Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Opini

Perempuan Di Ambang Pilihan

Ilustrasi "Perempuan Di Ambang Pilihan" [BP2M/Alya]
Ilustrasi “Perempuan Di Ambang Pilihan” [BP2M/Alya]

Oleh : Yosef Gunawan

Siapakah yang tidak pernah membuat pilihan dalam hidupnya? Jika ada, itu hanyalah omong kosong. Sebab hidup pada dasarnya merupakan suatu rangkaian pilihan dalam kategori ruang dan waktu. Manusia dalam eksisitensinya pernah, sedang, dan akan membuat pilihan. Pilihan selalu berkaitan erat dengan kebebasan untuk memilih sekaligus bertanggung jawab atas pilihan itu. Edit Stein, sang filsuf Jerman mengatakan “hidup ini merupakan rangkaian pilihan dan perjuangan. Perjuangan yang terus menerus untuk menunjukkan harapan.”

Kenyataan inilah yang menginspirasi kita untuk memandang hidup tidak lain adalah rentetan perjuangan untuk memilih dan mengaktualisasikan harapan dari sebuah pilihan. Meskipun terkadang pilihan datang dengan wajah ganda, antara pasti dan tidak pasti. Ia menciptakan pusaran dilematis yang membuat siapa pun sulit untuk memutuskannya. Bak memakan buah simalakama, demikianlah pilihan itu hadir di hadapan kita (Lilijawa, 2010). Meskipun demikian, sudah menjadi tugas kita untuk memilih. Pilihan yang kita buat mencerminkan jati diri kita di hadapan orang lain, menjadi wujud keunikan dan keistimewaan diri yang lahir dari pergulatan panjang demi memenuhi kebutuhan jiwa dan raga.

Berkarir Atau IRT

Berkarir atau menjadi ibu rumah tangga (IRT) merupakan fenomena riskan yang kerap dihadapi oleh kaum perempuan dari dulu hingga sekarang. Dua opsi tersebut menimbulkan perdebatan yang panjang antara dua kubu besar yakni kelompok reformatif dan konservatif. Bagi mereka yang menginginkan reformasi, sudah saatnya perempuan berkiprah dalam dunia kerja layaknya kaum laki-laki. Perempuan berhak mengemban suatu karir karena dalam dirinya mengandung potensi yang sama seperti laki-laki. Tidak ada yang berbeda antara kemampuan dasariah laki-laki dan perempuan. Selain itu, hal ini juga dipandang sebagai usaha untuk memupus sirna segala determinasi subordinasi termasuk belenggu stereotip “orang lemah” dan “orang dapur” yang disematkan kepada kaum perempuan. Perempuan adalah mahkluk otonom dari berbagai belenggu yang tidak objektif atas keberadaannya.

Sementara itu, kelompok konservatif teguh pada pendiriannya bahwa perempuan harus terikat pada arus malebias (prasangka lelaki) dan culturebias (prasangka budaya) yang menempatkannya tidak sejajar dengan laki-laki. Perempuan tidak apa-apanya jika dibandingkan dengan laki-laki. Mereka adalah yang lemah, tidak berotot, dan tidak berdaya. Tugas mereka hanya sebatas urusan rumah tangga seperti melayani suami, dan mengurusi anak-anak sementara yang lainnya menjadi urusan laki-laki.

Terlepas dari pilihan untuk berkarir atau menjadi IRT, satu hal yang terpenting yakni kebebasan dan perjuangan atas pilihan. Kebebasan untuk memilih tanpa adanya tekanan dari luar menjadi penting. Ditambah lagi perjuangan dalam menjalani pilihan meski dalam ritme yang beragam. Pada dasarnya setiap pilihan menuntut konsekuensi-konsekuensi tertentu. Maka dari itu, pilihan mesti ditetapkan secara sungguh-sungguh. Sukses dan tidaknya sebuah pilihan bergantung pada kesungguhan orang yang bersangkutan dalam menentukannya. Apabila keputusan yang diambil atas dasar kebebasan maka tidak ada alasan untuk menyerah sekalipun memiliki tantangan. Kebebasan mendorong seseorang untuk bertanggung jawab atas pilihannya.

Dalam derap kemajuan zaman dewasa ini, perempuan dengan karir tertentu merupakan suatu keharusan. Mengingat lonjakan kebutuhan yang sangat signifikan sebagai akibat perkembangan IPTEK dalam berbagai bidang, sudah sepantasnyalah karir publik juga diemban oleh perempuan. Jikalau pemenuhan kebutuhan hanya bergantung pada jerih payah laki-laki, sampai kapan perempuan terus bergantung. Apalagi ketika persentase kebutuhan tidak diimbangi oleh pemasukan laki-laki. Quo Vadis keluarga? Selain itu, tampilnya beberapa tokoh perempuan ternama di hadapan publik serentak memaksa kaum perempuan untuk mencapai hal yang sama. Bahkan ada riak-riak ekstrem yang mengukur kadar eksistensi perempuan dari sudut profesi yang mereka miliki tidak diragukan lagi. Ternyata perempuan memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh kaum laki-lak.

Tak sedikit pula dalam sudut pandang manusiawi perempuan masih dibelenggu oleh kodrat yang dilekatkan padanya. Kodrat perempuan yakni mengandung, melahirkan, menyusui serta mengasuh anak menempatkan perempuan pantas sebagai IRT. Ada banyak keluarga yang sebelum perkawinan, perempuan rutin menjalankan karirnya. Namun, semenjak ia dinyatakan positif hamil, keputusan yang diambil rentan memaksa perempuan untuk meninggalkan karirnya. Ia disarankan untuk tinggal di rumah saja menjaga kesehatan janin sampai melahirkannya serta mengatur urusan rumah. Belenggu tersebut semakin diperparah oleh prasangka budaya dan laki-laki yang menganggap perempuan sebagai pihak kedua atau berada di belakang laki-laki.

Perlu disadari bahwa kedua pilihan tersebut sama-sama mengandung resiko. Banyak kisah pilu seputar perempuan yang timbul dari pilihan-pilihan di atas. Maraknya kasus perceraian, perselingkuhan, percekcokan, broken home, dan broken hearted merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihan itu. Bagi perempuan yang berkarir, persoalan bisa terjadi manakala kesetiaan pada keluarga berangsur-angsur pudar. Perhatian dan kasih sayang yang berkurang terhadap suami dan anak-anak turut menjadi sebab kerunyaman rumah tangga. Sementara, bagi perempuan yang menjabat sebagai IRT, konflik muncul ketika pemenuhan akan kebutuhan tersendat. Bahkan, ketika laki-laki tidak lagi mampu bertanggung jawab atau tidak peduli atas kebutuhan keluarga.

Berkarir atau menjadi IRT, keduanya adalah pilihan yang diambil karena hak kaum perempuan. Masing-masing pilihan memiliki resiko. Kaum perempuan berhak memutuskannya. Putusan seorang istri untuk berkarir bukanlah sesuatu yang salah begitupun sebaliknya. Bagi saya langkah berikut yang cukup penting setelah membuat suatu pilihan adalah komunikasi (dialog) di tengah keluarga. Sejatinya, akar masalah seputar konsekuensi atas pilihan kaum perempuan karena kurangnya komunikasi di antara anggota keluarga. Komunikasi berlandaskan pada kasih menciptakan sikap saling mencintai, memahami, menghargai, dan terbuka. Hal ini dapat menghadirkan suasana akomodatif dalam keluarga, termasuk dalam mendukung peran ibu yang berkarir atau saat membesarkan anak. Dengan demikian, konsekuensi sebuah pilihan bukan hanya tanggungan istri melainkan semua anggota keluarga. Pilihan seorang istri menjadi pilihan bersama.

Kesadaran akan dilematika perempuan akan pilihan hidupnya merupakan bagian dari usaha untuk memaknai eksistensi kaum perempuan dewasa ini. Oleh karena itu, pilihan antara berkarir di dunia publik atau di rumah sendiri harus menjadi perhatian semua kaum perempuan. Sebab, sudah saatnya perempuan menentukan bagaimana posisinya di hadapan kaum laki-laki. Pada akhirnya, ketika perempuan berdaya maka kemajuan pun dapat berpeluang tercapai.

Catatan: opini ini merupakan sikap pribadi penulis, bukan sikap redaksi maupun organisasi.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *