Feature Kabar Utama

Menyelami Cerita Masyarakat Pesisir Utara Jawa yang Terancam Tenggelam

Harapan yang tertempel di dinding pameran. [Adiel/Magang BP2M]
Harapan yang tertempel di dinding pameran. [Adiel/Magang BP2M]

Kala itu pukul 15.00 WIB, saat terik matahari bergerak ke arah barat, kami tiba di depan Rumah Pohan, Kota Lama. Sesampainya di sana, kami langsung naik ke lantai 2 menuju pameran di ruang yang bernama ruang peristiwa. Pameran tersebut digagas sekaligus disusun oleh 24 peserta Urban Citizenship Academy (UCA) bertajuk “Akankah Pesisir Utara Jawa Tenggelam?”.

Ketika pertama kali masuk, kami langsung disuguhkan banner yang bertuliskan kata secara acak terkait kondisi pesisir Semarang yang tenggelam. Dengan adanya pameran pesisir utara Jawa tenggelam, setidaknya pengunjung memahami bagaimana masyarakat menjalani kehidupan sehari-harinya setelah tanah yang mereka tinggali mengalami penurunan. 

Mendengar keluhan tangkapan ikan masyarakat pesisir 

Setelah kami membaca banner, pandangan kami tertuju pada sebuah headphone yang berada di atas meja putih. Ternyata stand tersebut adalah tempat di mana kita bisa mendengarkan keluhan warga pesisir terkait hasil tangkapannya. Salah seorang ibu dan bapak yang berasal dari pesisir mengungkapkan bahwa jumlah ikan yang didapatnya berkurang.  

Peran mangrove dalam menahan terpaan rob di Mangunharjo 

Catatan yang tergantung dalam stand Mangunharjo [Adiel/Magang BP2M]

Ketika berpindah stand, mata kami tertuju pada suatu catatan yang digantung. Catatan itu berisikan keluh kesah masyarakat di Mangunharjo karena pasangnya air laut atau yang dikenal rob. 

“Ya kalo perubahan iklim dampaknya ke sosial juga, hasil budidaya kurang,” tulis keluh kesah dari salah satu warga Mangunharjo. 

Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) di Kelurahan Mangunharjo pada tahun 1998, masyarakat menyatakan bahwa sebagian besar lahan tambak mereka habis. Dalam sekejap, lahan tersebut berubah menjadi pantai (Dokumen Masterplan Drainase Kota Semarang, 1998). 

Mengapa hal itu bisa terjadi?

Dilansir dari Jurnal Universitas Diponegoro, perairan Pantai Mangunharjo merupakan perairan penangkapan ikan yang di sekitarnya terdapat aktivitas industri dan pemukiman padat penduduk. Sehingga, hal itu memicu pencemaran air sekitar Pesisir Mangunharjo.

Masyarakat Mangunharjo yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan tambak dari berbagai jenis udang merasakan dampaknya. Tambak yang mereka miliki kini menjadi lautan akibat rob. Hal ini membuat mereka menanam mangrove sebagai upaya pengurangan wilayah rob. 

“Ya, kami menanam mangrove sejak 1995 untuk menyelamatkan desa ini,” ujar Fajril yang merupakan salah satu anggota kelompok tani. Kegiatan menanam mangrove ini dimotori oleh ayahnya pada tahun 1995. 

Terdapat pula miniatur yang terpampang di sudut stand tersebut, menggambarkan luasan daerah rob seiring bertambahnya waktu. Berkurangnya daerah rob karena masifnya penanaman mangrove, membuat masyarakat berhasil mengurangi wilayah rob. 

Dilema masyarakat Tambaklorok antara sampah, penurunan tanah, dan tanggul laut

Terpajang berbagai potret foto yang menampilkan aktivitas masyarakat pesisir Tambaklorok. Mulai dari upaya warga untuk meninggikan lantai rumahnya, tumpukan sampah, hingga tanggul laut yang membatasi antara perbukitan dengan laut Utara Jawa. 

Posisi masyarakat yang harus meninggikan lantai rumahnya, memaksa mereka untuk rutin mengalokasikan dana pribadinya. 

Foto lain menunjukkan onggokan sampah yang sengaja dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan campuran untuk membuat pondasi bangunan rumah baru. Bagi warga, kumpulan sampah adalah alternatif ketika harga tanah dirasa terlalu mahal. 

Karya lukisan yang berjudul “Ruang yang Larut” [Adiel/Magang BP2M]

Selain foto, juga terdapat karya lukisan yang berjudul “Ruang yang Larut”. Ia merefleksikan keteguhan masyarakat Tambaklorok menghadapi ketidakadilan. Lukisan ini menyelami dinamika kehidupan masyarakat di Tambaklorok. Melalui pendekatan abstrak, lukisan ini menggambarkan perasaan terjebak dalam siklus yang tak berkesudahan. 

Karya lukisan ini menyampaikan ketegangan antara harapan dan ketidakpastian. Ia berbicara bagaimana lingkungan yang tidak ideal bukan hanya memengaruhi fisik, tetapi juga kesejahteraan jiwa. Melalui narasi ini, lukisan dibuat untuk merenungkan kehidupan masyarakat yang terus bertahan di tengah ketidakadilan ekologis.

Kisah masyarakat Timbulsloko dalam mempertahankan tanahnya

Papan berisi foto polaroid masyarakat Timbulsloko [Adiel/Magang BP2M]

Papan berisi foto polaroid yang mengisahkan keadaan masyarakat pesisir Timbulsloko dalam menghadapi lautan rob, terpampang di dinding stand. Dalam foto itu, turut memberikan pemahaman bagi pengunjung tentang kondisi akses jalan, rumah, dan sekolah yang telah tenggelam oleh lautan rob. 

Hilangnya garis pantai menyebabkan tenggelamnya wilayah Desa Timbulsloko. Pada awalnya mereka seakan tak berdaya menghadapi ini. Tetapi kemudian, mereka membentuk gerakan kolektif untuk menanam mangrove sebagai perlawanan untuk menolak tenggelam. 

“Dulu di belakang rumah ini dalamnya bisa 1,5 meter, sekarang sudah kelihatan tanahnya dan tanahnya tidak hilang lagi,” ungkap seorang warga yang menceritakan tentang keberhasilan masyarakat dalam mengupayakan penanaman mangrove sebagai bagian dalam menyelamatkan tanahnya yang pernah tenggelam. 

Tak hanya mengisahkan Desa Timbulsloko, tapi juga Dukuh Bogorame yang tak jauh dari Timbulsloko. Salah satu pemilik rumah panggung di Dukuh Bogorame, Sutarti, menunjukkan pagar rumahnya setinggi 30 sentimeter untuk mencegah anaknya yang berusia 4 tahun berlarian, lebih lagi terjatuh ke lumpur dan air di depan rumahnya. Kekhawatiran itu muncul dari pengalaman pahit anak tengahnya yang pernah jatuh dan nyaris tenggelam saat bermain sekitar rumahnya.

Tiupan harapan setelah menyelami kisah masyarakat Pesisir Utara Jawa

“Tidak ada banjir lagi”.

“Nggak abrasi lagi, kasian warganya”.

“Rob nya hilanglah”.

“Berani menentang untuk masa yang akan datang”.

Itulah beberapa tiupan harapan lewat secarik kertas yang tertempel di dinding sudut belakang ruang pameran.

Setelah menyusuri ruang peristiwa yang mengisahkan pameran bertajuk “Akankah Pesisir Utara Jawa Tenggelam?”, akhirnya beberapa pengunjung meninggalkan ruangan itu. Menyisakan harapan agar pemerintah membuka hati dan pikirannya untuk memberikan solusi nyata bagi warga pesisir yang terancam tenggelam.***

Penulis: Adiel Afliarso

Editor: Lidwina

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *