Mengingat Satu Tahun Boyongan, Menjaga Nyala Api Perjuangan
Foto Esai Jepret

Mengingat Satu Tahun Boyongan, Menjaga Nyala Api Perjuangan

Babae memberi sambutan kepada warga Tambakrejo. Di pelataran masjid Al Barokah warga berkumpul untuk melaksanakan Kirab Boyongan. (Dok. BP2M/Vera)

Seusai salat zuhur, saya berjalan menuju rumah deret di Kampung Nelayan Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang. Sepanjang jalan, saya melihat anak-anak berlarian dari satu rumah ke rumah lain. Sesekali saya menyapanya. Kalau tidak salah, enam puluh persen warga di kampung ini adalah anak-anak. Hari ini, Rabu 2 Februari 2022, warga menggelar acara Grebeg Kampung Nelayan. “Pasti ramai ini,” ucap saya. 

Dalam riwayat masyarakat Jawa, kata grebeg diartikan sebagai sebuah perayaan. Umumnya, perayaan ini rutin yang diadakan  untuk memperingati suatu peristiwa penting. Acara Grebeg dapat dijumpai dalam perayaan tahunan Maulid Nabi Muhammad yang diadakan oleh Keraton Surakarta Hadiningrat dan Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Grebeg biasanya dilengkapi dengan gunungan hasil bumi sebagai ungkapan dari rasa syukur pada Tuhan. Lalu, masyarakat akan berebut isi gunungan tersebut.

Menurut Rahmadi, Ketua RT Kampung Nelayan, Grebeg Kampung Nelayan Tambakrejo akan diadakan setiap tahun. Perayaan ini diselenggarakan untuk mengingat penggusuran dan pemindahan warga ke rumah deret, sekaligus menjalin persaudaraan kepada semua pihak yang telah membantu warga Tambakrejo ketika penggusuran. 

Warga Tambakrejo melakukan arak-arakan keliling kampung dengan berpakaian khas nelayan–profesi yang menjadi identitas warga Tambakrejo. (Dok. BP2M/Vera)
Ibu-ibu juga mengikuti arak-arakan keliling kampung. (Dok. BP2M/Vera)

Kirab Boyongan dibuka dengan arak-arakan keliling kampung. Senandung selawat bergema melalui pengeras suara yang dipikul dua pria bercaping. Mereka, bersama sebagian besar warga Tambakrejo, memadati jalanan kampung. Para pria berpakaian sebagaimana nelayan yang hendak melaut, lengkap dengan jaring di tangannya. Para ibu juga tak mau kalah, mereka ikut berbaris. Begitu pun anak-anak Tambakrejo yang mengikuti iring-iringan dengan senyum lebar. Setelah itu, warga berkumpul di pelataran masjid Al Barokah untuk prosesi Kirab Boyongan. 

“Kita kawal Tambakrejo yang akan datang,” ucap Babae, budayawan yang bergiat di Taman Baca Raden Saleh Semarang dan menjadi pendamping Warga Tambakrejo.

Babae berdiri tegap dengan caping di kepala dan sarung  yang terikat di pinggang. Ia memberi sambutan kepada seluruh warga dan pengunjung di pelataran Masjid Al Barokah. Babae mengingatkan pentingnya menjaga kebersamaan. Ia dan kawan pendamping lainnya bersama warga Tambakrejo bersolidaritas melawan penggusuran. Dengan tangan terkepal ke udara, seolah sulut api membara, Babae berteriak lantang. Merdeka!

Mungkin saja, hari-hari ini teriakan lantang itu seolah tak bermakna. Namun bagi saya, teriakan itu mempunyai kekuatan, terutama bagi warga Tambakrejo: merdeka dari penggusuran, merdeka dari penindasan.

Babae memberikan sambutan dan menekankan pentingnya bersolidaritas dan menjaga kebersamaan antar sesama warga dan pendamping. (Dok BP2M/Vera)

Dalam arsip Majalah NuansA tahun 2019, Pemerintah Kota Semarang menetapkan Tambakrejo sebagai hunian liar. Lokasinya menempati wilayah bantaran yang berada dalam proyek normalisasi Sungai Banjir Kanal Timur. Saat itu, Tambakrejo menjadi hunian terakhir yang dinormalisasi. Sederet penolakan berdatangan, bahkan sampai beberapa kali terbit surat peringatan dan mediasi. Namun, penggusuran tetap dilakukan. Peristiwa itu terjadi pada 9 Mei 2019. Pemerintah boleh saja menggunakan kata pemindahan, penertiban, relokasi, atau istilah lainnya. Namun, warga yang belum mendapat hunian dan terpaksa tinggal di tenda darurat kolong jembatan mengisyaratkan ketidakhadiran negara dalam memenuhi hak dasar warganya.

“Pemerintah tidak boleh membiarkan warganya terlunta-lunta tidak punya rumah. Perumahan yang layak itu termasuk akses terhadap pekerjaan, budaya dan pendidikan, sosial, serta fasilitas umum yang terpenuhi,” ungkap Nico Wauran, advokat Lembaga Bantuan Hukum Semarang  yang mendampingi warga Tambakrejo saat itu, 24 Mei 2019.

Pelataran masjid ramai pengunjung. Tempat itu dihiasi bendera merah-putih, nyiur, dan deretan perahu karena menjadi lokasi berlangsungnya Kirab Boyongan. (Dok. BP2M/Vera)

Area masjid Al Barokah menjadi lokasi Kirab Boyongan. Pelataran masjid dihias bendera merah putih. Bibit-bibit nyiur juga menancap sepanjang jalan. Perahu-perahu berukuran sekitar dua meter berbaris rapi. Di sudut pelataran, terpampang foto-foto yang menangkap peristiwa penggusuran dan pasca penggusuran. Satu-dua orang datang melihatnya. Barangkali, orang akan mengingat peristiwa yang  meninggalkan luka mendalam bagi warga Tambakrejo itu. Kaminto selaku ketua panitia berkata, “Tujuan awal, (adalah) kita mengingat penggusuran, (dan) pada waktu menempati rumah (deret) setelah penggusuran”.

Makanan yang dikumpulkan warga di pelataran masjid. (Dok. BP2M/Vera)

Kaminto menambahkan kalau acara ini sebagai upaya untuk menjalin tali persaudaraan. Saya mengangguk-angguk. Saya pikir, membangun persaudaran itu bisa dilihat dengan banyaknya makanan di atas tikar. Kata Rahmadi, inilah bentuk dari kebersamaan warga, semua membawa makanan untuk dihidangkan bersama. Setelah sambutan, doa, musik rebana, dan prosesi Kirab Boyongan, saatnya menyerbu makanan. Kawan saya mulai mengambil kertas minyak, melipatnya menjadi bentuk kerucut, dan ‘sikat’. Ia mengambil nasi dan lauk pauk: tempe orek, ayam goreng, dan masih banyak lagi. Saya ikut. Semua makan dalam satu gelaran: bumi Tambakrejo.

Anak-anak menyantap makanan bersama. (Dok. BP2M/Vera)
Warga dan pengunjung bersama-sama menikmati hidangan yang telah disediakan. (Dok BP2M/Vera)

Hari pun beranjak malam. Saatnya grup rebana Al Barokah tampil. Kami semua duduk dan mendengarkan senandung selawat. Beberapa dari kami ikut bernyanyi. Selepas salat isya, warga berkumpul kembali di pelataran masjid. Saya melihat kebersamaan, sekali lagi.

Kelompok rebana Al Barokah yang tampil membawakan senandung selawat di teras masjid Al Barokah pada malam hari. (Dok. BP2M/Manan)

Pada tanggal 2-3 Februari itu mungkin jadi dua hari yang lama dan membuat saya terengah-engah karena harus bolak-balik dari Unnes ke Tambakrejo, Semarang Atas menuju Semarang Bawah. Namun, tidak bagi Jupriyadi, vokalis rebana Al Barokah. Ia juga harus bolak-balik untuk melaut dan melatih grup rebananya. Untuk acara Grebeg Hari Nelayan, ia mengatakan sangat antusias karena hari ini adalah penampilan perdana grup rebana Al Barokah generasi keempat yang terdiri atas remaja-remaja Kampung Nelayan Tambakrejo

Ya, hari ini Kampung Nelayan Tambakrejo banyak kedatangan pengunjung. Sejumlah organisasi mahasiswa dan pendamping Kampung Nelayan Tambakrejo berkumpul menjadi satu.  Bukan polisi, tentara, ataupun satuan polisi pamong praja. “Mana mau mereka datang,” celetuk kawan saya.

Rahmadi terlihat khusyuk saat membacakan doa untuk Kampung Tambakrejo. (Dok. BP2M/Vera)

Apa yang saya lihat adalah cerita tentang kebersamaan. Ingatan masa lalu akan penggusuran Kampung Tambakrejo dimiliki bersama oleh pendamping dari berbagai elemen masyarakat dan warga Tambakrejo tentunya. Mungkin di antara mereka, banyak yang tidak atau belum mengenal satu sama lain. Namun, dalam bayangan saya, rasa kepemilikan itu tetap ada. Barangkali, inilah yang disebut ‘komunitas terbayang’, sebagaimana yang dikatakan Ben Anderson, dalam versi yang lebih kecil.

Harapan-harapan disampaikan dalam lantunan doa untuk Tambakrejo kini dan nanti. Rahmadi terlihat khusyuk seraya menengadahkan tangannya ke langit. Doa, harapan, dan kebersamaan menjadi satu. Grebeg Kampung Nelayan, sebagaimana disampaikan Kaminto, adalah upaya mengingat sekaligus menjaga nyala api perjuangan warga Tambakrejo.

 

 

Reporter: Abdul Manan

Editor: Laili

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *