Ilustrasi Dulu Honoris Causa, Kini Profesor Kehormatan [BP2M/Salma]

 

Oleh: Adinan Rizfauzi*

Beberapa waktu lalu, tepatnya pada 20 Agustus, Universitas Negeri Semarang (Unnes) menganugerahkan gelar profesor kehormatan kepada Menteri Pemuda dan Olahraga, Zainudin Amali. Penganugerahan gelar dilakukan secara tertutup dan tiba-tiba. Gerak-gerik tersebut tiada bedanya dengan penganugerahan gelar Honoris Causa dari Unnes kepada beberapa pejabat dan politisi di tahun-tahun sebelumnya, terkesan diobral. Alih-alih mengevaluasi mekanisme dan prosedur agar penganugerahan gelar profesor kehormatan tidak diobral, kementerian justru memberikan kelonggaran kepada pihak kampus untuk melakukan itu.

Profesor kehormatan merupakan jabatan akademik yang dianugerahkan perguruan tinggi kepada seorang dari kalangan nonakademik. Namun, perlu diingat bahwa pemberian gelar tersebut dibatasi hanya kepada seseorang dengan kompetensi yang luar biasa. Dengan batasan seperti itu, semestinya perguruan tinggi tidak memberikan gelar tersebut dengan ringan tangan. Perlu adanya kajian mendalam mengenai kompetensi dengan pertimbangan dampak baik apa yang dirasakan oleh publik. Melalui kajian itu juga, perlu ditelaah mengenai seberapa jauh kontribusi calon penerima gelar tersebut di bidang akademis. Hasilnya pun mesti dibuka agar masyarakat akademik tahu dan bisa turut menilai.

Apa yang dilakukan Unnes terhadap Zainudin Amali, yang juga merupakan Ketua Badan Pemenangan Pemilu partai Golongan Karya (Golkar), baru-baru ini jelas tidak demikian. Tiba-tiba saja akun Instagram resmi Unnes mengunggah pamflet satu hari sebelum pemberian gelar. Belakangan, saya mengetahui adanya Peraturan Rektor No. 10 Tahun 2022 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan yang menjadi landasan Unnes dalam memberikan gelar tersebut. Sayangnya, peraturan tersebut hanya diunggah di laman Simprokum yang berbagai dokumennya tidak bisa diakses mahasiswa.

Alasan utama Unnes dalam memberikan gelar tersebut pun terlalu berlebihan. Fathur Rokhman, Rektor Unnes, mengatakan bahwa Zainudin Amali sudah berjasa lantaran telah mencetuskan Desain Besar Olahraga Nasional (DBON). Padahal desain besar olahraga yang baru belakangan ini digaung-gaungkan belum terlihat membuahkan hasil yang signifikan. Implementasinya dari Peraturan Presiden No. 86 tahun 2021 tentang Desain Besar Olahraga Nasional pun masih dipertanyakan. Rencananya, DBON akan digunakan sebagai rencana induk yang berisi arah kebijakan dalam hal pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional. 

Pemangkasan Persyaratan

Penganugerahan profesor kehormatan diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi. Aturan tersebut menggantikan peraturan lama, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 88 Tahun 2013. Dalam aturan baru, terdapat persyaratan yang dihilangkan, misalnya tentang keharusan kampus mendapat rekomendasi dari Direktorat Jenderal Pendidikan tinggi.   

Pemangkasan persyaratan tersebut jelas berbahaya. Selain akan membuat pemberian gelar profesor kehormatan kian tidak terkontrol, potensi kampus untuk memberikan gelar tersebut secara serampangan juga kian terbuka. Tidak mustahil, setelah peraturan anyar disahkan, banyak kampus langsung berlomba-lomba memberikan gelar profesor kehormatan kepada politisi maupun pejabat yang masih aktif.

Sebelum Unnes, melalui catatan Tempo, terdapat beberapa kampus yang menganugerahkan gelar profesor kehormatan kepada politisi atau pejabat pasca disahkannya peraturan anyar. Beberapa diantaranya, yaitu Universitas Pertahanan, Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDIP); Universitas Diponegoro, M. Syarifuddin (Ketua Mahkamah Agung); serta Universitas Hasanudin, Syahrul Yasin Limpo (Menteri Pertahanan). Selain itu, terdapat dua kampus lain yang juga melakukannya seperti Universitas Brawijaya dan Universitas Riau.

Dampak Kepada Masyarakat Akademik  

Imbas dari situasi tersebut adalah rentannya politisasi kampus sebagai institusi akademik. Petinggi kampus bisa saja menganugerahkan gelar tersebut dengan motif yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan publik atau bahkan bersifat transaksional. Dalam hal pemberian gelar honoris causa misalnya, Majalah Tempo edisi 13 Februari 2021 mewartakan penganugerahan gelar honoris causa oleh rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sutrisna Wibawa, kepada Abdul Halim Iskandar–Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi–yang sarat akan kepentingan pribadi:  maju dalam pemilihan Bupati Gunungkidul.

Potensi-potensi transaksional kepentingan ekonomi-politik seperti di atas juga melekat pada penganugerahan titel profesor kehormatan. Apalagi, profesor kehormatan dipandang lebih prestisius daripada gelar honoris causa. Di satu sisi, pemberian gelar tersebut juga tidak dirasakan dampak positifnya oleh masyarakat akademik secara luas. Sukar terpikirkan bahwa sederet pejabat dan politisi tersebut turut melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesor di lingkungan kampus dengan melaksanakan tugas-tugas pendidikan, penelitian, dan pengabdian.

Padahal gelar profesor merupakan gelar yang sangat sulit diperoleh. Melalui jalur reguler, gelar profesor mesti didapatkan dengan susah payah. Beberapa persyaratan yang mesti ditempuh antara lain, harus memiliki gelar doktor, harus memperoleh angka kredit kumulatif (kum) 850, memiliki karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional, serta memiliki pengalaman kerja sebagai dosen paling sedikit sepuluh tahun. Adanya pemberian gelar profesor kehormatan secara ringan tangan kepada politisi dan pejabat membuat gelar tersebut menjadi tidak lagi bernilai.

Anehnya, dengan berbagai problem tersebut, pemberian gelar profesor kehormatan kepada Zainudin akhir-akhir ini hanya direspons dengan senyap oleh masyarakat akademiknya. Hal tersebut berbeda dengan ketika Unnes memberikan gelar kepada pejabat dan politisi di tahun-tahun sebelumnya: Airlangga Hartarto (23 Desember 2021) dan Nurdin Halid (11 Februari 2021). Walaupun saat itu pemberian gelar berupa Honoris Causa, tetapi konteksnya sama saja dengan yang saat ini terjadi: obral gelar kehormatan.

Terlepas dari itu, sudah semestinya Kemendikbudristek mengevaluasi mekanisme dan prosedur pemberian gelar profesor kehormatan. Kabar tentang seorang politisi yang mendapat gelar profesor kehormatan dengan orasi ilmiah bertema prestasi mengenai dirinya sendiri pada tahun lalu semestinya sudah menjadi alarm bagi kementerian, betapa problematiknya penganugerahan gelar profesor kehormatan. Masyarakat akademik pun harus mendorong agar penganugerahan gelar kehormatan berjalan secara transparan dan tepat sasaran. 

Adinan Rizfauzi [BP2M/Alfiah]
Adinan Rizfauzi [BP2M/Alfiah]

*Mahasiswa Ilmu Politik Unnes 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here