Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Opini Ulasan

Nestapa Mahasiswa, Pertanda Lumpuhnya Nurani Birokrasi

Ilustrasi Nestapa Mahasiswa, Pertanda Lumpuhnya Nurani Birokrasi [BP2M/Widia]
Ilustrasi Nestapa Mahasiswa, Pertanda Lumpuhnya Nurani Birokrasi [BP2M/Widia]

Oleh: Anastasia Retno, Lidwina Nathania*

Mahasiswa selalu dituntut untuk secara optimal belajar dalam menempuh pendidikan formal tertinggi yang bernama perkuliahan. Dalam suatu peribahasa, logika tanpa logistik sama dengan anarkis. Mahasiswa yang anarkis salah satunya disebabkan karena kebengisan birokrasi kampus yang otoriter. Dalam hal ini, para petinggi kampus hanya mementingkan peraturan yang menjalankan roda perekonomian kampus.

Perguruan tinggi negeri (PTN) merupakan instansi pemerintah yang bergerak dalam bidang pendidikan. Namun, bak instansi pemerintah lainnya, birokrasi di PTN memiliki catatan hitamnya sendiri. Salah satu isu yang disorot adalah mahalnya biaya pendidikan. Sudah satu dekade sistem uang kuliah tunggal (UKT) ditetapkan, namun birokrasi kampus masih saja gagap dalam penerapannya. Mahasiswa sebagai objek utama di perguruan tinggi, kini justru dijadikan sasaran empuk komersialisasi pendidikan dengan kedok otonomi kampus.

Misi pertama Universitas Negeri Semarang (Unnes) dengan gagah berbunyi, “Menyelenggarakan pendidikan yang cemerlang dan bereputasi dunia”, berbanding 180 derajat dengan birokrasi persyaratan UKT yang rumit serta tidak inklusif bagi mahasiswa kategori ekonomi rendah dan menengah yang sering dianggap aman. Birokrasi bukan sekadar alat, tapi pintu yang bernurani bagi mahasiswa yang keberatan membayar UKT. Mirisnya, nurani itu telah lumpuh demi menegakkan status sebagai PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum) dan memeras uang mahasiswa yang berniat lurus untuk belajar. Birokrasi tanpa nurani ini, menyebabkan nestapa atau kesusahan hati mahasiswa yang menjadi penghambat dalam pembelajaran di bangku perkuliahan.

Selamat Datang Sapi Perahan Baru Kampus!

Euforia diterima di PTN pasti dirasakan mahasiswa baru. Namun, perasaan itu hanya berlangsung sementara. Penetapan besaran UKT oleh pihak kampus membuat perasaan bahagia itu menguap hangus sempurna. Beberapa pertanyaan melayang di pikiran kami, apakah ayah dan ibu mampu untuk membayarnya? Bagaimana bisa nominalnya setinggi ini? Apakah besaran UKT yang ditetapkan memperhatikan kondisi ekonomi keluarga kami?

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang dijamin haknya oleh pemerintah. Anggapan bahwa biaya berkuliah di PTN akan jauh lebih murah membuat banyak calon mahasiswa bersaing untuk merebutkan kursi di kampus negeri. Pihak kampus pun memanfaatkan pemikiran tersebut untuk menggaet mahasiswa baru guna dijadikan sapi perahan demi berjalannya roda perekonomian kampus. Pendidikan menjadi semakin eksklusif dan hanya bisa dinikmati oleh masyarakat dengan kemampuan ekonomi menengah ke atas. Pendidikan yang seharusnya berorientasi pada kepentingan publik, kini beralih menjadi kepentingan bisnis.

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 55/2013 tentang Biaya Kuliah Tunggal,  bertujuan untuk meringankan biaya pendidikan bagi semua mahasiswa yang kuliah di PTN seluruh Indonesia. Mahasiswa mendapatkan golongan/kategori besaran UKT yang dianggap pihak kampus sesuai dengan kondisi rumah, penghasilan, dan sarana yang dimiliki. Sebaliknya, golongan UKT yang diberikan sering kali tidak sesuai dan malah memberatkan perekonomian keluarga. Pada realitanya tujuan mulia pembentukan UKT hanyalah angan-angan semata.

Pada 20 Oktober 2022, Unnes secara resmi mengalami perubahan status yang semula PTN-BLU (Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum) menjadi PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum). Perubahan status ini membuat dana subsidi pendidikan dari pemerintah dikurangi. Maka dari itu, pihak kampus memaksimalkan keuntungan perubahan status tersebut untuk menetapkan besaran UKT mahasiswa guna memasifkan pembangunan. Nyatanya, pihak kampus terlalu memaksakan diri menjadi mandiri dengan status baru tanpa mempertimbangkan kondisi mahasiswa.

Melawan Kebijakan yang Menyengsarakan Pendidikan Mahasiswa

Penyambutan mahasiswa baru dengan memberikan besaran UKT yang tinggi, menyebabkan mahasiswa harus “menelan ludah”. Dalam artian, mau tidak mau harus menerimanya. Sebagai bentuk solidaritas, mahasiswa semester dua ke atas berusaha memprovokasi mahasiswa baru agar mereka tidak asal legowo menerimanya. Melainkan, harus melawan keputusan yang menyengsarakan pendidikan mahasiswa.

Pada Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) Unnes, fenomena mahalnya UKT menjadi hal yang dielu-elukan oleh mahasiswa. Sebuah kampanye sosial yang mengangkat fenomena mahalnya biaya pendidikan dilakukan oleh mahasiswa baru Unnes. Mereka memposting pada aplikasi Twitter (sekarang X) tentang keluhan biaya UKT yang tidak sesuai dengan kondisi perekonomiannya. Tagar “MAHESA MENGGUGAT” menjadi trending di kalangan mahasiswa Unnes.

Ekonomi Mahasiswa Sulit, Ditambah Persyaratan Keringanan yang Rumit

Kami mencari jalan untuk menggali dan mengetahui keluh kesah mahasiswa terkait dengan mahalnya UKT yang harus dibayarkan pasca perubahan status Unnes menjadi PTN-BH. Kami membuat survei sederhana dengan responden mahasiswa baru Unnes. Survei ini melibatkan responden mahasiswa angkatan 2023 yang menempuh studi dalam rumpun Sosial Humaniora. 

Menurut hasil survei yang dilakukan terhadap mahasiswa, sejumlah 40% mendapat golongan/kategori 4. Artinya sebagian besar mahasiswa harus membayar besaran UKT yang berkisar dari Rp. 3.200.000,- hingga Rp.4.500.000,-. Pada November 2022, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengumumkan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2023 sebesar Rp1.958.169,69,-. Artinya pematokan UKT pada golongan 3-7 dinilai tinggi jika dibandingkan dengan besaran UMP Jawa Tengah. Hasil survei juga menunjukkan jika semua mahasiswa keberatan dengan penetapan UKT yang diberikan kampus. Besaran UKT tersebut juga belum termasuk biaya pribadi, pengeluaran transportasi, uang makan, dan kos. 

Kecemasan dan  kebingungan mahasiswa baru mengenai besaran UKT mulai terjawab beberapa bulan setelahnya. Unnes yang ‘katanya’ mendengar aspirasi mahasiswa berusaha memberikan sebuah upaya untuk mengatasi hal tersebut. Surat edaran yang menginformasikan tentang banding dan penetapan ulang UKT berlandaskan Peraturan Rektor Universitas Negeri Semarang Nomor 34 tahun 2017. Kebijakan banding UKT yang dikeluarkan pihak kampus diharap mampu menjawab kecemasan dan kebingungan mahasiswa.

Alih-alih menjawab kecemasan, surat edaran tersebut dinilai kurang efektif. Persyaratan yang diberikan pihak kampus sangatlah rumit. Merujuk survei yang dilakukan, 80% mahasiswa banding UKT-nya ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa eksklusivitas syarat permohonan keringanan UKT cukup tinggi. Sehingga, mahasiswa sulit untuk diterima, terutama mereka yang benar-benar tidak mampu.

Syarat permohonan keringanan UKT yang menjegal mahasiswa terdapat pada Pasal 2 ayat 6 Peraturan Rektor Universitas Negeri Semarang No 34 tahun 2017, yaitu penanggung biaya kuliah meninggal, sakit yang mengakibatkan perubahan perekonomian secara drastis, terkena bencana alam, dan kondisi khusus. Permasalahannya, banyak penanggung biaya kuliah tidak memenuhi persyaratan yang tercantum. Namun, satu-satunya alasannya adalah penghasilan mereka yang pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga tidak mampu membayar UKT.

Pada akhirnya, penanggung UKT dan mahasiswa itu akan tetap memutar otak untuk membayar biaya kuliah tersebut. Kebijaksanaan kampus untuk menyikapi permasalahan mayoritas mahasiswa patut untuk dipertanyakan. Bantuan keringanan UKT tidak menyeluruh bagi yang benar-benar membutuhkan dan hanya memberi “harapan palsu”. Iming-iming bantuan keringanan UKT mengingatkan kami akan sebuah peribahasa yakni “bagai pungguk merindukan bulan”. Mahasiswa dibuat mengharapkan keringanan UKT yang sulit sekali diwujudkan oleh pihak kampus. Permasalahan biaya kuliah adalah bukti nyata kecacatan dunia pendidikan tingkat akhir dalam mengimplementasikan tujuan NKRI pada Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.  

Fasilitas Tak Sebanding dengan UKT yang “Terpaksa” Harus Dibayar

Dalam kondisi pelik tersebut munculah pertanyaan, apakah uang UKT yang dibayarkan benar digunakan pihak kampus secara maksimal? Apakah fasilitas pembelajaran sudah pantas dan sebanding dengan biaya yang dibayarkan?

Kekecewaan mahasiswa pada kampus terus meluap, sebab tingginya patokan UKT, tidak sejalan dengan fasilitas yang disediakan. Contohnya seperti Kampus Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Ngaliyan yang atapnya roboh. Lalu toilet di beberapa fakultas yang saluran pembuangannya tersumbat dan keran airnya rusak. Adapun ruang kelas masih menggunakan kursi kayu yang memiliki fitur simulasi gempa (mudah goyang). Air Conditioner (AC) dan kipas angin sebenarnya hanya sebagai pajangan saja, sebab tidak dapat berfungsi. Ruang laboratorium tidak bisa menampung banyak mahasiswa. Wireless Fidelity (WiFi) yang sulit tersambung di perangkat. Ada pula yang lebih penting dalam mendukung proses pembelajaran yaitu proyektor kelas yang mengalami masalah buta warna.

Apa Solusi Pihak Kampus untuk Meringankan UKT Mahasiswa?

Kelonggaran persyaratan banding UKT sangatlah diperlukan, sebab kondisi perekonomian mahasiswa sangatlah kompleks. Sebuah solusi yang kami harapkan adalah persyaratan keringanan UKT dapat bersifat inklusif atau terbuka bagi mahasiswa ekonomi menengah dan kategori tak mampu. Mengapa keringanan ditujukan pada dua kategori tersebut?

Pertama, upah penanggung biaya kuliah berkategori ekonomi menengah merasa sulit untuk membayar UKT yang tak sebanding dengan upahnya. Sementara, mereka juga harus memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Mengingat bahwa kelas ekonomi menengah dianggap sudah mampu membayar biaya UKT dan tidak mengalami persyaratan yang telah dijelaskan di atas. Kedua, sangat diperlukan penambahan kuota bantuan bagi mahasiswa berkategori ekonomi rendah. Ketiga, pihak kampus dapat memberikan kebijakan baru yang menurunkan nominal UKT setiap kategori/golongannya. Keempat, pihak kampus juga perlu memberikan keringanan sebanyak 20% dari biaya UKT yang telah ditetapkan untuk mahasiswa perekonomian menengah,  dan 40% bagi mahasiswa dengan perekonomian kurang.

Usaha yang dapat kami lakukan dalam rangka menuntut keadilan pihak kampus untuk meringankan beban mahasiswa yang kesusahan, yaitu memberikan suara pada mereka yang tidak bisa bersuara. Kami dapat menyuarakan keresahan tersebut, baik berupa riset aksi, tulisan, lisan dalam diskusi bersama para staf kebijakan kampus atau rektor Unnes. Sehingga, semua pihak dapat bersinergi untuk bahu-membahu guna meringankan beban penanggung UKT mahasiswa. Dengan demikian, mahasiswa bisa menikmati dengan ringan hati dan maksimal dalam proses belajar di bangku perkuliahan.

Keberhasilan sebuah negara tidak dapat dipisahkan dari akses pendidikan yang merata dan adil bagi semua warganya. Kami berharap agar generasi penerus bangsa yang emas pada tahun 2045, kelak bisa mendapatkan akses pendidikan secara mudah dan cuma-cuma. Akhir kata, mari kita kobarkan semangat untuk memperjuangkan pendidikan gratis yang inklusif demi Indonesia yang lebih progresif!

Anastasia[BP2M/Dika]
Lidwina[BP2M/Mustika]

*Mahasiswa Ilmu Politik 2023

Catatan: opini ini merupakan sikap pribadi penulis, bukan sikap redaksi maupun organisasi.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *