Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Opini Ulasan

Korupsi, Kelompok Aksi, dan Peran Pers

Ilustrasi Opini "Korupsi, Kelompok Aksi, dan Peran Pers" [BP2M/Hanna]
Ilustrasi Opini “Korupsi, Kelompok Aksi, dan Peran Pers” [BP2M/Hanna]

Oleh : Gebrile M. Mareska Udu

Upaya untuk mengentaskan kejahatan korupsi belum mencapai titik nadi. Reformasi birokrasi, sebagai cita-cita bangsa Indonesia pasca orde baru tidak membawa perubahan yang signifikan. Realita menunjukkan bahwa kejahatan korupsi seakan terus terjadi bahkan ‘bertumbuh’ subur. Para koruptor telah menjadi trident yang mengaksesori setiap lembaran pemberitaan media dan perbincangan khalayak. Kejahatan korupsi merupakan masalah fundamental yang dihadapi oleh bangsa kita.

Berbicara soal kejahatan korupsi belumlah lengkap kalau tidak memahami terlebih dahulu defenisi dari korupsi. Secara etimologis, kata ‘korupsi’ berasal dari bahasa latin, coruptio (kata benda) yang berarti hal merusak, hal membuat busuk, penyuapan, dan kemerosotan. Arti etimologis itu hendak mengungkapkan gambaran tentang adanya kondisi keutuhan, kebaikan, dan kebenaran asali yang telah merosot. Kondisi tersebut dikarenakan oleh tindakan menyuap, menipu, menyogok dan semacamnya, (Priyono, 2018: 22). Gambaran tersebut dapat dijadikan tolok ukur dalam melihat praktik kejahatan korupsi yang terjadi.

Secara faktual, memang benar bangsa kita tengah dirundung duka akibat praktik korupsi. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexandert Marwata, dalam paparan kinerja tahun 2021 menyatakan bahwa telah melakukan upaya penindakan tindak pidana korupsi dengan rincian jumlah tersangka 123 orang. Jumlah tersebut  belum termasuk dalam daftar penyidikan KPK. Diperkirakan jumlah tersangka akan semakin meningkat (CNN, 2021).

KPK menambahkan bahwa praktik korupsi paling besar terjadi di lembaga-lembaga birokrasi. Banyak birokrat yang menjadi tersangka penggelapan uang rakyat dalam pelbagai modus tindakan, baik itu pembengkakkan anggaran, proyek fiktif, pengadaan sarana dan prasarana melalui penunjukkan langsung oleh pemimpin, jual-beli anggaran, rekayasa perjalanan dinas, dan kerja sama saudara. Lebih ironisnya, ketika kejahatan korupsi tidak hanya dipandang sebagai tren ‘pemimpin’ tetapi juga sebagai kejahatan kooperatif yang menjamur di setiap lini birokrasi.

Korupsi Sebagai Kejahatan Luar Biasa 

De facto, korupsi telah menciptakan beban masyarakat dan kemelut yang tak berkesudahan. Pemerintah menjadi malapetaka bak truk besar yang melindas masyarakat tanpa memandang belas kasihan. Korupsi menjadi kejahatan luar bisa (extraordinary crime) yang mengakibatkan berbagai lini kehidupan masyarakat menjadi sangat lemah, rapuh, dan tak ada harapan. Hal tersebut dapat ditemukan dalam beberapa fenomena berikut.

Pertama, korupsi sebagai penghambat laju pembangunan nasional. Pembangunan sarana prasarana sebagai salah satu daya dukung pembangunan di Indonesia dalam berbagai macam proyek terhalang akibat penyaluran uang publik yang tidak sesuai dengan tujuannnya. Ada banyak birokrat yang mengantongi sejumlah dana demi tujuan pribadi. Akibatnya banyak pembangunan yang mengalami kemandekan, kemunduran karena ‘ketidakcukupan’, dan ‘kehilangan’ dana.

Kedua, korupsi sebagai habitus politik para birokrat. Kejahatan korupsi tak jarang menyeret nama para birokrat ke meja pengadilan. Korupsi menjadi tren atau habitus para birokrat yang jika tidak dilakukan rasanya jabatan dan tanggung jawab menjadi hampa. Kerinduan akan korupsi menjadi gejolak yang terus menerus mewarnai jiwa kaum birokrat. Sampai pada titik ini, korupsi menjadi warisan budaya kaum birokrat yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Ketiga, korupsi sebagai fenomena yang menyengsarakan masyarakat. Korupsi mengakibatkan pelayanan publik menjadi tidak memadai. Banyak kalangan masyarakat yang hidup begitu saja tanpa memperoleh tingkat kesejahteraan yang maksimal. Korupsi bertendensi menambah beban masyarakat. Akses terhadap pelayanan publik menjadi sulit karena kenyataan ketidakberesan dalam mengurus dan mengalokasikan keuangan secara tepat sasar dan berdaya guna. Sebagian masyarakat sulit untuk melepaskan diri dari jeratan kemiskinan dan sebagian pula rentan jatuh dalam jurang kemiskinan.

Keempat, korupsi sebagai model keserakahan. Secara sederhana, keserakahan berarti adanya ketidakpuasan akan harta yang dimiliki dan muncul keinginan untuk memperoleh harta dalam jumlah yang banyak. Orang yang serakah selalu memandang bahwa kekayaan yang ia miliki tidaklah cukup untuk ia nikmati. Ia akan selalu berusaha untuk mencukupinya tanpa mempertimbangkan untung-rugi bagi orang lain. Kaum birokrat yang serakah seringkali menyalahgunakan kewenangannya demi memperkaya diri dan kelompoknya tanpa memikirkan akibatnya terhadap masyarakat.

Tentu saja, upaya penanganan korupsi menjadi impian kita bersama demi terciptanya negara yang makmur, adil, dan merakyat. Penulis berikthiar bahwa rakyat dan elemen-elemen di dalamnya berpotensi mengatasi praktik korupsi. Langkah yang dimaksud tidak menekankan kebaruan ide melainkan bagaimana langkah yang dibuat mengandung kekuatan yang dapat membantu penanganan masalah korupsi.

Kontribusi Kelompok Aksi    

Kelompok aksi merupakan nama yang digunakan oleh Jeff Haynes, seorang dosen Ilmu Politik di London Guildhall University, untuk menyebut badan-badan sosial yang berjuang demi menciptakan keadilan di bidang ekonomi, politik, sosial dan kultur. Dalam bukunya Democracy And Civil Society In The Third Word Politics And New Political Movement, Haynes menggarisbawahi satu tesis utama bahwa kelompok aksi merupakan salah satu pilar penyangga bangunan masyarakat sipil. Kelompok aksi berperan memperluas karakter demokrasi masyarakat sipil yang menekankan semangat partisipatif, (Akademika, Vol 1/01/2006, hal 6-7).

Ciri khas kelompok aksi sebagai salah satu pilar masyarakat sipil adalah kemampuannya untuk melibatkan massa. Massa yang terafiliasi di dalamnya biasanya lahir dari kesadaran yang sama akan masalah ketidakadilan yang mereka alami. Dengan kata lain, kelompok aksi menjadi gerakan perjuangan masyarakat akar rumput untuk menunjukkan eksistensinya sebagai subjek yang ditindas.

Hemat penulis, kejahatan korupsi dapat diperlawankan dengan perjuangan kelompok aksi. Penulis meyakini bahwa kelompok aksi memiliki peran dalam memerangi praktik korupsi. Kelompok aksi seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Mahasiswa-Mahasiswi Pro Keadilan, Front Pembela Ketidakadilan, dan lain sebagainya berpeluang menggemakan tuntutan untuk mewujudkan birokrasi yang antikorupsi.

Dalam kiprahnya, kelompok aksi dapat menjadi jawaban atas keresahan publik akan praktik korupsi. Tragedi tahun 1998 mengafirmasi peran kelompok aksi yang memperjuangkan kejernihan birokrasi pemerintah dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kelompok aksi mampu meruntuhkan rezim KKN yang sudah lama berkuasa. Seyogyanya,  peran kelompok aksi itu harus dipandang sebagai kebutuhan demokrasi demi mencapai sistem demokrasi yang bersih dari praktik ketidakadilan. 

Namun, sangat disayangkan bahwa kehadiran kelompok aksi kadang kala tak didasari oleh keprihatinan yang sama terkait isu ketidakadilan. Ada banyak aksi yang tidak terorganisasi bahkan hanya dipandang sebagai aksi rame-rame, asal-asalan hingga karena alasan penyuapan oleh sekelompok orang.

Oleh karena itu, upaya untuk mengefektifkan peran kelompok aksi juga perlu dilakukan. Kelompok aksi harus dibangun atas kesadaran terkait isu ketidakadilan seperti praktik korupsi. Kelompok aksi pula mesti beraksi di dalam koridor rasionalitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Setiap individu yang tergabung di dalamnya harus bisa menyadari apa tujuan dan alasan aksi itu dilakukan. Dengan demikian, aksi yang dibuat tidak berjalan tanpa tujuan bak daun kering yang ditiup angin.

Peran dan Andil Pers  

Sebagai pilar keempat (fourth estate) dalam demokrasi, pers juga dapat diandalkan guna menghadapi maraknya praktik korupsi. Peran dan andil pers menyata dalam pemberitaan seputar kejahatan korupsi tidak sekadar memuat suatu berita, tetapi juga harus memiliki andil untuk mempengaruhi opini dan pola pemahaman publik. Setiap penyaluran informasi harus selalu berada dalam kerangka dan edukasi publik. Misalnya, pers tidak hanya memuat berita seputar kasus korupsi. Sebaiknya pers menempatkan kejahatan korupsi sebagai tindakan yang menyimpang dan secara normatif harus dijauhi. Dengannya, masyarakat semakin kritis dalam menilai kasus-kasus korupsi yang terjadi.

Selain itu, sebagai ruang sikap aspirasi dan opini publik pers tentunya menjadi ruang bagi publik untuk berkomunikasi. Pers terpanggil untuk menyediakan forum dialog guna menjembatani aspirasi publik. Ia mewadahi komunikasi baik antara masyarakat dengan elemen-elemen di dalamnya maupun antara masyarakat dengan pemerintah. Pers serentak menjadi alat bagi masyarakat dan pemerintah serta kelompok-kelompok masyarakat lainnya untuk saling bertukar pandangan, saling melengkapi dan saling mengoreksi. Tidak hanya itu, pers juga harus mampu memonitor segala aspirasi publik agar sejalan dengan cita-cita bersama (bonum communae). Jangan sampai aspirasi publik tak berdaya guna dan ‘amburadul’.

Sejatinya, pers juga dituntut agar menjadi bagian integral dari setiap gerakan kelompok aksi. Melalui pers, kelompok aksi dapat menjalin hubungan antarberbagai kelompok aksi dalam suatu tatanan politis.

Dialog antarkelompok aksi itu penting demi menggalakkan aksi dan tuntutan yang lebih besar dan kuat di hadapan para birokrat. Pers juga dapat memberikan dukungannya terhadap kelompok aksi dengan selalu menempatkan kegiatan kelompok aksi sebagai salah satu pemberitaan utama (trending topic). Pada akhirnya, setiap aksi yang dilakukan dapat diketahui oleh banyak pihak dan daripada itu aksi dapat memperoleh dukungan yang semakin besar.  

Catatan: opini ini merupakan sikap pribadi penulis, bukan sikap redaksi maupun organisasi.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *