Aksi Kamisan Semarang menggelar diskusi bertajuk “Kami Benci Polisi Pembunuh” untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia di Taman Raden Saleh pada Senin, (9/12/2024). Diskusi ini menghadirkan Wahana Lingkungan Hidup Jawa Tengah (Walhi Jateng), Maring Institut, Dewan Kesenian Semarang, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang sebagai pembicara. Acara yang berlangsung dari pukul 19.00 hingga 22.00 WIB ini fokus pada keberlanjutan kasus penembakan yang dilakukan oleh seorang polisi terhadap korban yang merupakan anak di bawah umur.
Penanganan kasus pelanggaran HAM ini menjadi semakin kompleks ketika pelaku yang terlibat adalah anggota kepolisian. Tuti Wijaya dari LBH Semarang mengungkapkan kesulitan dalam memulai penanganan kasus tersebut. Kesulitan ini disebabkan oleh ketertutupan keluarga korban yang masih terpengaruh trauma, serta diduga adanya intervensi dari pihak kepolisian.
Theo, Dosen Hukum Soegijapranata Catholic University (SCU) mengungkapkan pandangannya mengapa polisi terkesan menakutkan dibandingkan mengayomi masyarakat. Ia mengungkapkan budaya hierarki yang melekat pada pendidikan kepolisian menjadi penyebabnya.
“Mereka melihat bagaimana caranya perintah dari atasan itu harus dilaksanakan, salah satunya ya dengan cara intimidasi,” jelasnya, merujuk pada sejarah kolonialisme yang membentuk pola tersebut. Theo menambahkan bahwa polisi pribumi yang direkrut pada masa itu membawa budaya intimidasi ke dalam sistem kepolisian sampai saat ini.
Yuli dari Yayasan Setara menyoroti pelanggaran hak anak dalam kasus Gamma. Ia menekankan perlunya pemahaman advokasi anak di kalangan aparat keamanan. “Internalisasi esensi perlindungan anak tidak melekat pada revolusi mental dalam diri masyarakat. Tak hanya itu, pemahaman tentang advokasi anak juga perlu dilekatkan pada aparat keamanan seperti kepolisian,” jelasnya.
Kelana, salah satu audiens, mengungkapkan bahwa pemahaman tentang perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama. Ia menekankan pentingnya kolaborasi dari berbagai elemen masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Setitik diskusi ini diharapkan mampu mengawal langkah lanjutan guna mencegah terulangnya peristiwa serupa di masa mendatang. Sebagai penutup, acara ini ditandai dengan penampilan sebuah lagu yang menjadi simbol kepedulian terhadap kondisi negeri saat ini.
“Mari kita mengubah tatanan advokasi dan pendampingan anak. Dan kita kepalkan tangan bersama menjadi dalam satu bagian barisan dalam keadilan,” seru Yuli.
Reporter: Meisya Azzahra (Magang BP2M), Retno Setiyowati (Magang BP2M), Ramdanu Gemiliano (Magang BP2M)
Penulis: Meisya Azzahra (Magang BP2M), Retno Setiyowati (Magang BP2M), Ramdanu Gemiliano (Magang BP2M)
Editor: Anastasia Retno