adalah jangan jadi pelaku. Orang biasanya tips-tips nya jangan pakai pakaian yang ini, jangan keluar malam dan seterusnya. Itu semua sudut pandang menempatkan korban sebagai sumber terjadinya kekerasan. Itu gak bener karena korban itu bisa siapapun tidak selalu mereka yang berpakaian terbuka. Jangan kemudian membatasi seseorang agar tidak menjadi korban. Tetapi perkuatlah sistem perlindungannya.
Membatasi itu biasanya “jangan keluar malam”. Lho, orang keluar malam itu kan keperluannya macam-macam. Tidak bisa disamakan orang semua ga boleh keluar malam. Kalau dia kerjaannya malam gimana? Lalu gimana? Ya yang diperkuat sistem keamanannya. Jangan melarang orang untuk keluar malam, tetapi gimana agar orang keluar malam tapi tetap aman.
Daftar istilah:
- civil law: Sistem yang dianut oleh negara-negara Eropa kontinental yang didasarkan atas hukum Romawi.
- common law: Sistem hukum ini lahir di Inggris yang merupakan hasil perkembangan hukum yang timbul dari kegiatan badan-badan peradilan yang dikembangkan oleh para praktisi dan proseduralis sejak berabad-abad yang silam sejak kedatangan bangsa Normandia di Inggris.
Narasumber: Siti Rofiah, M.H., M.Si.
Pengalaman:
- Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo
- Peneliti ELSA (Lembaga Studi Sosial dan Agama) Semarang
- Penulis jurnal Hukum Progresif dan Perdamaian: Meretas Jalan Perdamaian Melalui Hukum yang Membebaskan
Reporter: Ulfi
Editor: Alya