Resensi Ulasan

Membongkar Mitos Netralitas dalam Jurnalisme

Sampul Buku Kabar Buruk Hari Ini [Adinan Rizfauzi]
Sampul Buku Kabar Buruk Hari Ini [Adinan Rizfauzi]

Oleh: Adinan Rizfauzi*

Identitas Buku:

Judul: Kabar Buruk Hari Ini

Penulis: Mawa Kresna

Cetakan: Pertama, Juli 2021

Halaman: xvi + 236 halaman

ISBN: 978-623-7284-60-4

Andreas Harsono dalam Agama Saya Adalah Jurnalisme menulis bahwa semangat dan pikiran untuk bersikap independen lebih penting ketimbang netralitas. Katanya, menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Sembilan Elemen Jurnalisme yang dirumuskan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel pun tak menyebutkan bahwa jurnalis harus bersikap netral saat meliput. Malahan, ia mengatakan bahwa jurnalisme harus memprioritaskan warga negara. Ya, dalam jurnalisme, keberpihakan itu merupakan suatu hal yang lumrah, apalagi kalau itu ditujukan kepada publik.

Apa yang diutarakan tiga sosok begawan itu tampak dipahami betul oleh Mawa Kresna dalam Kabar Buruk Hari Ini.  Buku setebal 236 halaman itu memuat 23 laporan jurnalistik yang ditulis oleh Kresna saat ia masih bekerja di Tirto. Seperti namanya, dalam buku tersebut, mantan jurnalis Rappler dan Merdeka yang kini merupakan Redaktur Project Multatuli itu mengangkat soal berbagai kenyataan pahit yang dialami oleh mereka yang terpinggirkan, yang di antaranya disebabkan oleh perilaku rezim yang tampak tak waras.

Di buku inilah, secara terang-terangan, Kresna mencoba berpihak kepada kelompok-kelompok yang selama ini tak mendapat perhatian dan terabaikan. Dari kelompok minoritas gender yang dibayang-bayangi stigma sampai korban Covid-19 yang hanya dilihat oleh pejabat publik sebagai angka. Dari mereka yang rumah dan tanahnya digusur atas nama proyek negara sampai isu diskriminasi ras dan agama yang kini masih eksis. Lewat tulisan-tulisan itulah Kresna secara gamblang menanggalkan pandangan bahwa jurnalisme itu harus netral.

Kabar Buruk Hari Ini banyak diisi oleh tulisan yang dibuat dengan teknik naratif. Dalam buku ini, Mawa Kresna juga menyajikan tulisan dengan jumlah kata yang tak sedikit. Di tengah media yang kian mengandalkan kecepatan, dua hal yang dilakukan oleh Kresna di atas memang terbilang tak wajar. Akan tetapi, justru karena itulah tulisan dalam Kabar Buruk Hari Ini menjadi istimewa. Sebab, tulisan-tulisannya tak lekang oleh waktu dan tetap relevan untuk dibaca bahkan sampai bertahun-tahun kemudian.

Apa yang dilakukan oleh Mawa Kresna jelas tak mudah untuk ukuran media saat ini, kalau tidak dibilang mustahil. Selain persoalan bentuk tulisan, sulit membayangkan media online saat ini akan memilih untuk mengambil topik tulisan yang tak populer cum tak ramah SEO seperti yang ada pada Kabar Buruk Hari Ini. Mengenai Kota Yogyakarta, misalnya, kebanyakan media tentu lebih senang menempatkan kota tersebut dalam posisi yang terdengar umum: Kota Istimewa atau Kota Pelajar ketimbang kota yang memendam potensi diskriminasi lewat peraturan tertulis.

Selain memakai sudut penceritaan orang pertama yang lazim dipakai dalam penulisan naratif (dalam hal ini Kresna sering memakai kata “saya”), terdapat beberapa tulisan yang memakai sudut pandang orang kedua dengan menggunakan kata “kau”. Dengan memanfaatkan cara itu, Mawa Kresna tidak saja mencoba menunjukkan kedekatannya sebagai penulis terhadap subjek yang ditulis, tetapi juga mencoba menyeret pembaca untuk mendekat dan merasakan pengalaman yang dialami oleh para narasumber.

Kresna juga tak menganggap narasumber yang ada sebagai sosok yang cukup dikeruk informasinya, lalu ditinggalkan begitu saja. Di sini, ia lebih memilih untuk menunjukkan empati dengan melibatkan diri di dalam suatu peristiwa. Itu dilakukan Mawa Kresna, misalnya, ketika memberitakan para Ahoker, sebutan untuk simpatisan Ahok, saat mantan gubernur DKI Jakarta itu dibebaskan dari jeruji besi ketika tertimpa kasus penistaan agama. Di situlah Mawa Kresna menggabungkan diri ke dalam barisan simpatisan Ahok yang tidur dan bermalam di depan Mako Brimob untuk menyambut pembebasan Ahok esok harinya.

Ketepatan Mawa Kresna dalam memilih narasumber juga membuat tulisan-tulisannya semakin kuat. Itu tampak pada tulisannya yang berjudul “Demo Menolak Pembangunan Masjid”. Di situ, Kresna “meminjam” suara Frans Abidondifu, seorang yang menjadi bagian dari kelompok mayoritas, tapi mampu berpikir dengan jernih soal peristiwa yang terjadi sehingga perbedaan kepentingan antar-umat beragama di Manokwari terhindar dari konflik, kendatipun situasi sudah benar-benar memanas.

Menikmati buku ini sama halnya ketika kita menyaksikan sekelebat demi sekelebat peristiwa yang tak pernah kita harapkan. Namun, bukan berarti penulis mengajak kita hanya untuk sekadar meratapi keadaan. Lebih dari itu, Kresna berupaya mengajak pembacanya untuk merefleksikan peristiwa yang sudah-sudah. Di sisi lain, Kresna juga mencoba mengajak pembacanya untuk berempati terhadap, meminjam istilah Fahri Salam sebagai editor buku ini, mereka yang (di)marginal(kan) dan ditindas oleh sistem yang melanggengkan pembohongan dan penindasan.

Satu hal yang menurut saya kurang dalam Kabar Buruk Hari Ini adalah nihilnya foto-foto sebagai pelengkap tulisan. Saya sepakat jika itu diterapkan dalam buku kumpulan cerpen atau puisi untuk membebaskan pembacanya berimajinasi. Namun, untuk kumpulkan laporan jurnalisme, yang berisi suatu kumpulan peristiwa yang benar-benar terjadi, pembaca layak menagih unsur visual pelbagai peristiwa tersebut, yang barangkali tak sempat dilihat pembaca secara langsung.

*Mahasiswa Ilmu Politik 2020

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *