Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Arsip

Relevansi Aksi, Eksistensi, dan Aspirasi

Ilustrasi Arsip “Relevansi Aksi, Eksistensi, dan Aspirasi” [BP2M/Arindra Rifky Saputra]

Mahasiswa memang tidak bisa jauh dari yang namanya “aksi”. Sebut saja aksi penolakan Undang-undang (UU) Cipta Kerja oleh mahasiswa di Semarang pada 27 Februari 2023 lalu. Juga aksi mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang menyoal pembangunan PGSD Ngaliyan pasca robohnya plafon ruang kelas yang digelar tidak lama sebelum itu. 

Bukan hal baru, mahasiswa dianggap sebagai tokoh utama serta poros pergerakan. Karena sejatinya pergerakan adalah takdir mahasiswa. Hal itu pernah dipaparkan oleh Muhammad Azhar, Dosen Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip), dalam Rubrik “Laporan Utama” NUANSA Edisi 136/Th.XXIX/2018 pada artikel berjudul “Relevansi Aksi, Eksistensi, dan Aspirasi”. 

Tidak lekang waktu ataupun kedaluwarsa, kata “aksi” memang tidak pernah lepas dalam dinamika kehidupan mahasiswa. Bahkan hingga kini pun, topik seputar aksi dan pergerakan mahasiswa dirasa masih relevan.

***

Dalam wawancara dengan reporter Nuansa, Bambang Budi Raharjo, yang sewaktu itu menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Negeri Semarang (Unnes), juga mengatakan bahwa apabila sebuah persoalan tidak bisa diselesaikan dengan musyawarah maka tindakan aksi yang dilakukan oleh mahasiswa masih relevan dilakukan. Ia menekankan agar siapapun tetap menghargai aksi mahasiswa selama aksi tersebut tertib dan menjaga etika. 

Kala itu, tepatnya pada 2018, memang sedang hangat-hangatnya gerakan mahasiswa yang terjadi di Unnes. Dikutip dari tabloid Nuansa pada edisi yang sama, sejak tiga tahun terakhir, terekam beberapa jejak aksi yang dilakukan mahasiswa Unnes. Mulai dari aksi tolak Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI), penolakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) berbayar, hingga aksi tolak uang pangkal. 

Hanendya Raharja, yang saat itu berposisi sebagai Menteri Aksi dan Propaganda Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Unnes 2018 mengatakan keberhasilan suatu pergerakan mahasiswa adalah saat pergerakan tersebut mampu membawa perubahan dan mampu mewujudkan visi yang telah dibuat. Perubahan yang dimaksud adalah yang memajukan kebaikan bersama untuk mencapai tujuan awal.  Mengambil tindakan untuk menyelenggarakan aksi adalah salah satu pendekatan dalam mencapai perubahan.

Sementara itu, menurut Ignatius Radite, yang saat itu masih menjadi mahasiswa Unnes, mengatakan penyelenggaraan aksi memang bukan lagi satu-satunya tindakan yang efektif dalam menyampaikan kritik. Tetapi, tindakan aksi masih relevan untuk meminimalisasi dampak dari kebijakan yang dipermasalahkan. Selain itu, menurut orang yang kini bergabung di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang itu, mahasiswa juga berperan sebagai kontrol sosial.

Menyoal pergerakan mahasiswa serta aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa akan semakin lengkap rasanya dengan menambah pandangan lain. Muhammad Azhar, Dosen Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) menjadi narasumber responsif dalam membicarakan seputar pergerakan mahasiswa. 

Menurut Azhar, pergerakan mahasiswa dari masa ke masa memang sangatlah dinamis dan berfluktuasi. Pergerakan memang seharusnya menjadi takdir mahasiswa. “Mahasiswa itu harus protes, mahasiswa yang tidak protes berarti bukanlah mahasiswa,” ujarnya. 

Mahasiswa disebut sebagai agent of change atau agen perubahan di masyarakat.  Sejak awal kehadirannya, bangsa ini telah mengalami sejumlah perubahan sebagai hasil dari aktivisme mahasiswa. Mahasiswa berfungsi sebagai juru bicara pemerintah dan birokrasi, mengomunikasikan aspirasi dan suara masyarakat.  Upaya terakhir adalah turun ke jalan atau menyuarakan pendapat di depan umum jika tujuan ini tidak didengar.  Karena begitulah kondisi yang ideal. Azhar melanjutkan, “Mengambil tindakan dengan melakukan aksi bukanlah suatu hal yang salah.”

Meskipun demikian, sebenarnya mahasiswa bisa mengungkapkan ketidakpuasan dan kritik dalam berbagai cara selain dengan melakukan aksi. Mahasiswa dapat menggunakan media sosial untuk beraksi secara tepat seiring kemajuan teknologi. Aksi yang dilakukan melalui media sosial, menurut Azhar, memberikan dampak yang lebih besar.  Namun, aksi tetap harus dilakukan dalam koridor, baik itu di media sosial maupun dengan turun ke jalan. “Ini membuktikan bahwa memang ada perbatasan yang mencegah kerusuhan,” lanjut Azhar.

Azhar sangat mengapresiasi tindakan aksi-aksi mahasiswa yang menentang berbagai kebijakan di dalam maupun di luar kampus. Menurutnya, keterbukaan ruang-ruang diskusi menjadi bukti bahwa gerakan mahasiswa sebenarnya hidup dan eksis. Mahasiswa dengan nilai plus adalah mereka yang mengikuti dan berpartisipasi dalam organisasi kemahasiswaan (Ormawa).  Mahasiswa-mahasiswa ini tidak diragukan lagi, mereka lebih banyak belajar daripada yang mereka dapatkan hanya dengan duduk di kelas dan mendengarkan dosen mengajar.  “Mahasiswa tidak boleh lengah dengan apa yang terjadi di sekitar mereka,” ujar Azhar.

Azhar menilai aksi-aksi mahasiswa dalam bentuk turun ke jalan sebenarnya bukan hal yang buruk selama dilakukan sesuai dengan standar etika dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Penyampaian opini publik merupakan praktik yang terkait dengan pendidikan politik dan penerapan nilai-nilai demokrasi.

 

Disunting ulang oleh: Khodijah Sefinda

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *