Perjalananku kali ini menuju Jepara si Kota Ukir sekaligus kota dimana emansipasi perempuan diperjuangkan oleh Kartini sedikit berbeda. Kedatanganku disambut oleh sosok laki-laki yang umurnya memasuki kepala lima. Rambutnya yang sedikit gondrong (tetapi tetap stylish) menjadikannya terlihat sosok yang berjiwa bebas. Tingginya semampai dan kulit putih resik-nya menjadi satu pembeda di antara kami. Awalnya ia kukira orang keturunan Indonesia-Belanda tetapi dugaan itu salah. Daniel adalah orang Indonesia tulen dan hanya pernah bersekolah di Belanda.
Menelisik Kembali Persoalan Tambak Udang dalam Diskusi Publik
Semburat cahaya perlahan menghilang. Digantikan cahaya bulan dan angin sejuk di tengah persawahan di pesisir Jepara. Sekelompok orang memenuhi berbagai sudut Omah Watu Lumpang itu. Selepas Isya, barulah kami duduk bersila di Pendopo tempat itu. Dialog Pesisiran yang bertajuk “Membangun Kekuatan Bersama Melawan Tambang Pasir, Ancaman bagi Ruang Hidup Warga Pesisir” menjadi wadah diskusi masyarakat yang resah dengan persoalan tambang pasir laut yang resmi diizinkan lagi pada rezim pemerintahan Jokowi.
Banner bertuliskan “Habis Tambak, Terbitlah Tambang” yang terlihat di Pendopo Omah Watu Lumpang dalam Dialog Pesisiran “Membangun Kekuatan Bersama Melawan Tambang Pasir, Ancaman bagi Ruang Hidup Warga Pesisir” (20/12/2024) [Retno/Magang BP2M]
Pantulan cahaya lampu yang membuat tulisan “Habis Tambak, Terbitlah Tambang” menjadikannya topik utama yang pada malam itu akan didiskusikan. Persoalan Tambang Pasir Laut menjadi ricuh dikalangan masyarakat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut yang dikhawatirkan menimbulkan eksploitasi dan kerusakan ekosistem di pesisir Jepara.
Dalam diskusi tersebut, Daniel (50) mengutarakan perjuangan masyarakat pesisir Jepara tidak mudah. Begitu banyak pihak menawarkan iming-iming sehingga membuat masyarakat berada pada situasi dilematis. Imbasnya membuat kita apatis terhadap keadaan yang sebenarnya.
“Namun, (akibat dari apatisme tersebut) membuat kehidupan kedepannya akan merasakan hidup ruang hidup yang tidak layak,” tutur Mas Daniel, aktivis lingkungan asal Karimunjawa dalam mengawali diskusi. Menilik pada apa yang menimpa Karimunjawa dan Mas Daniel pada Kasus ‘Otak Udang’ yang didakwa melanggar Pasal 45A Ayat 2 junto Pasal 28 Ayat 2 Undang-Undang nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang ITE.
Dikutip dari greenpeace.org, Bambang Zakariya, Koordinator Lingkar Juang Karimunjawa (LINGKAR) menuturkan proyek tambak udang vaname dalam bahasa latin litopenaseus vanamei mulai masuk sekitar tahun 2016. Setahun kemudian, tambak udang yang tadinya hanya ada di satu titik bertambah menjadi empat titik. Di setiap titik tersebut ada 6 petak sampai 36 petak tambak. Jumlah tambak terus bertambah dan kini mencapai 39 titik.
Imbas tambak udang ilegal ini yang mengandung bahan organik yang memberikan pengaruh sekaligus terhadap berkurangnya oksigen di dalam air. Sehingga membuat biota air mati serta masifnya pertumbuhan fitoplankton di permukaan air. Limbah yang diakibatkan tambak udang pun merusak terumbu karang. Tak hanya itu, ekosistem rumput laut terbunuh hingga merugikan petani dan pengusaha rumput laut. Pasalnya, mata pencaharian sebagian besar penduduk menggantungkan pada hasil alam tersebut.
Unggahan di akun Facebook yang menyuarakan dampak kerusakan lingkungan akibat tambak udang ilegal, 12 November 2022. Facebook Daniel Frits Maurits Tangkilisan. (dilansir dari https://www.amnesty.id/referensi-ham/artikel-ham/bukan-penjahat-tapi-sempat-dipenjara-kisah-daniel-tangkilisan-dan-jerat-uu-ite/09/2024/ )
Adanya tambak udang tersebut menuai berbagai banyak penolakan mulai dari unjuk rasa, audiensi lembaga hingga kampanye di media sosial. Daniel Frits Maurits Tangkilisan yakni satu dari sekian banyak orang yang menyuarakan penolakan tambak udang ilegal di Karimunjawa.
Penolakan terhadap adanya tambak udang turut diekspresikan melalui unggahan video di akun Facebook milik Mas Daniel yang menunjukan keadaan Pantai Cemara. Dalam unggahan tersebut, keadaan Pantai Cemara tercemar karena limbah tambak udang pun mendapatkan atensi bagi masyarakat. Pada unggahan tersebutnya saling menimpali pun tak terelakkan, Mas Daniel memberikan respons atas komentar tersebut. Pada 8 Februari 2023, komentar itulah yang menjadi asal usul warga Karimunjawa melaporkan Mas Daniel ke Polres Jepara dengan pasal “ujaran kebencian”.
Kriminalisasi yang menimpa Mas Daniel juga menimpa pada penggiat isu lingkungan yang lain juga. Prinsip Anti -SLAPP (Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation) yang dianut oleh Indonesia yakni implementasi dari Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Konsep ini menjamin perlindungan hukum pada masyarakat untuk tidak dapat dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup. Pada kenyataannya, Kasus SLAPP menimpa Mas Daniel sebagai seorang penggiat isu lingkungan hidup.
Kasus SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) kini menjadi sebuah tren terutama menimpa pada penggiat isu lingkungan selama 2014-2023. Data dari Environmental Defender, sejak 2014-2023 setidaknya ada 126 kasus SLAPP terjadi. Dengan sebaran paling banyak 35 kasus di wilayah Jawa. Separuh dari kasus tersebut yakni sebanyak 53 kasus terjadi disektor tambang dan energi. Sektor perkebunan menyusul dengan 34 kasus, pencemaran lingkungan sebanyak 15 kasus, dan kehutanan sebanyak 13 kasus, serta perairan dan kelautan sebanyak lima kasus.
Data yang disajikan diatas menjadi bukti bahwa tantangan efektivitas penerapan Prinsip Anti-SLAPP (Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation) yang terjadi di lapangan. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan peraturan progresif yaitu Peraturan Menteri LHK Nomor 10 Tahun 2024 tentang Perlindungan Hukum terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat pada 30 Agustus 2024 lalu. Harapannya melalui Peraturan Menteri tersebut, peristiwa serupa yang menimpa sosok Daniel tak terjadi lagi pada penggiat isu lingkungan lainnya.
Pergerakan Perempuan di Karimunjawa
Jepara identik dengan pesona Kartini yang memperjuangkan emansipasi wanita pada masanya. Kisah Kartini berkesinambungan dengan narasi bahwa dalam setiap fenomena sosial tak pernah terlepas dari pandangan bagaimana peran perempuan dalam sebuah perjuangan ataupun aksi. Mutiara Ika Pratiwi menuturkan bahwa ketika kita berbicara dalam konteks pergerakan perempuan selalu selaras dengan sebuah strategi yakni gender mainstreaming, yakni tentang bagaimana kita melihat semua fenomena sosial itu dari kacamata gender.
Mutiara Ika Pratiwi dalam Dialog Pesisiran “Membangun Kekuatan Bersama Melawan Tambang Pasir, Ancaman bagi Ruang Hidup Warga Pesisir” (20/12/2024) [Raihan Rahmat/ BP2M]
“Dan pada hari ini kita juga perlu menerapkan kacamata lingkungan (juga) dalam setiap pergerakan kita, karena kerusakan bumi ini sepertinya sudah tidak bisa dilepaskan lagi dan bumi kita sudah tidak bisa bertahan dari gerusan tambang yang sangat kuat,” ucap Mutiara Ika Pratiwi, Perempuan Mahardhika.
Selaras dengan tutur dari Mutiara, pada titik perjuangan untuk memperjuangkan keadilan kasus tambak udang sekaligus atas peristiwa yang menimpa Mas Daniel memiliki kisah tersendiri tentang peran perempuan dalam pergerakan tersebut. Meski tak pernah diberitakan di media manapun, pergerakan perempuan justru menjadi garda terdepan dibalik terbebasnya Daniel.
“(Dalam pergerakan) Kami butuh dana dan yang mengusahakan dana itu (yang) nyari. Pokoknya yang wira wiri golek donasi apa segala (dan semacamnya). Itu perempuan gitu loh,” jelas Mas Daniel.
Mas Daniel melanjutkan perempuan yang turut andil dalam pergerakan tersebut bukanlah perempuan yang ecek-ecek. Melainkan, perempuan-perempuan pengusaha di Jepara. Tak hanya itu, perempuan-perempuan tersebut bahkan ikut turun aksi hingga dalam beberapa kali kesempatan mereka ikut dalam audiensi.
“Kami mengadakan aksi besar-besaran pertama di Karimunjawa tanggal 31 Agustus 2023 itu. Ibu-ibu bakul oleh-oleh sama bakul souvenir gitu loh. Itu yang di depan berorasi (menggunakan bahasa) jawa ngoko gitu loh, memaki-maki pemerintah. Beneran ada. Aku masih ada videonya gitu loh. Sampai segitunya sampai bikin terharu loh,” ujar Mas Daniel menggambarkan aksi heroik perempuan di Karimunjawa.
Mutiara menuturkan bahwa pergerakan perempuan tumbuh ketika terdapat ruang-ruang demokrasi dan dialog yang diyakini mampu untuk menjaga demokrasi itu sendiri serta nalar kritis kita terhadap situasi sosial yang ada. Hal tersebutlah yang menstimulus bagaimana pergerakan-pergerakan perempuan itu hidup.
“Karena kalau dari sisi pergerakan kita akan sering melihat bagaimana perempuan-perempuan berada di garis depan perjuangan karena apa? karena merekalah (perempuan) yang merawat alam itu connecting antara ketubuhan perempuan dengan alam ini menjadi sangat real gitu ya,” tutur Mutiara Ika Pratiwi, Perempuan Mahardhika.
Dalam konteks ini, bagaimana kita melihat fenomena yang terjadi di Karimunjawa tak hanya meminjam kacamata gender tetapi juga perlu meminjam kacamata ekologi. Seperti apa yang dituturkan oleh Mutiara bahwa kepentingan untuk selalu menggunakan perspektif gender dalam situasi sosial harus menjadi kebersamaan benang merah di pergerakan ini.
Penulis: Retno Setiyowati (Magang BP2M)
Reporter: Retno Setiyowati (Magang BP2M), Vivin Santia (Magang BP2M), Lidwina Nathania, Raihan Rahmat
Editor: Lidwina Nathania