Hamparan ladang membentang, menyambut tim Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) Universitas Negeri Semarang yang hendak menyusuri Dusun Dayunan, Desa Pesaren, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah. Perjalanan ditempuh hampir dua jam dari Gunungpati menuju Dusun Dayunan. Tiba sekitar pukul 11.30 WIB, kami ke rumah Trisminah selaku perwakilan dari Kelompok Tani Kawulo Alit Mandiri yang aktif memperjuangkan tanahnya selama lebih dari satu dekade di tengah konflik agraria dengan PT Soekarli Nawaputra. Mulai dari 2014 hingga sekarang. Kini, Trisminah masih menyempatkan diri ke ladang untuk memanen cabai. Tak hanya cabai, lahan di sekitarnya juga ditanami cengkeh, kopi, jagung, jambu, dan manggis.
Sembari menunggu Trisminah memanen cabai, kami menyaksikan ritme keseharian warga yang mayoritas bekerja sebagai petani. Rutinitas mereka sederhana, sejak pagi hingga menjelang siang turun ke ladang. Lalu kembali ketika matahari mulai terbenam. Selain bercocok tanam, warga juga memelihara ayam untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Tutur Warga, Dasar Perjuangan
Usai memanen cabai, Trisminah mulai berbincang permasalahan tanah atau konflik agraria di Dusun Dayunan, sambil mengajak salah satu warga untuk bergabung bersama kami.
“Dari tahun 1956 sampai 1960-an, ketiga belas warga yang punya surat petok D (letter D) bayar sewa tanah. Terus, tahun 1960 muncul Undang-undang Pokok Agraria. Jadinya kepala desa kumpulin surat letter D itu buat katanya dikasih balik ke negara,” tutur Trisminah saat ditemui di rumahnya pada Sabtu, 6 September 2025.
Kami memeriksa dasar hukum yang mendorong tindakan dari kepala desa saat itu, Sudirman. Dalam Undang-undang Pokok Agraria, Pasal 32 Ayat 1, berbunyi, “Hak Guna Usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.” Itulah yang menjadi dasar pengumpulan letter D dari kepala desa, bahwa ada tujuan untuk mengalihkan tanah agar PT. Soekarli mendapat Hak Guna Usaha atau HGU-nya.
Pada 1970, bukannya kepala desa melaksanakan apa yang telah dikatakan pada warga yaitu surat petok D diberikan pada negara, melainkan diberikan kepada PT. Soekarli Nawaputra. Menjadi masalah baru bahwa pada 1970, PT. Soekarli belum memiliki legalitas sebagai badan hukum, melainkan baru legal pada 1978.
Dalam surat putusan dari Pengadilan Tinggi Provinsi Jawa Tengah, termaktub bahwa pada 30 Juni 1979, ketiga belas pemegang hak garap memberikan surat kuasa kepada Mulyani sebagai Direktur PT. Soekarli saat itu. Ketiga belas warga tersebut diminta memberikan tanda tangan, tanpa diberi tahu maksud dan tujuannya.
“Dari tahun 1960 sampai 1970 itu kan sudah membayar Letter D. Uang Rp12.000 itu diberikan kepada 13 nama ini. Bahasa-nya untuk mengganti pajak,” ungkap Trisminah menjelaskan ganti biaya pajak oleh PT. Soekarli yang sebelumnya telah dibayar warga.
Staf Lembaga Bantuan Hukum Semarang bidang Lingkungan Agraria dan Pesisir, Abdul Kholik Rahman memberikan tanggapan. Ia menyampaikan bahwa PT. Soekarli mengganti rugi lahan milik warga tanpa sepengetahuan warga.
“Setelah warga menerima uang itu (Rp12.000) tiba-tiba tanahnya diklaim sama Soekarli,” terang Abdul pada saat diwawancarai langsung di Kantor LBH Semarang pada Senin, 15 September 2025.
Sehingga, terbitlah surat kuasa kepada Mulyani. Surat kuasa yang terbit pada 30 Juni 1979 tersebut, diragukan keabsahannya oleh warga sebagai pemegang hak garap. Alasannya, Satari, salah satu pemberi kuasa telah meninggal pada 1978. Dalam proses PT. Soekarli yang mengklaim kepemilikannya itu, Satari sebagai salah satu pemegang sertifikat tanah yang asli.
