Beranda Kabar Kilas

AJI Semarang Gelar Diskusi Publik: Hari Anti Penyiksaan Internasional sebagai Wujud Menjaga Semangat Masyarakat Sipil

Para narasumber dan salah satu moderator tengah duduk dalam diskusi pada Kamis, (26/06/25) [Lidwina/BP2M]
Para narasumber dan salah satu moderator tengah duduk dalam diskusi pada Kamis, (26/06/25) [Lidwina/BP2M]

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang mengadakan diskusi publik dalam rangka memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional pada Kamis (26/06/2025), pukul 15.00 hingga 18.00 WIB. Diskusi ini penting untuk menjaga semangat masyarakat sipil pasca aksi Hari Buruh 2025. Bertempat di Kota Semarang, kegiatan ini dihadiri oleh berbagai pembicara dari kalangan akademisi, lembaga bantuan hukum, hingga jurnalis.

Diskusi diawali dengan penjelasan mengenai Extra Judicial Killing (EJK) dan supremasi hukum oleh Theo Adi, seorang dosen Ilmu Hukum dari Universitas Katolik Soegijapranata.  Ia menegaskan bahwa EJK merupakan praktek kekerasan oleh aparat tanpa prosedur hukum yang sah, sering dilakukan dengan efisien, penekanan oposisi, hingga intimidasi. Theo juga menyinggung beberapa kasus seperti penembakan enam anggota FPI, kasus Gamma, hingga kematian Munir sebagai bentuk nyata EJK di Indonesia.

Theo menjelaskan tentang kasus penembakan misterius yang terjadi di tahun 1982-1985 merupakan salah satu Extra Judicial Killing. 

“Biasanya berupa penembakan di jalan hingga penculikan. Lalu jenazah mereka dibuang di pinggir jalan tanpa identitas yang jelas. Selain itu bentuk lainnya, mereka dimintai KTP, bahkan sidik jari mereka dibakar untuk menghilangkan keterkaitan dengan pelaku,” tutur Theo.

Nieha, perwakilan dari Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM), turut membagikan cerita para penyintas dari penyiksaan aparat pada masa  Gerakan 30 September tahun 1965. Nieha sendiri pernah mengalami perlakuan tidak menyenangkan akibat tuduhan menculik seorang perempuan korban kekerasan yang sedang ia dampingi saat itu.

“Saya dulu pernah dituduh menculik gadis karena mengadvokasi korban kekerasan,” ujar Nieha.

Sementara itu, Safali dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang mengulas bentuk-bentuk penyiksaan berdasarkan kerangka hukum, khususnya merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan. 

“Salah satu kawan kita di tahanan pernah merasakan kekerasan dari pihak aparat berkali-kali,” tuturnya menceritakan korban tahanan pasca aksi Hari Buruh 2025.

Mahasiswa dari UIN Walisongo bertanya terkait mahasiswa yang pernah berjuang bersama, tapi saat sudah menempati posisi tertentu, tidak lagi berada di garis yang sama.

“Bagaimana saat teman-teman sekarang yang sedang berjuang, nantinya akan mendapat posisi yang menguntungkan?” tanyanya. 

Salah satu peserta diskusi menyampaikan jawaban bahwa hal itu sering terjadi dalam gerakan. Maka, sekarang gerakan masih memerlukan proses penguatan dari dalam.

Aris Mulyawan sebagai Ketua AJI Semarang menegaskan bahwa diskusi ini digelar sebagai wujud refleksi atas tingginya angka kekerasan terhadap jurnalis di Jawa Tengah. Ia juga berharap, diskusi ini dapat menumbuhkan kesadaran kolektif. 

“Harapan ke depan adalah terbentuknya kesadaran dan kepedulian bersama untuk menentang segala bentuk kekerasan,” ujarnya.
Diskusi ini ditutup dengan closing statement dari masing-masing pembicara. Mereka menyepakati bahwa perlu diadakan ruang diskusi semacam ini agar tetap menjaga semangat sebagai sesama masyarakat sipil.

Reporter: Haidar Ali (Magang BP2M), Sultan Ulil (Magang BP2M), Naila Nurul (Magang BP2M), Lidwina Nathania

Penulis: Naila Nurul (Magang BP2M)

Editor: Lidwina Nathania

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *