Jelang peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia, kita kembali dihadapkan pada momen untuk merefleksikan makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Di tengah carut-marut permasalahan yang kian dinormalisasi seperti kerusakan lingkungan akibat proyek strategis nasional dari mulai food estate dan bagi-bagi konsensi tambang, terbatasnya lapangan pekerjaan sementara para penguasa merangkap jabatan ada yang menjadi wakil menteri dan komisaris disaat bersamaan, dan pengesahan kebijakan undang-undang tanpa melibatkan partisipasi publik dari RUU TNI sampai RKUHAP.
Dısatu sisi jika ada kritik dan aksi terhadap kondisi bangsa,maka bersiaplah mendapat represi hingga distigma sebagai “barisan sakit hati” yang diduga menerima bayaran dari koruptor dan dekat dengan pihak asing oleh penguasa. Padahal, seharusnya pihak yang menuduh , dalam hal ini penguasa, harus membuktikan tuduhan tersebut sebagai istilah dalam latin “Ei incumbit probatio qui dicit, non qui negat” yang artinya beban pembuktian ada pada orang yang menyatakan, bukan pada orang yang menyangkal. Apalagi, jika kita menelaah pada fakta objektif, justru virus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) serta kecenderungan pro terhadap asing sepertinya tampak melekat pada tubuh kekuasaan.
Dalam konteks KKN jika mendasarkan pada jenisnya yang menurut Alatas (1986) terbagi menjadi tiga yaitu suap (bribery), saat pegawai pemerintah menerima hadiah atau uang untuk memprioritaskan kepentingan pemberi. pemerasan (extortion), yakni ketika pejabat memaksa masyarakat atau perusahaan memberikan uang agar urusan mereka dilayani, atau bahkan menggunakan dana negara untuk kepentingan pribadi dan menaikkan harga proyek demi keuntungan lebih. Dan nepotisme, yaitu mengangkat saudara, teman, atau sekutu politik sebagai pejabat tanpa mempertimbangkan kemampuan mereka atau dampak buruknya bagi rakyat. Maka ketiga praktik itu termanifestasikan dalam contoh-contoh yang sudah menjadi rahasia umum seperti bagi-bagi kekuasaan yang tidak berbasis meritokrasi, rangkap jabatan wakil menteri yang juga menjadi komisaris, penggelapan dana pembangunan, hingga upaya pelemahan KPK, apakah Semua itu bukan wujud nyata dari KKN di tubuh kekuasaan?
Jadi, sebelum penguasa menuding bahwa gerakan rakyat dimanfaatkan oleh koruptor yang hanya mendasarkan pada cuplikan pengakuan dari tersangka korupsi jika gerakan rakyat yang viral dalam beberapa tahun mendapatkan suplai dana darinya, rasanya perlu juga dipertanyakan, apakah tubuh kekuasaan telah bersih dari parasit korupsi yang memanfaatkan inangnya? Jika jawabannya ‘sudah’, muncul pertanyaan lagi, sudah sejauh mana penguasa menyadari bahwa permasalahan korupsi yang berurat akar dari gabungan faktor sistemik, politik, dan sosiokultural sudah tuntas penyelesaiannya?, atau justru yang menuduhkan itu memiliki masalah sistematik terkait praktik KKN di dalam tubuhnya sendiri ?
Jika kita menaikkan level pemikiran sebagaimana nasehat Rocky gerung, sebenarnya negara kita masih terjebak di tengah tata kelola pemerintahan yang masih lemah yang di perkuat dengan ketidakpatuhan terhadap prinsip pemerintahan yang baik. disatu sisi lembaga publik juga masih rapuh sehingga kerap gagal dalam menegakkan hukum. Praktik Kolusi, Korupsi, dan nepotisme (KKN) selalu terjadi di level pusat sampai daerah, yang ironisnya dahulu ada yang menjanjikan akan merampas habis aset koruptor namun setelah menjadi pemimpin yang dahulu menjadi singa podium, berteriak-teriak “ Hey asing, hey koruptor”, sambil memukul podium justru saat ini disebuah wawancara “”Masalah dimiskinkan, saya berpendapat begini. Makanya saya mau negosiasi selalu, kembalikan yang kau curi. tapi memang susah. karena secara sifat manusia mungkin dia nggak mau ngaku. Jadi pertama harus dikasih kesempatan,” ucapnya.
Memang benar persoalan kesalahan orang tua tidak sepatutnya dilimpahkan pada anak, namun memakai diksi “memberi kesempatan” dan “adil” pada persoalan kolusi,korupsi, dan nepotisme justru menimbulan kontradiksi dan kesan tidak serius dalam melawan praktik KKN. bagaimana mungkin konsep ‘keadilan’ dan ‘pemberian kesempatan’ diterapkan pada tindakan yang secara inheren tidak adil yang telah menutup kesempatan bagi banyak orang melalui perampasan sumber daya publik?, kalau serius ingin melawan praktik KKN selain dimulai dari lingkaran sendiri maka perlu juga disahkan undang-undang perampasan aset dan mencegah upaya-upaya pelemahan terhadap gerakan sipil dan institusi yang melawan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Semakin hari, praktik Kolusi, korupsi, dan nepotisme di Indonesia memang semakin buruk meskipun Indeks Persepsi Korupsi tahun 2024 yang dirilis Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan kenaikan tiga poin menjadi 37 dibandingkan tahun 2022 dan 2023, tetapi menurut Dr. Rimawan Pradiptyo tetap tidak menunjukkan perubahan signifikan dalam upaya pemberantasan KKN Terlebih, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura, dan Vietnam, Indonesia masih tertinggal (UGM, 2025).
Dari level nasional ke daerah, dari level kebijakan sampai praktik, budaya KKN terus menguat di negeri yang tergolong religius tetapi kitab suci saja dikorupsi. Di level nasional, hampir setiap hari kita mendengar kabar kasus-kasus korupsi dengan jumlah fantastis seperti tiga kasus korupsi teranyar yaitu korupsi nikel, pertamina, dan antam. Belum selesai dengan kasus-kasus besar itu, pemerintah muncul sebagai pahlawan dengan memberikan ampunan terhadap terpidana kasus KKN, banyak pihak yang menyoroti penggunaan amnesti terhadap skandal KKN salah seorang politisi merupakan taktik politik untuk merangkul yang bersebrangan agar masuk dalam satu gerbong.
Di level daerah, praktik KKN tidak kalah kuat, misalnya saja dalam proses desentralisasi fiskal yang seharusnya memperkuat otonomi daerah justru membuka peluang terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme bagi pejabat daerah yang berkongkalikong dengan pusat dan entitas non negara. Sebagaimana yang terjadi di pusat, banyak pejabat lokal memanipulasi peraturan untuk keuntungan pribadi sehingga menciptakan suasana yang kondusif untuk membangun “kerajaan kecil”.
Mereka juga memanfaatkan kekuasaan yang diperoleh itu untuk menguangkan sumber daya alam dan membangun dinasti dengan mengangkat kerabat sebagai penerus atau menempati posisi berpengaruh lainnya. akibatnya meritokrasi yang menitikberatkan pada persoalan kemampuan untuk mengisi posisi penting justru sudah lama mati dilevel daerah sehingga menghalangi proses seleksi yang transparan dan akuntabel (Tamba et al., 2023).
Tiga sektor vital bagi rakyat juga turut menjadi ladang praktik KKN, yaitu kesehatan, pendidikan, dan sosial. Di sektor pendidikan, contoh kasus KKN yang pernah terjadi seperti korupsi dalam pengelolaan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang dirancang untuk membantu sekolah-sekolah, terutama di daerah terpencil akibatnya banyak sekolah yang tidak mendapatkan anggaran seperti yang dijanjikan (Pambudi, 2023). Saat artikel ini ditulis, publik juga dihebohkan dengan skandal KKN terkait pengadaan komputer di kementerian pendidikan pada era Nadiem yang juga menyeret si menteri yang juga founder gojek itu.
Di sektor kesehatan, dari sekian banyak kasus KKN yang pernah terjadi ada satu kasus yang menurut saya pribadi sangat kejam yaitu korupsi pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) dengan sumber dana dari Dana Siap Pakai (DSP) BNPB tahun 2020 yang menyeret BS Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan, SW Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI), dan AT Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) sebagai tersangka dengan kerugian negara sebesar RP 319 Miliar (KPK,2024). Kasus korupsi alat pelindung diri (APD) tentu berdampak dengan keselamatan petugas di lapangan yang juga banyak menjadi korban penularan covid-19, secara tidak langsung apapun kasus korupsi di bidang kesehatan merupakan pembunuhan terencana terhadap rakyat.
Di sektor sosial, salah satu contoh kasus yang juga tak kalah kejam sekaligus membuka kemunafikan penguasa adalah kasus korupsi menteri sosial di era covid-19. Sebelum terungkap, sang menteri sempat mengajari kita solusi untuk mencegah korupsi, telusuri saja jejak digitalnya dengan kata kunci “ solusi cegah cegah korupsi ala………… “, dari situ sebagai rakyat biasa seyogyanya kita harus mengambil pelajaran untuk tidak terlalu percaya dengan pejabat. meskipun kita bisa menerima nasehat mereka namun sisakan sedikit rasa tidak percaya. Penyelewangan bantuan sosial juga terjadi dilapangan juga tidak kalah ironis dari sisi pemilihan penerima bantuan yang yang tidak tepat sasaran dan pembagiannya disesuaikan dengan momentum elektoral (Purwati et al,2022).
Praktik KKN juga berdampak pada merusak lingkungan. Apalagi praktik KKN selalu berhubungan dengan Konglomerasi oligarkis yang merampas akses rakyat terhadap lahan, hutan, dan sumber mata air yang menjadi sumber penghidupan dan ketahanan pangan masyarakat. Akibatnya, bukan hanya kesejahteraan rakyat dan kemajuan negara yang terabaikan, tetapi alam juga turut rusak akibat praktik KKN yang berkerjasama dengan oligarki.
Dalam persoalan pro terhadap asing, sebenarnya Indonesia sudah lama terjebak dalam jerat neoliberalisme yang secara signifikan melemahkan fungsi dan peran negara. Bob Sugeng Hadiwinata dalam Refleksi Historis Kembalinya Peran “Negara” untuk pengantar buku Melindungi Negara dari Ancaman Neoliberal karya Erhard Eppler (2020) menuliskan jika Indonesia sebenarnya sudah terseret dalam regionalisme dan neoliberalisme yang mengubah sifat, fungsi, dan peran negara.
Persoalan Neoliberalisme juga sudah membuat Indonesia tunduk pada “Washington Consensus,” kredo dari Bank Dunia dan IMF yang mensyaratkan penerapan kebijakan ekonomi liberal seperti reformasi fiskal, suku bunga pasar, perdagangan bebas, privatisasi, dan deregulasi bagi negara yang ingin mendapat fasilitas pinjaman. Akibatnya, praktik bisnis menjadi terlalu bebas dan hampir tak terjangkau oleh aturan pemerintah. Dengan kenyataan seperti itu kelas pekerja Indonesia tidak hanya dihisap oleh borjuasi nasional tetapi sudah masuk dalam hisapan sistem kapitalisme internasional.
Jadi jauh sebelum isu tarif Trump yang membuka akses bebas Amerika Serikat terhadap sumber daya alam Indonesia yang oleh pemerintah disanggah dengan pernyataan bahwa “semua akan diatur menurut regulasi”. Indonesia sebenarnya telah kehilangan kemandirian di bidang ekonomi, politik, bahkan budaya. apalagi Dengan budaya KKN yang masih kuat, dapatkah kita yakin bahwa regulasi yang katanya akan mengatur akses Amerika Serikat Ke sumber daya alam kita akan berjalan sebagaimana mestinya?
Pada akhirnya, refleksi HUT RI ke-80 ini mengantar kita pada pertanyaan mendasar tentang siapa yang sebenarnya terjebak virus KKN dan pro asing, rakyat atau penguasa? Penguasa kerap menuduh gerakan rakyat dibiayai koruptor dan dikendalikan asing, tetapi bukankah KKN dan kecenderungan pro asing justru terdeteksi kuat di dalam tubuh kekuasaan itu sendiri? Apakah tuduhan ini hanyalah upaya pengalihan isu dari kegagalan mereka memberantas korupsi dan menjaga kedaulatan bangsa? Ataukah penguasa sengaja membungkam suara rakyat yang menuntut keadilan demi melindungi kepentingan segelintir elit? Mungkin saatnya penguasa berhenti menuding dan mulai berkaca, tentang siapa yang benar-benar terperangkap dalam lingkaran setan ini?
Penulis: Mansurni Abadi
(Aktivis perhimpunan pelajar Indonesia se-dunia)
Referensi
Alatas, S.H., 1986, Sociology of Corruption, Institute of Education, Economic and Social Research and Information, Jakarta.
Karim, M. F., & Kholid, M. (2025). The Return of Authoritarian Neo-Liberalism in Indonesia? Journal of Contemporary Asia, 1–29. https://doi.org/10.1080/00472336.2025.2529013
Pambudi, A. (2023). Potret temuan implementasi pembangunan bidang pendidikan: studi kasus dana transfer khusus di provinsi jawa barat. Jurnal Administrasi Publik, 19(2), 193-212. https://doi.org/10.52316/jap.v19i2.173
Puryanti, P., Herdiana, D., & Darmayanti, T. (2022). Implementasi kebijakan pengelolaan dana bantuan sosial tunai (bst) covid-19 (studi kasus di kelurahan bandarysah kabupaten natuna). Jisip (Jurnal Ilmu Sosial Dan Pendidikan), 6(2). https://doi.org/10.58258/jisip.v6i2.3022