Ilustrasi Rumah Ibadah Lintas Agama. [BP2M/Fadhila Shofi]

“Susah buat cari tempat ibadah, nggak semua gedung bisa dipakai. Seenggaknya kami perlu aula yang luas karena anggota kami juga banyak, mencapai 170 orang,” ucap Dikcy Damara Novianto, Wakil Ketua Unit Kerohanian Kristen (UKK) 2021.

Dikcy, yang kini sebagai Dewan Pengarah UKK membagikan kisahnya mengenai bagaimana ia berusaha untuk melaksanakan ibadah. Saban Selasa, anggota UKK menggunakan ruangan di lantai dua Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (PKMU) untuk beribadah. Kendati demikian, kendala pun tetap datang menghampiri mereka. Dikcy mengatakan adakalanya ruangan tersebut dipakai oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) lain. Jika dalam situasi tersebut, UKK memilih untuk mengalah.

Kendala lain terletak pada minimnya fasilitas di Gedung PKMU. Dikcy menuturkan bahwa ketika beribadah, umumnya, umat kristiani membutuhkan alat musik dan berbagai perangkatnya. PKMU yang fungsinya memang bukan untuk kegiatan kerohanian, tidak menyediakan itu. Di ruangan tersebut, hanya terdapat sound mixer yang dapat dipakai oleh UKK ketika mereka beribadah. Selebihnya, mereka harus menenteng sendiri peralatan dari ruang sekretariatnya yang terletak di Gedung UKM. “Repot, harus bawa sendiri. Belum ada tempat yang tetap, jadi masih sering dipindah-pindahkan,” ujar Dikcy.

Tiadanya rumah ibadah yang bisa digunakan untuk kegiatan peribadatan memang masih bisa disikapi dengan mengunjungi tempat ibadah terdekat di luar Unnes. Dikcy menyebutkan setidaknya ada tiga gereja terdekat dari Unnes, yaitu Gereja Isa Almasih (GIA) di Trangkil, Gereja Bethel Indonesia (GBI), serta Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang terletak di Semarang Barat. Apabila ditempuh dari Unnes, masing-masing gereja tersebut berjarak sekitar 8 sampai 11 kilometer.

Mengetahui kondisi tersebut, Forum Lintas Agama Unnes, sebuah forum berisi lima unit kerohanian di Unnes yang diresmikan pada 20 Desember 2021, sempat melakukan advokasi bersama Kementerian Advokasi Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Unnes (BEM KM) dengan melakukan beberapa kali audiensi kepada pihak kampus. Di audiensi itu, mereka meminta dibangunkan sebuah tempat ibadah bagi mahasiswa nonmuslim.

Audiensi sempat dilakukan melalui Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, yang saat itu masih dijabat oleh Abdurrahman. Bahkan, audiensi yang dilakukan pada tahun lalu menghasilkan pakta integritas yang ditandatangani oleh Rektor Unnes, Presiden Mahasiswa Unnes, dan Ketua Forum Lintas Agama Unnes. Salah satu kesepakatan yang tertuang dalam pakta integritas tersebut adalah “akan dibangunnya rumah ibadah lintas agama yang akan selesai pada Mei 2022”. Namun, pembangunan tersebut tak kunjung terealisasi.

Hingga pada akhirnya, di audiensi ketiga, Jumat (27/05), pihak kampus melalui Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan kembali menjanjikan pembangunan rumah ibadah lintas agama pada Juli dan akan selesai paling tidak pada September 2022. Kepada Linikampus, Abdurrahman mengatakan rumah ibadah lintas agama yang diwacanakan akan terletak di gedung kearsipan. Gedung tersebut nantinya akan direnovasi dengan mengakomodasi sebuah ruangan serbaguna yang dapat digunakan untuk beribadah.

Ruangan itu memiliki luas sekitar 135 meter persegi dan akan terletak di lantai satu bagian sayap kanan gedung. Di sebelah utara ruangannya, terdapat pintu yang langsung mengarah ke luar gedung. Dengan demikian, siapapun yang berniat masuk ke ruangan kerohanian dapat menggunakan pintu itu tanpa harus mengakses pintu utama gedung kearsipan. 

 

Desain lantai satu Gedung Kearsipan Unnes. Pada bagian yang diarsir warna kuning merupakan ruang ibadah lintas agama. [Dokumentasi pribadi/Zaenal Abidin]

Abdurrahman juga sempat memberitahukan renovasi akan selesai pada 12 Desember 2022. Baru-baru ini, Rabu (07/12), Zaenal Abidin, Kepala Unit Layanan Terpadu (ULT) Humas Unnes, menuturkan renovasi gedung yang menelan biaya sekitar tujuh miliar tersebut ditargetkan akan rampung pada akhir Desember tahun ini. Melalui pemantauan Linikampus pada Sabtu (31/12), renovasi gedung kearsipan sudah sampai pada tahap finishing.

Saat mendengar kabar pembangunan rumah ibadah sudah berjalan, Dikcy merasa sumringah. Wajar saja, selama ini organisasinya belum memiliki tempat yang benar-benar layak untuk dipakai berkegiatan kerohanian. Padahal, menurutnya, isu mengenai kebutuhan tempat kerohanian sudah berembus sejak lama, bahkan ketika dirinya masuk kuliah pada 2018 lalu. “Puji Tuhan, jujur kami sangat membutuhkan,” ucap Dikcy.

Di sisi lain, kendala dalam beribadah juga dirasakan oleh Agita Veranika Putri, mahasiswi prodi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Agita, pemeluk agama Buddha, mengungkapkan jika sembahyang perlu menyalakan dupa. Namun, karena ia tinggal bersama teman di ruangan indekos, ia memilih beribadah tanpa menggunakan dupa. 

“Takutnya  mengganggu karena nggak semua orang suka bau dupa,” ujar Agita melalui WhatsApp, Selasa (27/12).

Agita berharap pembangunan rumah ibadah lintas agama ini dapat segera dirampungkan karena ia akan lebih bersemangat untuk melaksanakan ibadah. Hal tersebut akan mempermudah Agita untuk beribadah karena selama berada di Unnes Agita beribadah sekadarnya, hanya menggunakan gambar Buddha di dalam indekosnya. 

Sisi depan Gedung Kearsipan Unnes yang tengah di renovasi pada Jumat (7/11). [BP2M/Adinan Rizfauzi]
Respons Mahasiswa Terhadap Konsep Bangunan Rumah Ibadah Lintas Agama

Di sisi lain, Andreas Renaldy, mahasiswa Ilmu Politik Unnes beragama katolik, merasa sangsi apabila tiap kelompok agama dapat beribadah di satu ruangan yang sama–seperti yang terkonsep pada penggunaan ruangan ibadah lintas agama di gedung kearsipan. Menurutnya, pembangunan lokasi yang berfungsi sebagai tempat ibadah tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Hal itu mengingat tiap agama memiliki ketentuan yang berbeda-beda. Ia mencontohkan, di agamanya terdapat sebuah area sakral bernama altar yang tidak bisa sembarangan dilewati.

“Altar ini tidak sembarang orang bisa pakai karena untuk menyimpan barang-barang penting kebutuhan ibadah dan sifatnya khusus. Jangan sampai dicampur dengan barang-barang dari agama lain,” terangnya.

Jika ruangan serbaguna yang terletak di gedung kearsipan memang dibuat untuk beribadah, Andreas lebih setuju jika pihak kampus membangun sebuah kompleks rumah ibadah yang di dalamnya mencakup kapel. Andreas menilai pendirian kapel lebih fleksibel. Menurutnya, ruangan serbaguna seperti yang saat ini sedang dibangun lebih pas jika hanya digunakan untuk kegiatan keagamaan mingguan serta lokasi perkumpulan rutin unit kerohanian. 

Sementara itu, Zaenal menjelaskan desain yang dirancang memang tidak berupa kompleks rumah ibadah. Ia menuturkan bahwa sedari awal sarana dan prasarana rumah ibadah tersebut memang berupa ruangan yang bisa digunakan oleh beberapa kelompok agama sekaligus. “Dari sarana dan prasarana memang didesain untuk ruangan ibadah,” ujar Zaenal melalui sambungan telepon.

Bagian dalam gedung kearsipan pada saat direnovasi, Jumat (7/11). Renovasi gedung berlantai tiga tersebut akan mengakomodasi satu ruangan serbaguna yang dapat difungsikan sebagai tempat ibadah. [BP2M/Adinan Rizfauzi]
Lambannya Pemenuhan Kebutuhan Rumah Ibadah Bagi Mahasiswa Nonmuslim

Sebelum renovasi gedung kearsipan dilakukan, Menteri Advokasi BEM KM Unnes, Nasrulloh, mengatakan bahwa selama ini pimpinan Unnes sering kali hanya sekedar menjanjikan pendirian rumah ibadah bagi mahasiswa nonmuslim. Hal tersebut bisa dilihat dari audiensi yang sudah tiga kali ia lakukan bersama Forum Lintas Agama Unnes. “Hanya disuguhkan janji tanpa tindakan yang konkret,” tulisnya melalui WhatsApp, Sabtu (06/08).

Minimnya perhatian pimpinan kampus dalam merespons kebutuhan rumah ibadah, salah satunya disebabkan oleh tidak adanya regulasi yang mengatur secara tegas pendirian rumah ibadah di lingkungan kampus. Hal tersebut termuat dalam kajian yang dirilis oleh BEM Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) yang dipublikasikan Juli lalu.

Sama halnya di Unnes, FH Undip juga memiliki keterbatasan pada ketersediaan ruang ibadah yang bisa dinikmati oleh seluruh pemeluk agama. Pada kajian tersebut, BEM FH Undip menilai kekosongan regulasi ihwal pembangunan rumah ibadah di lingkungan kampus menjadi salah satu biang keladi mengapa kampus abai terhadap persoalan tersebut.

Dalam kajian itu juga disebutkan bahwa pendirian tempat ibadah di perguruan tinggi menjadi penting karena mahasiswa, dosen, dan civitas akademika lainnya perlu untuk memenuhi kebutuhan spiritual, di samping kebutuhan intelektual. Selain itu, pembangunan fasilitas berupa rumah ibadah juga merupakan suatu bentuk pemenuhan hak asasi yang mestinya dipenuhi oleh negara.

Meskipun mayoritas mahasiswa Unnes beragama Islam, tetapi tidak sedikit mahasiswa nonmuslim yang berkuliah di Unnes. Portal data Unnes menyebutkan mahasiswa nonmuslim di Unnes berjumlah 3.098 dengan rincian: Katolik 865, Protestan 2083, Hindu 65, Buddha 81, Konghucu 1,  dan 3 orang berstatus beragama lain.

Koordinator Gusdurian Semarang Ahmad Sajidin mengungkapkan keberadaan fasilitas rumah ibadah di lingkungan kampus mesti diupayakan, terlebih lagi bagi kampus yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Hal itu mengingat biasanya, kampus yang berada di bawah naungannya diisi oleh berbagai mahasiswa dengan latar belakang yang berbeda, termasuk agama dan kepercayaan. “Sehingga tidak ada yang namanya pengistimewaan terhadap satu agama tertentu, melainkan semua setara dalam beragama di negara pancasila seperti Indonesia ini,” kata Ajid. 

Hingga berita ini dipublikasikan, Nizam–Plt. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi–belum merespons permintaan wawancara dan konfirmasi dari Linikampus perihal kekosongan regulasi pada pendirian rumah ibadah di lingkungan perguruan tinggi.

 

 

Penulis: Siska Alfilia Nova, Laily Mukaromah

Reporter: Siska Alfilia Nova, Laily Mukaromah, Kharis Eirena Yomima, Khodijah Sefinda, Mirna Layli Dewi

Editor: Iqda Nabilatul Khusna

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here