Oleh: Raihan Muhammad
Izin senior, agaknya saya punya keresahan yang semakin hari semakin sulit ditelan: kekerasan dalam ospek masih terus dilanggengkan, dikemas dalam bungkusan tradisi, dan dijajakan sebagai bentuk kedisiplinan. Seakan-akan untuk menjadi mahasiswa sejati, tubuh mesti dihancurkan dulu, mental mesti dipermainkan dulu, harga diri mesti diinjak-injak dulu. Sungguh, logika macam apa yang sedang dipertahankan ini?
Dikatakan bahwa ospek dengan teriakan dan hukuman adalah bentuk penggemblengan. Senior mesti galak, otoriter, dan menampilkan wajah yang garang agar adik tingkatnya paham hierarki. Seolah tanpa itu, generasi mahasiswa baru akan menjadi lembek, manja, dan tidak siap menghadapi dunia nyata. Anehnya, mereka yang meneriaki justru sering kali lupa bagaimana rasanya diperlakukan seperti sampah saat ospek dulu. Bukankah mereka pun dulu membenci hal yang sama?
Dipropagandakan bahwa ini semua adalah tradisi yang mesti dijaga. Bahwa tanpa ritual perpeloncoan, ospek kehilangan esensinya. Padahal, sejujurnya satu-satunya yang diwariskan dari tradisi ini hanyalah siklus penindasan yang terus berulang—ini ibarat lingkaran setan. Senior merasa punya kuasa, junior dipaksa menerima, lalu kelak mereka pun menindas yang lebih baru, dan begitulah roda berputar, warisan sampah yang terus dijaga dengan penuh kebanggaan.
Jika tradisi hanya melanggengkan kekerasan, apakah ia masih layak dipertahankan? Jika mental mahasiswa baru mesti dihancurkan lebih dulu agar dianggap “kuat,” apakah ini bukan sekadar justifikasi untuk kepuasan mereka yang ingin berkuasa? Saya rasa, sudah saatnya warisan yang busuk ini (baca: sampah) dibuang ke dalam ‘tong sampah’. Sebab, kekerasan dalam ospek bukanlah pendidikan, bukan pula bentuk solidaritas—ia hanyalah cara malas untuk mempertahankan ketakutan sebagai alat kontrol.
Tradisi Warisan Kolonial yang Masih Dilanggengkan
Perpeloncoan di Indonesia memiliki akar historis dari praktik ontgroening pada masa kolonial Belanda, yang awalnya bertujuan memperkenalkan mahasiswa baru dengan lingkungan akademik (Djojodibroto, 2004). Setelah kemerdekaan, praktik ini tetap berlangsung, bahkan mendapat perlawanan dari kelompok mahasiswa yang menentangnya, seperti CGMI (Hindley, 1966).
Seiring berjalannya waktu, perpeloncoan bertransformasi menjadi Mapram, Ospek, dan lainnya. Meski telah resmi dilarang, praktik kekerasan dan senioritas yang melekat dalam ospek masih terus terjadi. Kasus kekerasan di pelbagai kampus, termasuk insiden tragis yang menyebabkan kematian mahasiswa, menjadi bukti bahwa warisan kolonial ini tetap dilanggengkan dengan bentuk yang berbeda. Hingga kini, budaya perpeloncoan masih menjadi tantangan besar dalam dunia pendidikan—termasuk pendidikan tinggi di Indonesia.
Ospek dengan pola kekerasan yang masih bertahan hingga saat ini bukanlah sekadar tradisi kampus yang muncul secara alamiah, melainkan warisan dari sistem pendidikan kolonial yang menempatkan disiplin dan hierarki sebagai alat kontrol sosial. Praktik ini memiliki akar sejarah panjang yang dapat ditelusuri pada model pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Pada masa itu, pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mencetak kaum terdidik, tetapi juga untuk membentuk individu yang tunduk dan patuh terhadap otoritas (Kartodirdjo, 1987). Dalam hal ini, disiplin keras dan kekerasan digunakan untuk menciptakan kepatuhan, bukan untuk membangun pemikiran kritis dan kebebasan akademik.
Sebagaimana dikemukakan oleh Althusser (1971), institusi pendidikan merupakan bagian dari Aparatus Ideologis Negara (Ideological State Apparatus) yang bekerja secara sistematis untuk mereproduksi struktur sosial yang mendukung status quo. Dalam hal ospek, praktik kekerasan yang dibungkus dengan dalih pembentukan karakter dan kedisiplinan sejatinya adalah bentuk internalisasi ideologi yang berfungsi mempertahankan relasi kuasa senioritas. Fenomena ini menunjukkan bahwa budaya feodal yang dikonstruksi sejak era kolonial masih bertahan dalam dinamika kehidupan akademik di kampus-kampus Indonesia.
Dalam tinjauan historis, sistem pendidikan kolonial menekankan pada kontrol dan dominasi sebagai bentuk pengendalian sosial terhadap kaum pribumi (Sutherland, 1979). Praktik ini berlanjut di pelbagai institusi—termasuk dalam pendidikan tinggi—yang mana ospek kerap dijadikan alat untuk menanamkan doktrin hierarkis. Seiring berjalannya waktu, tradisi ini mengalami internalisasi dan diwariskan sebagai sesuatu yang dianggap lumrah. Padahal, dalam konsep pendidikan modern, terutama yang berbasis pada pendekatan hak asasi manusia, proses orientasi mahasiswa semestinya berfungsi sebagai ruang pembelajaran yang inklusif, bukan ajang penindasan dan kekerasan (Freire, 2005).
Ospek berbasis kekerasan pun bertentangan dengan prinsip-prinsip pedagogi kritis yang dikembangkan oleh Freire (2005), yang menekankan bahwa pendidikan mesti membebaskan, bukan menindas. Dengan kata lain, sistem yang mempertahankan praktik senioritas represif justru menutup ruang dialog dan menghambat proses pembelajaran demokratis di dalam lingkungan akademik. Jika kampus adalah ruang untuk berpikir bebas dan mengembangkan nalar kritis, maka segala bentuk penindasan yang terjadi di dalamnya harus dihapuskan bukan dilestarikan atas nama tradisi.
Dampak Negatif Kekerasan pada Saat Ospek
Kekerasan dalam ospek tidak hanya berbentuk fisik, tetapi juga mencakup kekerasan verbal, seperti bentakan, penghinaan, dan pelecehan psikologis—bahkan mereka sering kali berdalih bahwa bentak-bentakan yang dilakukan hanyalah gimik. Studi yang dilakukan oleh Sawant (2019) menunjukkan bahwa kekerasan verbal dalam kegiatan orientasi mahasiswa dapat menyebabkan dampak psikologis jangka panjang termasuk kecemasan, stres, hingga penurunan kepercayaan diri.
Selain dampak psikologis, kekerasan dalam ospek juga berkontribusi terhadap meningkatnya risiko gangguan kesehatan mental pada mahasiswa baru. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hamilton et al. (2021), mahasiswa yang mengalami kekerasan verbal dan fisik dalam masa orientasi lebih rentan mengalami depresi dan post-traumatic stress disorder (PTSD). Dampak ini bahkan dapat bertahan hingga bertahun-tahun setelah mereka lulus yang menciptakan pengalaman kampus yang negatif dan mengurangi keterlibatan mereka dalam kegiatan akademik dan sosial.
Dampak negatif lainnya adalah normalisasi budaya kekerasan dalam lingkungan akademik. Studi yang dilakukan oleh Sutton dan Carter (2022) menemukan bahwa institusi yang masih mempertahankan tradisi ospek dengan elemen kekerasan cenderung memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap perilaku intimidatif dan diskriminatif di antara mahasiswa. Hal ini menghambat terciptanya lingkungan akademik yang inklusif dan aman, bertentangan dengan prinsip pendidikan berbasis hak asasi manusia. Dalam jangka panjang, budaya kekerasan ini dapat memperburuk relasi sosial dan memperkuat siklus senioritas yang tidak sehat di lingkungan kampus.
Dengan pelbagai temuan ini, jelas bahwa kekerasan dalam ospek tidak membawa manfaat bagi pembentukan karakter mahasiswa baru. Sebaliknya, praktik ini justru merusak kesejahteraan mental dan sosial mereka, bertentangan dengan esensi pendidikan yang semestinya membebaskan, bukan menindas. Kekerasan dalam ospek tidak hanya bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan, tetapi juga melanggar hukum dan hak asasi manusia (HAM).
