Pada aksi Hari Buruh 2025 di Semarang, enam mahasiswa ditangkap oleh aparat keamanan dengan tuduhan melakukan perlawanan dan kerusuhan. Dari enam tersebut, tiga diantaranya adalah mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang hingga kini masih ditahan tanpa kejelasan dan transparansi proses hukum. Transparansi yang dimaksud yaitu kelanjutan informasi yang jelas dari pihak kampus terhadap mahasiswa yang ditahan oleh kepolisian.
Kasus ini sempat menghangat di media sosial, namun pada kenyataannya mayoritas civitas akademika hanya sekadar tahu tanpa benar-benar memahami duduk perkaranya. Tak sedikit yang akhirnya memilih diam, bingung harus berbuat apa, atau bahkan merasa tak punya daya untuk ikut terlibat. Lantas terbesit sebuah pertanyaan, “Mengapa solidaritas satu almamater kian memudar?”
Mayoritas mahasiswa yang kami wawancarai mengaku tahu akan adanya kasus penahanan terhadap mahasiswa yang sebagai massa aksi pada Hari Buruh 2025. Namun, informasi yang mereka dengar hanya kabar simpang siur. Di sudut lain, para mahasiswa yang mengikuti aksi atau kasus ini memilih berbagai sikap. Mulai dari ketakutan, menenangkan diri, mengatur strategi untuk penyelesaian masalah ini, hingga memperkuat solidaritas untuk aksi kedepannya.
Ketakutan terhadap potensi pelacakan identitas dan ancaman keamanan pribadi membuat mereka menarik diri sejenak. Fenomena ini menunjukkan bahwa iklim kebebasan berekspresi di kalangan akademisi mulai terkikis oleh rasa takut yang perlahan menjadi normalisasi baru dalam melakukan aksi unjuk rasa.
Lebih kompleks lagi, kasus ini telah memunculkan dilema moral di kalangan mahasiswa. Di satu sisi mereka dihadapkan pada realitas, bahwa mahasiswa yang tertahan telah diproses oleh pihak kepolisian berdasarkan pasal dan narasi yang menjadikan ideologi sebagai dasar penangkapan. Namun disisi lain, ada kesadaran bahwa aksi demonstrasi adalah wujud dari ungkapan keresahan massa aksi pada negara, sebagaimana dijamin oleh konstitusi.
Dosen yang kami temui juga mengetahui dan memberikan catatan terkait penahanan para mahasiswa. Ia mengatakan bahwa, aksi demonstrasi adalah wujud keberpihakan terhadap isu-isu sosial yang perlu menjadi perhatian masyarakat. Ekspresi politik yang disuarakan dalam momentum Hari Buruh sepenuhnya sah dan dilindungi oleh konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 28E UUD 1945. Tapi di sisi lain, ia menyarankan bahwa peningkatan kapasitas mahasiswa dalam manajemen aksi perlu dilatih agar tidak membahayakan peserta aksi yang lain dan tetap fokus pada substansi tuntutan aksi.
Selanjutnya, perlu kita kulik tentang “Seberapa peduli civitas akademika terhadap mahasiswa-nya yang ditahan oleh kepolisian?”
Kami menemukan bahwa mayoritas mahasiswa kurang peduli walaupun sudah mengetahui kasus tersebut. Kecuali mereka yang ikut berorganisasi dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Sebab, mereka gencar menyuarakan pembebasan terhadap mahasiswa yang ditahan. Situasi sekarang ini sedang membisu oleh mahasiswa yang sering bergerak dalam aksi, kini dalam posisi “tiarap” agar tidak menjadi “mangsa” selanjutnya oleh pihak kepolisian. Kurang kuatnya solidaritas dalam dua puluh hari setelah penahanan para mahasiswa membuat pihak yang ingin mencoba peduli, bertanya-tanya, “Di sisi mana saya sebaiknya merapatkan barisan?”
Saat ini kepedulian mahasiswa sedang redup sebelum akhirnya menuai titik terang dalam seruan pembebasan yang merupakan buah dari konsolidasi pada Rabu, 4 Juni 2025.
Diam adalah bentuk persetujuan pasif terhadap tindakan yang represif dari pihak kepolisian dan kampus. Hal utama yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian dari seluruh civitas akademika untuk mengubah ketidakpedulian menjadi aksi nyata. Ajakan solidaritas harus menjalar ke seluruh lapisan, mulai dari mahasiswa, pegawai hingga pemangku kebijakan kampus.
Di tengah situasi seperti ini, diperlukan manajemen aksi yang terorganisir, terarah, dan melibatkan seluruh pihak kampus. Konsolidasi lintas organisasi kini telah dilakukan untuk memastikan bahwa perjuangan pembebasan mahasiswa yang ditahan harus berdiri kokoh sebagai satu suara.
Para mahasiswa telah melakukan berbagai upaya, seperti: seruan pembebasan melalui jejaring sosial media maupun aksi secara langsung di Simpang Tujuh Unnes, audiensi yang mana pihak kampus kini lepas tangan dalam upaya pembebasan mahasiswa yang ditahan, hingga menciptakan ruang diskusi dan konsolidasi yang memperkuat gerakan pembebasan.
Kami melihat ajakan organisasi mahasiswa seringkali masih bersifat eksklusif. Dalam hal ini, terkesan seperti hanya mengajak individu yang ada dalam tubuh internal dari organisasi mahasiswa tertentu. Padahal, dukungan moral dan suara dari seluruh elemen: mahasiswa, pegawai, dan dosen secara masif sangat dibutuhkan sebagai pengawalan proses hukum yang sedang dijalani oleh sesama pejuang pendidikan.
Transparansi dari pihak kepolisian dan kampus terkait keberlanjutan informasi penyelesaian kasus merupakan poin utama yang harus terus dikawal. Dalam upaya menuntut transparansi kepada pihak tersebut, perlu juga untuk membuat kajian mendalam terkait isu ini. Sehingga, dapat menguraikan benang kusut dari kasus penahanan mahasiswa.
Tak kala isu mulai redup, sebaiknya dari seluruh elemen tetap memercikkan api perjuangan dengan kacamata akademisi yang menekankan sense of belonging antar civitas akademika. Hal ini ditiupkan agar tercipta partisipasi yang aktif layaknya merangkul sesama mahasiswa dari berbagai fakultas secara langsung dalam upaya pembebasan.
Tak hanya pengurus organisasi, tapi juga mahasiswa yang ingin bersolidaritas. Menciptakan ruang diskusi dan aspirasi bagi siapapun dan menghidupi kembali rasa senasib dalam perjuangan sebagai saudara satu almamater, merupakan jalan alternatif yang perlu menjadi dasar panggilan untuk kembali menguatkan suara pembebasan.
Salam Redaksi