Di tengah riuh ombak dan bau asin karena mulai naiknya air laut di Kelurahan Tambakrejo, Maesaroh atau kerap dipanggil Zahro (38), ibu dengan empat anak harus memulai harinya lebih pagi. Pukul 05.30 WIB, ia harus menyelam untuk mencari lur (cacing laut) untuk dijual sebagai umpan pancing. Selepas mencari cacing, terkadang ia harus mencari kerang hijau pula. Kali ini ia tak langsung pergi mencari kerang hijau, melainkan pulang untuk istirahat. Sebab, rob mulai muncul. Pukul 10.33 WIB, barulah ia sampai di rumah dengan tubuh letih dan basah kuyup.
“Cari lur itu harus oyak-oyak-an (kejar-kejaran) sama air, kalau rob ga bisa njegur (menyelam),” ujarnya.
Begitulah kehidupan Zahro. Gara-gara rob, ia harus hidup oyak-oyak-an dengan air yang akan pasang entah kapan. Jika air mulai rob di pagi hari, ia akan mencari lur di siang hari ataupun sebaliknya.
Rumahnya berukuran 6×8 meter ialah hasil pembangunan rumah deret untuk nelayan yang terdampak penertiban proyek normalisasi Sungai Banjir Kanal Timur (BKT). Di dalam rumahnya, suami dan empat anaknya sudah menanti. Anak bungsunya, Amel (6) sudah bergelayut manja di pangkuannya selepas ia mandi. Sebab, ketika si kecil bangun, ibunya sudah berangkat mencari sesuap nasi untuknya.
Bagi Zahro, Amel ialah anak yang sudah melewati berbagai hal semenjak ia dalam kandungan. Pasalnya, Amel sejak dalam kandungan sudah ia ajak ‘menyelam’ di laut. Ia lahir ditengah-tengah kekacauan peristiwa penggusuran permukiman warga di sepanjang bantaran Sungai BKT lalu.
***
Pada umur 3 tahun, Amel masuk kategori balita stunting. Dinas Kesehatan Kota Semarang menyebut ada 8 balita stunting di Tambakrejo pada 2022. Sementara pada tahun 2023, angka stunting di Tambakrejo sebanyak 5 balita.
Fadilah, Ibu RT 06 RW 16 Kelurahan Tambakrejo pada tahun 2022 menuturkan sebanyak 8 balita terdampak stunting itu hanyalah balita yang berdomisili di RT 06 RW 16 Tambakrejo. Salah satunya ialah Amel.
“Amel kena stunting. Orang di sini (Tambakrejo) heran, soalnya Amel makannya lahap,” tutur Zahro menyimpan getir dalam senyuman pasrah.
Keheranan tersebut juga menghinggapi benak Fadilah. Menurutnya, walaupun tubuh Amel kecil dan pendek ada kemungkinan menurun karena kondisi fisik orang tuanya.
“Kan bapak ibunya pendek juga, kalau anaknya mau tinggi juga susah toh,” ujarnya.
Fadilah melanjutkan ceritanya, kriteria stunting yang dijelaskan oleh pihak Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) salah satunya pertumbuhan anak yang tidak stabil antara berat badan dengan tinggi badan. Bukan karena kurus akibat tidak makan lalu stunting. Tetapi, pertumbuhan yang tidak proporsional atau sesuai dengan tinggi badan dapat menjadi salah satu faktor penyebab stunting. Sehingga oleh pihak Posyandu patut memantau supaya dampak tersebut tidak menurun pada generasi selanjutnya.
Tentunya, persoalan stunting menjadi cukup mengkhawatirkan bagi Zahro sendiri sebagai seorang ibu dengan empat anak. Menurut cerita Zahro, anak sulungnya ketika masih berusia 2 tahun pertumbuhannya begitu lambat.
“Umur 2 tahun kayak masih 7 bulan. Saya juga heran. Anak saya yang lain juga gitu,” ujarnya.
![Pukul 10.33 WIB Zahro (sebelah kiri) menenteng tudung selepas mencari lur, (Sabtu, 31/05/25) [Retno/BP2M]](https://linikampus.com/wp-content/uploads/2025/07/Zahro-sebelah-kiri--1024x768.jpg)
Krisis Iklim di Dapur Pesisir
Di balik tubuh mungil Amel, menyimpan cerita panjang tentang bagaimana perubahan iklim perlahan-lahan menggerogoti isi piring Amel—bukan hanya tempat tinggal yang kerap tergenang rob, tapi juga isi piring yang kian hari makin sederhana. Saat laut tak lagi bersahabat, dapur-dapur di pesisir pun ikut limbung.
