LINIKAMPUS Blog Ulasan Opini Rektor Itu Jabatan, Bukan Bapakmu!
Beranda Opini Ulasan

Rektor Itu Jabatan, Bukan Bapakmu!

Ilustrasi Rektor Itu Jabatan, Bukan Bapakmu! [BP2M/Alfiah]

Ilustrasi Rektor Itu Jabatan, Bukan Bapakmu! [BP2M/Kristalina]

Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi

Oleh: Abdul Manan*

Ketika perayaan Dies Natalis Unnes ke-57, massa aksi menggeruduk gedung rektorat dan mendesak pimpinan kampus untuk menemui mereka. Dengan orasi, mahasiswa mencoba menekan seisi gedung rektorat. Mereka menyampaikan kekecewaan kepada kampus karena tidak memprioritaskan program atau isu yang urgen untuk mahasiswa, seperti sarana dan prasarana kampus serta bantuan UKT. Di antara beberapa orasi yang dilantangkan dengan pengeras suara, saya tergelitik dengan kalimat... Pimpinan ibaratnya merupakan orang tua, dan kami (mahasiswa) ibaratnya sebagai seorang anak. Apakah pantas ketika anaknya berteriak di luar tapi orang tuanya malah seakan-akan ketawa, seakan hanya senang-senang saja, menghiraukan suara anak-anaknya? Saya bergidik. Entah apa maksud si orator berkata seperti itu, tetapi pernyataannya memantik saya untuk membedah narasi di balik pernyataan tersebut. 

Pernyataan yang dilontarkan oleh si orator menyimpan anggapan bahwa rektor—dalam hal ini pimpinan Unnes—dianggap sebagai bapak (orang tua). Sedangkan mahasiswa adalah anak-anaknya. Hubungan antara ‘bapak’ dan ‘anak’ paling dekat dipahami sebagai hubungan kekeluargaan. Anggapan serupa juga mafhum dijumpai di dalam institusi sosial, seperti pendidikan (guru dan murid), perusahaan (pemodal dan buruh), dan birokrasi (pejabat dan pegawai).

Anggapan ini mungkin dianggap normal. Argumen yang acap kali terdengar, bahwa hubungan  kekeluargaan dalam institusi sosial dinilai baik untuk membangun kedekatan, menghilangkan kekakuan, dan menciptakan keakraban. Namun, di dalam politik, hubungan bapak-anak atau hubungan kekeluargaan ini acap digunakan untuk membentuk kepatuhan. Dalam konteks perguruan tinggi, birokrasi kampus menggunakan politik kekeluargaan untuk membuat mahasiswa berpikir, seolah-olah rektor dan pejabat kampus dianggap sebagai ‘orang tua’ dan mahasiswa adalah ‘anak-anaknya’. Cara berpikir demikian berimplikasi pada bagaimana pimpinan membuat kebijakan dan memandang mahasiswa. Bagaimana politik kekeluargaan bekerja?

Politik Kekeluargaan

Definisi sosiologis keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat tidak cukup memadai untuk menjelaskan politik kekeluargaan. Keluarga bukan hanya digambarkan sebatas keluarga batih (ayah, ibu, dan anak), tetapi sebagai situasi kekeluargaan yang melampaui institusi sosial paling lazim: rumah. Dengan pemahaman itu, suasana kekeluargaan (kepatuhan, kesetiaan, keakraban)  juga dapat hidup di dalam institusi sosial lain: rumah sakit, sekolah, pemerintah, dan perusahaan.

Hubungan kekeluargaan hidup dalam ranah personal yang sifatnya hangat, akrab, setia dan patuh. Ia berbeda dengan hubungan formal yang menekankan pada hubungan profesionalisme, dingin, dan berjarak. Dengan kata lain, di dalam politik kekeluargaan, hubungan kekeluargaan pada satu sisi membentuk kedekatan, keakraban, dan ikatan personal; sisi lain membentuk kepatuhan, dan melanggengkan kekuasaan.

Politik kekeluargaan berbeda dengan dinasti politik. Politik kekeluargaan—dalam konsepsi Althusser, penulis buku Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara—merupakan aparatus ideologis negara. Sedangkan, dinasti politik merupakan praktik kekuasaan secara turun-temurun  dilakukan  dalam kelompok keluarga yang masih terikat dengan hubungan darah. Tujuannya untuk mendapat atau mempertahankan kekuasaan.

Politik kekeluargaan hidup dalam cara pikir orang per orang, tidak institusional. Di dalam institusi sosial, politik kekeluargaan membentuk kepatuhan. Kepatuhan dibentuk melalui penokohan suatu figur, misalnya figur rektor. Dengan menganalogikan kampus sebagai rumah, mahasiswa diajak untuk melihat figur rektor atau pimpinan kampus sebagai sosok bapak (orang tua)  alih-alih melihatnya sebagai jabatan. Sedangkan mahasiswa adalah anak-anak yang perlu dibimbing. Mengutip artikel Muhamad Haechael, hubungan keluarga, sebagaimana relasi bapak dan anak dalam keluarga, diikat oleh moral dan dilandasi oleh spiritualitas. Jelas, dalam pandangan demikian, protes atau kritik mahasiswa (anak) pada pimpinan kampus (orang tua) dianggap sebagai pelanggaran moral, etika, dan spiritual. Hal ini diperkuat oleh konsepsi keluarga dalam masyarakat Jawa yang menempatkan tata krama sebagai ritual pengabdian kepada orang tua.

Pembentukan kepatuhan ini gencar dilakukan oleh Orde Baru (bahkan sampai sekarang)  melalui jalur pendidikan. Soeharto menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 Tahun 1978 tentang Penataran Pancasila yang disebut Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Instruksi tersebut dipahami sebagai upaya rezim Orde Baru untuk menyeragamkan ideologi bagi setiap warga Indonesia melalui indoktrinasi Pancasila. Pancasila didefinisikan secara praktis dan sepihak oleh rezim Soeharto.  Upaya penyeragaman ini juga menjadi upaya Orba untuk memberangus kelompok yang menentang Soeharto. Anak-anak di bangku sekolah diajarkan untuk menjadi warga negara yang baik, taat pada pemerintah. Kritik, demonstrasi, dan segala macam protes adalah penyimpangan terhadap moralitas, tidak sesuai dengan Pancasila.

Kekuasaan yang Memusat pada Tubuh

Politik kekeluargaan merupakan konsep yang mengasumsikan bahwa kekuasaan itu berpusat pada tubuh. Misalnya, dalam Language and Power, Benedict R.O’G. Anderson, Profesor Emeritus Kajian Asia, Pemerintahan, dan Internasional di Universitas Cornell mengatakan bahwa kekuasaan dalam konsepsi masyarakat Jawa itu konkret, pada benda atau manusia (raja). Lebih lanjut, orang Jawa percaya adanya dunia makrokosmos (dunia dewa) dan dunia mikrokosmos (dunia manusia). Keduanya harus berjalan selaras. Keselarasan itu diwujudkan dengan bagaimana manusia Jawa menjalankan hidup sebagaimana yang diinginkan oleh para dewa. Lalu, di mana peran negara? Negara atau kerajaan dalam pemahaman masyarakat Jawa dianggap sebagai perwujudan cita-cita religiusnya.

Merujuk kembali artikel artikel Muhamad Haechael, logika kekuasaan yang berpusat pada tubuh muncul dari anggapan bahwa keseimbangan dunia dibentuk atas dua pembagian berdasarkan ketentuan Tuhan: tuan (gusti/raja) dan hamba (kawula), sebagaimana siang dan malam; benar dan salah; laki-laki dan perempuan. Kepercayaan akan takdir ini pula yang meyakinkan pembagian manusia berdasarkan keturunan. Bahwa yang menjadi tuan, berkuasa atas hamba. Demikian keturunannya. Yang menarik, relasi kuasa itu secara ideal mewujud seperti kasih sayang dalam keluarga.

Tuan dianggap sebagai pelindung dan hamba harus mengabdi kepada tuannya. Misalnya, dalam riwayat masyarakat Jawa, raja dianggap sebagai perwujudan dewa di dunia. Raja adalah pelindung rakyatnya. Oleh karena itu, rakyat harus taat dan mengabdi kepada raja, sehingga kata-kata raja adalah titah atau perintah. Pada titik inilah tubuh menjadi sumber kekuasaan. Implikasinya, apa yang bersumber dari tubuh raja (ucapan, keturunan) juga teraliri kekuasaan dari sang raja. Demikian keluarga lainnya, orang terdekatnya, orang-orang kepercayaan raja, dan seterusnya. Dengan menempatkan keluarga dan orang-orang terdekat pada pos-pos kekuasaan, kontrol dilakukan lewat moralitas, yaitu ketaatan sebagaimana hubungan orang tua dan anak. 

Dalam masyarakat modern yang melihat kekuasaan sebagai wujud yang abstrak dan bersumber dari banyak hal, politik kekeluargaan bekerja bukan melalui penghambaan, tetapi penokohan. Penokohan bekerja melalui sumber kekuasaan seperti keturunan orang besar, kecerdasan, kekayaan, dan popularitas. Siapa yang memiliki sumber kekuasaan yang lebih besar dapat memengaruhi orang lain, baik cara berpikir maupun tindakannya. Penokohan Soeharto dilakukan lewat narasi sejarah, monumen, dan media. Lalu, bagaimana dengan rektor? Silakan nilai sendiri.

Politik kekeluargaan dapat mengaburkan posisi formal dan posisi personal. Rektor adalah jabatan yang diperoleh melalui mandat. Ia mempunyai hak, kewajiban, kewenangan, dan larangan yang diatur oleh norma dan hukum. Sifatnya pun temporal karena di dalam tatanan organisasi modern, sirkulasi kekuasaan harus berjalan.

Namun, dengan melekatnya politik kekeluargaan yang bekerja melalui penokohan, pejabat publik hari-hari ini pun memproduksi kepatuhan. Mereka seolah-olah mempunyai otoritas sepihak (sebagai orang tua) untuk menentukan baik-buruk, bermoral-tidak bermoral, etis-tidak etis, terhadap urusan publik. Implikasinya, kelompok yang protes dan mengkritik dianggap sebagai penyimpangan moral dan spiritual. Oleh karena itu, segala yang menyimpang harus dikucilkan, disingkirkan, dan tidak perlu dianggap keberadaannya. Contoh paling mudah dapat dilihat pada bagaimana kampus menskorsing atau men-DO mahasiswa. Urusan bersalah atau tidak bersalah diatur melalui justifikasi moral, bukan melalui prosedur hukum. Unnes mempunyai catatan bagaimana pimpinan kampus menskorsing mahasiswanya dengan dalih ‘pengembalian pembinaan moral karakter’ atas dasar laporan dugaan korupsi kepada KPK dan tuduhan sebagai simpatisan Organisasi Papua Merdeka.

Kita semua tidak tahu apakah orator mengamini ucapannya sendiri atau tidak. Kita juga tidak tahu motif apa yang ada dalam diri si orator ketika mengucapkan kalimat di muka. Berdasarkan pernyataannya yang mengandaikan pimpinan kampus sebagai orang tua dan mahasiswa sebagai anak-anaknya, saya pikir itu tidak sesuai dengan semangat mengupayakan demokratisasi kampus dan kebebasan akademik. Rektor dan pimpinan kampus hanyalah jabatan, bukan bapakmu. Kritik dilayangkan pada tutur dan laku jabatannya, bukan pada personalnya. Di sana ada batas. Mengamini politik kekeluargaan berarti mengamini anti-demokrasi.

 

Abdul Manan [BP2M/Kristalina]
*Mahasiswa Ilmu Politik Unnes 2019

Exit mobile version