Dalam hukum nasional, pelbagai tindakan, seperti bentakan, makian, pemukulan, atau bentuk kekerasan lainnya dapat dijerat dengan berbagai pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seperti Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan, Pasal 351 tentang penganiayaan, dan Pasal 310 tentang penghinaan. Selain itu, dalam konteks HAM, praktik perpeloncoan melanggar prinsip dasar perlindungan hak individu sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 serta Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang menegaskan hak setiap individu untuk bebas dari perlakuan yang merendahkan martabat manusia.
Dengan adanya regulasi hukum dan prinsip HAM tersebut, praktik ospek yang mengandung unsur kekerasan mesti dihapuskan. Institusi pendidikan memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan bahwa orientasi mahasiswa baru dilakukan dengan pendekatan yang lebih humanis, berorientasi pada penguatan karakter, dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi serta HAM.
Quo Vadis Pemerintah, Birokrat Kampus, BEM, dan DPM?
Jika kekerasan dalam ospek terus berlangsung, maka pertanyaan yang mesti diajukan adalah: di mana peran pemerintah, birokrat kampus, serta organisasi kemahasiswaan, seperti BEM dan DPM dalam menyikapi hal ini? Pemerintah melalui kementerian terkait telah berulang kali menegaskan larangan terhadap praktik kekerasan dalam ospek, tetapi implementasi kebijakan ini sering kali tumpul di tingkat kampus. Regulasi yang ada tidak cukup jika tidak diiringi dengan mekanisme pengawasan yang ketat dan sanksi yang tegas bagi pelanggar.
Birokrat kampus pun tak bisa lepas tangan. Sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam tata kelola perguruan tinggi, rektorat dan dekanat memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa ospek tidak lagi menjadi ajang perpeloncoan yang melanggengkan budaya kekerasan. Sayangnya, banyak pejabat kampus yang (seolah) memilih bersikap pasif, menganggap kekerasan dalam ospek sebagai “urusan internal mahasiswa” yang tidak perlu diintervensi. Padahal, membiarkan praktik ini sama saja dengan merestui keberlanjutan sistem penindasan dalam institusi pendidikan.
Di sisi lain, organisasi mahasiswa seperti BEM dan DPM semestinya menjadi garda terdepan dalam menolak segala bentuk kekerasan di kampus. Ironinya, tak jarang organisasi mahasiswa justru ikut terjebak dalam glorifikasi budaya senioritas yang menormalisasi perpeloncoan. Alih-alih melawan, sebagian malah mempertahankan tradisi yang menindas dengan dalih membangun solidaritas dan loyalitas. Padahal, solidaritas sejati lahir dari kesetaraan, bukan dari relasi kuasa yang timpang.
Sudah saatnya semua pihak pemerintah, birokrat kampus, dan organisasi mahasiswa bersikap tegas dalam menghapuskan kekerasan dalam ospek. Jika kampus ingin benar-benar menjadi ruang intelektual yang menjunjung tinggi kebebasan berpikir dan hak asasi manusia, maka praktik perpeloncoan mesti dibuang ke tempat yang semestinya: sejarah kelam yang tak perlu diulang.
Langkah konkret untuk menghapus kekerasan dalam ospek mesti dimulai dengan reformasi kebijakan kampus yang tegas, seperti penerapan sanksi akademik dan hukum bagi pelaku kekerasan serta mekanisme pengaduan yang melindungi korban. Selain itu, pendekatan preventif, seperti pelatihan kepemimpinan, sosialisasi hak-hak mahasiswa baru, serta pengawasan ketat oleh pihak kampus dan lembaga independen perlu diterapkan. Penguatan budaya ospek yang lebih substantif, berbasis inklusivitas, edukasi, dan solidaritas pun harus menjadi prioritas agar tradisi penyambutan mahasiswa baru benar-benar mencerminkan nilai-nilai akademik dan kemanusiaan.Izin senior. Akhir kata, tulisan ini sejatinya merupakan bentuk kepedulian dan perhatian saya kepada nilai-nilai kemanusiaan yang semestinya juga hadir di kampus. Senior-senior narsistik, hipokrit, dan sok jagoan ada baiknya masuk keranjang sampah karena sikap dungu mereka tak mencerminkan seorang mahasiswa, yang mestinya mengedepankan daya nalar intelektual, alih-alih “intelektual”. Mengutip Wiji Thukul, “Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: LAWAN!” A luta continua, Viva Comrades!
*Mahasiswa Fakultas Hukum UNNES
Catatan: opini ini merupakan sikap pribadi penulis, bukan sikap redaksi maupun organisasi.