Zahro bercerita persoalan makan, Amel selalu makan lahap, tetapi persoalan lauk, ia selalu mengisi piring dengan mengandalkan hasil tangkapan suaminya.
“Kalau ayahnya melaut, dapet ikan, ya makannya ikan. Kalau nggak, ya seadanya,” cerita Zahro.
Cerita Zahro sesuai dengan apa yang telah dituturkan oleh Mila Karmilah, Kepala Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) soal bagaimana wilayah tangkapan nelayan semakin terbatas.
“Tambakrejo mungkin tidak menghadapi permasalahan abrasi yang begitu besar, tapi mereka dihadapkan pada masalah sedimentasi yang cukup tinggi. Pastinya wilayah tangkapan nelayan semakin lama semakin terbatas,” tutur Mila.
Tak hanya itu, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah, Fahmi Bastian menyoroti pula persoalan sampah-sampah yang ada di laut dan terbawa oleh rob memiliki pengaruh buruk terhadap pekerjaan nelayan. Pasalnya, sampah tersebut mengotori laut dan membuat kerusakan ekosistem pesisir yang mampu mempengaruhi hasil tangkapan nelayan.
Di sisi lain, Zahro juga bercerita bagaimana awal kehamilannya. Saat usia janin 4 minggu, ia menjadi salah satu warga yang terdampak penertiban proyek normalisasi Sungai BKT. Sehingga, selama 1,5 tahun ia hidup di tenda yang didirikan di bawah jembatan bersama dengan warga lainnya.
“Pas tinggal di tenda, aku ga nyaman. Soalnya desak-desakkan,” lanjutnya.
Selain persoalan ketidaknyamanan, akses makanan bergizi untuk ia dan si jabang bayi juga menjadi kekhawatiran khusus. Pasalnya, selama hidup di tenda tersebut ia terhambat dalam mengonsumsi asam folat sebagai kebutuhan selama ia hamil.
Apa yang dituturkan oleh Zahro masuk akal. Sebab, Marzuki (36) nelayan sekaligus warga yang ikut terdampak dalam proyek normalisasi BKT, menuturkan selama 1,5 tahun persoalan makan selalu disuplai oleh relawan. Selama bulan Ramadhan saat digusur, kebutuhan makan untuk buka puasa hingga sahur, ada relawan yang memasakan. “Pakaian sisa-sisa, makanan juga sisa-sisa. Dan semua bantuan tumplek-blek kayak orang habis kena bencana. Akhirnya, selama 1,5 tahun kehidupan kami ditopang bantuan itu,” ujarnya.
Krisis Iklim di Dompet Nelayan
Selain persoalan dapur yang makin hari makin limbung karena tangkapan nelayan semakin hari semakin menipis. Krisis iklim juga mengakibatkan krisis pada dompet kepala keluarga. Hal yang sama dikeluhkan oleh Zahro terkait hasil tangkapan suaminya.
![Riyanti (52) sedang membersihkan kerang hijau untuk dijual, (Sabtu, 31/05/25) [Retno/BP2M]](https://linikampus.com/wp-content/uploads/2025/07/Ibu-Ibu-Tambakrejo-membersihkan-kerang-hijau--1024x768.jpg)
“Sekali cari, belum tentu, kadang dapat, kadang engga. Kalau ramai, kadang bisa dapet Rp200.000 hingga Rp300.000. Kalau ada ikannya, bisa Rp400.000. Itu juga belum tentu,”
Keluhan tersebut juga dilontarkan pula oleh Marzuki. Selama 10 tahun terakhir, ia merasa pendapatan nelayan turun drastis.
“Kayak dulu tuh, nyari uang Rp300.000 hingga Rp500.000 itu mudah, tapi kalau sekarang, penghasilan cuma 10% nya dari itu. Dulu dapat Rp300.000 hingga Rp500.000, bahkan Rp1.000.000 itu mudah. Sekarang paling dapet Rp200.000 hingga Rp300.000 itu udah pol alhamdulillah,” ceritanya.
Ironisnya, sekarang pendapatan per harinya hanyalah sebesar Rp80.000 hingga Rp100.000 saja. Sebagai alternatif mata pencaharian, masyarakat Tambakrejo fokus mencari kerang hijau untuk dijual. Pasalnya, kerang hijau yang sudah dibersihkan jika dijual hanya seharga Rp 5.000 hingga Rp 6.000 per kilogram. Sedangkan, harga kerang hijau yang besar menyentuh Rp 7.000 per kilogram. Sama halnya bagi Zahro, segala pekerjaan ia lakukan, mulai dari mencari kerang hijau, lur, hingga membungkus kapsul.
“Lumayan sih, satu pack bungkusnya, Rp25.000. Dan biasanya dikasih sama bos-nya Rp30.000,” ceritanya.
Rentan terhadap Gangguan Kecemasan
Selain persoalan mulai menurunnya pendapatan nelayan, permasalahan rob masih menjadi kekhawatiran masyarakat Tambakrejo. Sebab menurut cerita Ummi (35) sekaligus istri Marzuki, terkadang air rob rembes (masuk) ke sela-sela rumah.
“Yang jadi sangat mengkhawatirkan ketika hujan ga berhenti. Itu hampir banjir atau bahkan langsung banjir,” tuturnya.
Yuli Arinta Dewi, dosen Psikologi Unissula menuturkan masyarakat yang terdampak rob, mereka harus beradaptasi, bertahan hidup, dan tetap bekerja di sana. Meskipun sejatinya, secara ekonomi mereka sudah tidak sehat.
“Kan sebenarnya sangat tidak memungkinkan gitu, tapi mereka nggak ada pilihan lain, misalkan memang terdampak pada satu-satunya mata pencaharian. Maka, secara psikologis justru menjadi satu tantangan luar biasa terkait masalah kesehatan mental yang perlu digali lebih dalam,” ujarnya.
Di sisi lain, sebagai penyintas terdampak proyek normalisasi Sungai BKT, Zahro juga merasa tak nyaman ketika tinggal di tenda, baik selama kehamilan atau pasca kehamilannya.
Yuli bercerita pula, bahwasanya stres atau ketidaknyamanan pada ibu hamil itu memengaruhi hormon dan otak janin. Sehingga, kemudian perkembangan janin tidak begitu baik terutama jika pada saat hamil mengalami penggusuran yang dihadapi oleh Zahro. Risikonya ialah berdampak pada stres dimana hormon stres akan meningkat.
Janin yang terpapar stres tinggi cenderung mengalami perkembangan yang lebih rentan, misalnya menunjukkan gangguan pada regulasi emosi, kesulitan belajar, perilaku agresif, hingga cemas di usia dini.
Yuli melanjutkan ceritanya, gangguan kecemasan itu bisa berdampak pada pola makan. Ketika berdampak pada ibu hamil, bisa saja memengaruhi nutrisi yang diterima oleh si jabang bayi. Si jabang bayi akan mengalami malnutrisi kemudian memperburuk status gizi si janin.
“Nah, kombinasi dari stres psikologis sama kekurangan gizi itu pada jangka panjang bisa berkontribusi pada stunting,” ujarnya.
Pengalaman Zahro dan masyarakat Tambakrejo RT 06 RW 16 menjadi penyintas proyek normalisasi Sungai BKT dan rob yang kini masih belum terselesaikan menimbulkan beban pemikiran tersendiri bagi mereka.
“Pengalaman (rob) yang berulang itu menciptakan rasa yang tidak aman. Sehingga kemudian mengalami kewaspadaan yang berlebihan, misal takut saat hujan jadi mengakibatkan sulit tidur. Nah itu, adalah gejala kecemasan,” ujar Yuli.
Di Tambakrejo, gelombang krisis iklim tak hanya menggerus daratan, tetapi juga mengikis kepastian hidup, satu demi satu. Bukan hanya perahu nelayan yang semakin jarang berlayar karena tangkapan tak menentu, tapi juga tubuh-tubuh kecil yang bertumbuh di tengah keterbatasan gizi dan kecemasan yang tak kasat mata. Dari dapur yang makin sederhana hingga dompet yang semakin ringan, dampaknya berlanjut ke benak anak-anak yang tumbuh dengan kekhawatiran yang diwariskan secara tak sengaja.
Reporter dan Penulis: Retno Setiyowati
Editor: Lidwina Nathania
Tulisan ini merupakan hasil liputan penulis dalam “Media Fellowship: Jurnalis Peduli Pesisir, Jaga Urip Wong Jateng” yang diinisiasi oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI).