LINIKAMPUS Blog Ulasan Opini Kala Calon Tunggal Merebak di Pemira Fakultas
Beranda Opini Ulasan

Kala Calon Tunggal Merebak di Pemira Fakultas

Ilustrasi Kala Calon Tunggal Merebak di Pemira Fakultas [BP2M/Suci]

Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi

Oleh: Adinan Rizfauzi*

Ada yang berbeda dengan kontestasi pemilihan umum raya (pemira) tahun ini. Musababnya, keberadaan calon tunggal merebak di tataran pemilihan ketua dan wakil ketua badan eksekutif di tingkat fakultas. Situasi tersebut menimbulkan tiadanya pertarungan gagasan antarpasangan calon. Selain itu, apatisme mahasiswa perihal politik kampus, seperti yang dipraktikkan dalam pemira, pun dapat meluas.

Saban tahun, organisasi mahasiswa mesti melakukan pergantian kepengurusan. Di ranah organisasi, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), dan Himpunan Mahasiswa (Hima), penentuan mengenai siapa yang akan menduduki kursi tertingginya dilakukan melalui voting dengan melibatkan seluruh mahasiswa aktif. Seperti itulah pemira. Mirip seperti sistem pemilihan umum (pemilu) yang selama ini kita kenal. Hanya saja, yang satu ini dilakukan di lingkup kampus serta menjadikan mahasiswa sebagai subjek politiknya. 

Namun, pemira di tingkat fakultas kali ini tampak lebih “adem ayem”. Sebab, enam dari delapan fakultas di Universitas Negeri Semarang (Unnes) hanya menampilkan calon tunggal pada pemilihan ketua dan wakil ketua badan eksekutifnya. Deretan fakultas tersebut, yaitu Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Fakultas Hukum (FH), Fakultas Teknik (FT), Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK), Fakultas Ekonomi (FE), dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA).

Dua fakultas sisanya, Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) dan Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), masing-masing menampilkan dua pasangan calon (paslon). Keberadaan calon tunggal pada pemira BEM di tingkat fakultas sebenarnya bukan kali ini saja terjadi. Akan tetapi, pada pemira tahun ini keberadaanya tampak lebih mencolok. Di tahun sebelumnya, sederet fakultas, seperti FT, FIP, FIK dan FMIPA juga hanya menampilkan calon tunggal pada pemilihan ketua BEM-nya.

Dari permukaan, tidak ada yang aneh memang dengan keberadaan calon tunggal. “Kalau memang tidak ada lagi yang mau nyalon, mau bagaimana lagi?” Begitu celoteh kawan saya. Akan tetapi, jika ditelisik lebih jauh, keberadaan calon tunggal tentu menyisakan mudarat. Bahkan lebih banyak. Apalagi calon tunggal tidak hanya ditemukan di satu dua fakultas.

Samuel Huntington, ilmuwan politik asal Negeri Paman Sam, mengatakan tidak hanya menggelar pemilu secara berkala, sebuah sistem demokrasi hendaknya juga menampilkan sisi kompetitif pada pelaksanaan pemilunya. Salah satu tujuannya yaitu agar para kandidat yang berkontestasi terdorong untuk berlomba-lomba menawarkan program dan gagasan yang terbaik.

Keberadaan calon tunggal pada pemilihan pimpinan badan eksekutif oleh kebanyakan fakultas di kampus tentu akan membuat situasi jauh dari hal tersebut. Alasannya, tidak ada kekuatan lain yang memungkinkan akan adanya suatu persaingan yang konstruktif. Dampaknya, program dan gagasan yang dibawa oleh calon tunggal pun tidak melewati perdebatan yang sengit.

Idealnya, ketika pemira diisi oleh lebih dari satu paslon, pemilih dapat mempertimbangkan program dan gagasan yang dimiliki oleh berbagai kandidat yang ada. Jika pemilih tidak menemukannya di satu kandidat, maka kemungkinan besar pemilih akan beralih ke kandidat lain. Keberadaan kandidat yang hanya segelintir dapat menutup ruang alternatif bagi pemilih untuk memilih sosok lain itu. Masih ada kotak kosong memang, tetapi itu bukanlah pemantik akan hadirnya pemira yang kompetitif.

Pemira dengan calon tunggal juga bisa menimbulkan sikap apatis dan kejemuan bagi kebanyakan mahasiswa. Hilangnya sisi kompetitif dalam perebutan kursi ketua BEM di fakultas menyebabkan agenda tahunan ini tak banyak menggaet perhatian mahasiswa. Partisipasi, yang merupakan unsur penting dalam demokrasi, pun menjadi kabur. Ingar bingar pemira sebagai pesta demokrasi mahasiswa pun tampaknya masih jauh panggang dari api.

Di tahun sebelumnya, di beberapa fakultas yang menghadirkan paslon lebih dari satu, partisipasi mahasiswa dalam bentuk penggunaan hak pilih dalam pemira pun masih tergolong rendah. Terdapat empat fakultas yang tahun lalu menampilkan lebih dari satu paslon di pemilihan ketua BEM-nya, yaitu FIS, FBS, FE, dan FH. Penggunaan hak pilih pada pemira di keempat fakultas tersebut tidak sampai separuh dari total jumlah mahasiswa di fakultas yang ada. Yang tertinggi, penggunaan hak pilih di FIS mencapai angka 41 persen. Sedangkan di FBS hanya 20 persen. FH dan FE masing-masing berada di angka kisaran 35-37 persen.

Rendahnya penggunaan hak pilih memang tidak selalu bisa dianggap sebagai sikap apatis. Dalam politik, ada kalanya orang memilih untuk tidak melibatkan diri dalam urusan elektoral lantaran timbulnya sikap skeptis. Sikap itu bisa muncul terhadap proses elektoralnya atau terhadap lembaga formalnya, dalam konteks ini adalah BEM. Dengan adanya sederet calon tunggal, tidak aneh jika sebagian kalangan mahasiswa menganggap calon tunggal membuat pemenang pada pemira sudah terprediksi sejak awal. Dan oleh karenanya, mereka merasa tidak perlu lagi untuk repot-repot nyoblos.

Merebaknya calon tunggal pada pemira di tingkat fakultas membawa saya kembali mempertanyakan bagaimana kualitas kaderisasi di ranah organisasi mahasiswa, seperti BEM dan organisasi turunannya. Padahal, tak jarang organisasi itu menyelenggarakan berbagai kegiatan dengan tagline “kepemimpinan”. Namun, sepertinya itu tidak memberikan dampak yang signifikan pada munculnya kandidat-kandidat alternatif dalam pemira.

Selain itu, munculnya pelbagai calon tunggal juga bisa disebabkan oleh besarnya dominasi satu kelompok tertentu. Tanpa keberadaan kelompok yang bisa menjadi penyeimbang, tidak mengherankan jika pemira hanya diisi oleh calon tunggal. Setelah para calon tunggal tersebut terpilih, kemungkinan besar pengawasan terhadap kinerjanya juga tidak berjalan signifikan.

Sementara itu, pada tahun ini pemira BEM di tingkat universitas menampilkan dua paslon—suatu yang tidak terjadi di tahun lalu karena juga hanya terdapat calon tunggal. Praktis, terlepas dari anggapan “karena ini adalah pemira BEM tingkat universitas”, dengan terdapatnya dua paslon, perhatian mahasiswa akan lebih banyak tertuju pada yang ini. 

Menariknya, pada pemilihan ketua dan wakil ketua BEM di tingkat universitas kali ini, masing-masing dari calon ketuanya adalah mereka yang dulunya menang dalam kontestasi dan memiliki pesaing pada pemira di fakultasnya. Sedangkan masing-masing calon wakil ketuanya adalah mereka yang dulunya maju dan terpilih sebagai calon tunggal pada pemilihan ketua BEM fakultas.

 

Adinan Rizfauzi [BP2M/Alfiah]
*Mahasiswa Ilmu Politik Unnes 2020

Exit mobile version