Warga yang terancam ruang hidupnya, pada 2014 meminta konfirmasi kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kendal, terkait legalitas kepemilikan tanah tersebut. Setelah mendapat konfirmasi berdasarkan surat BPN nomor 305/33.34/VI/2014, sertifikat hak milik ternyata masih atas nama ketiga belas warga tersebut. Sehingga, hal itu yang mendorong warga untuk tetap mempertahankan tanahnya, baik melalui jalur litigasi maupun non-litigasi.
Pengadilan Negeri, Ancaman Awal dalam Mempertahankan Tanah
Ngahadi selaku Kepala Desa Pesaren, mengatakan bahwa PT. Soekarli Nawaputra mempunyai 17 hektar tanah. Sementara, berdasarkan dari lembar kronologi yang ditulis oleh warga terdapat 160.130 meter persegi tanah. Dalam artian, sekitar 16 hektar tanah warga terancam.
“Semua makan hanya dari situ,” ungkap Trisminah mewakili warga yang mayoritas sebagai petani.
Dalam surat putusan dari Pengadilan Negeri Kendal, PT. Soekarli mengetahui bahwa ahli waris pemilik tanah menggerakan warga untuk tetap bersikukuh pada kepemilikan atas nama warga. Sehingga kesepuluh warga yang vokal dalam menolak keberadaan PT. Soekarli, digugat secara perdata.
Isi permohonan gugatan dari PT. Soekarli kepada Pengadilan Negeri Kendal berbunyi, “Menghukum Para Tergugat atau siapapun yang mendapatkan hak daripadanya untuk menyerahkan objek sengketa kepada penggugat dalam keadaan kosong dan sempurna. Apabila perlu dengan bantuan aparat negara.”
Pengadilan Negeri Kendal mengeluarkan surat keputusannya pada 1 April 2015, yang menghasilkan bahwa gugatan PT. Soekarli ditolak. Hal ini terjadi lantaran nama penggugat yaitu Sadono Surasantoso, yang seharusnya menurut Pengadilan Negeri Kendal, penggugatnya adalah PT. Soekarli Nawaputra.
Perjuangan warga yang terus menyuarakan hak atas tanah bahwa itu milik mereka berdasarkan surat dari BPN, mulai berbuah manis. Warga menyatakan dirinya menang dalam keputusan dari Pengadilan Negeri Kendal karena ditolaknya gugatan PT. Soekarli.
“Artinya kan warga menang,” ungkap Trisminah dengan yakin.
Seteru di Pengadilan Tinggi, Pemantik Api Perjuangan Warga
![(Koordinator Kelompok Tani Kawulo Alit Mandiri, Trisminah sedang membacakan pernyataan sikap untuk menolak eksekusi lahan dari Pengadilan Negeri Kendal, pada Rabu, 30 Juli 2025) [BP2M]](https://linikampus.com/wp-content/uploads/2025/10/IMG_9075-1024x683.jpg)
Kendati gugatan PT. Soekarli ditolak, perusahaan bersikeras untuk memperoleh pengakuan secara legal bahwa tanah yang masih atas nama warga, sudah dipindahtangankan ke PT. Soekarli. Tak tinggal diam, PT. Soekarli mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Provinsi Jawa Tengah pada 2015. Salah satu isinya berbunyi, “Menghukum Para Tergugat atau siapapun yang mendapatkan hak daripadanya untuk menyerahkan objek sengketa kepada penggugat dalam keadaan kosong dan sempurna. Apabila perlu dengan bantuan aparat negara.”
Merujuk dari hal tersebut, warga yang tinggal berdampingan dengan lahan garapannya, tak bisa membiarkan lahan dalam keadaan kosong dan menyerahkan tanah begitu saja. Sebab, satu-satunya sumber pangan yaitu berasal dari lahan pertanian dekat tempat tinggalnya.
Tepat pada 3 November 2015, Pengadilan Tinggi Provinsi Jawa Tengah mengabulkan sebagian banding yang diajukan oleh PT. Soekarli. Salah satunya yang berbunyi, “Menghukum Para Tergugat atau siapapun yang mendapatkan hak daripadanya untuk menyerahkan objek sengketa kepada penggugat dalam keadaan kosong dan sempurna. Apabila perlu dengan bantuan aparat negara.”
Hal ini tak membuat perjuangan warga surut. Justru, putusan ini yang menjadi pantikan api bagi warga agar terus berjuang melalui jalur litigasi selanjutnya. Sertifikat hak milik dari BPN yang menyatakan tanah atas nama warga serta penyerahan sertifikat diam-diam oleh kepala desa tanpa sepengetahuan warga kepada PT. Soekarli, adalah dua yang menjadi dasar warga untuk terus berjuang mempertahankan ruang hidupnya.
Warga Bergerak dalam Perseteruan di Mahkamah Agung
Lantas, apakah langkah warga terhenti dalam menghadapi pengajuan banding PT. Soekarli yang telah dikabulkan? Jawabannya, tidak.
Mari kita telusuri perjuangan warga dalam proses selanjutnya yaitu saat warga menolak diam dengan memilih langkah tegas untuk berhadapan dengan tingkat proses hukum yang lebih tinggi yaitu Mahkamah Agung.
![Sekumpulan warga di belakang pagar penghalang yang dibuatnya saat aksi penolakan eksekusi lahan pada Rabu, 30 Juli 2025 di Dusun Dayunan) [BP2M]](https://linikampus.com/wp-content/uploads/2025/10/IMG_9064-1024x683.jpg)
Dalam lembar keputusan Mahkamah Agung Nomor 1189 K/Pdt/2016 pada 3 Agustus 2016, kasasi yang diajukan oleh warga ditolak. Dasar penolakannya berbunyi, “Bahwa termohon kasasi pada saat di persidangan tidak memberikan alat bukti berupa akta jual beli antara PT. Soekarli dengan pemegang hak garap yaitu Satari Kisut, Rasidin, Kusen, Surat, Tarno dan Harno yang didalilkan termohon kasasi terjadi jual beli pada tahun 1970.”
Akta jual-beli yang tidak diberikan sebagai alat bukti, memang tidak ada keberadaanya. Hal ini diperkuat dengan yang disampaikan oleh Trisminah, “Sertifikat atas nama warga dan gak ada jual beli, gitu loh.”
Dalam surat putusan tersebut berbunyi, “Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata putusan Pengadilan Tinggi Semarang dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh para pemohon kasasi Ny. Trisminah dan kawan-kawan tersebut harus ditolak.”
Merespons hal tersebut, warga sebagai pemohon kasasi menyampaikan bahwa Pengadilan Tinggi Provinsi Jawa Tengah hanya mempertimbangkan bukti tertulis dan fakta secara parsial, tidak berdasarkan fakta secara keseluruhan.
“Yang sebenarnya itu kan putusan yang melihat fakta-fakta di lapangan ya. Fakta kesaksian, surat, kemudian ke lokasi. Itu jelas gitu. Majelis hakim mengamati satu persatu kalau di pengadilan tinggi. Mahkamah Agung itu kan hanya membaca, nggak turun,” ujar Trisminah yang menyesalkan putusan Mahkamah Agung, hanya melalui berkas. Tidak melihat ke lokasi tanah garapan secara langsung.
Walaupun pengajuan banding PT. Soekarli dikabulkan pada tingkat Pengadilan Tinggi, PT. Soekarli tetap tidak bisa mengeksekusi lahannya. Sebab, ia tak tahu batas-batas kepemilikan lahannya dan masih terjadi penolakan yang dilakukan oleh warga di tanah sumber penghidupannya.
Warga Bersikukuh, Ajukan Peninjauan Kembali
Esa hilang, dua terbilang. Perjuangan warga tak kenal ujung, mereka bergegas untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung pada 26 September 2018. Salah satu dasar yang diajukan warga yaitu perlunya pembatalan terhadap putusan Mahkamah Agung (MA).
Buah tak kunjung dipetik, pada 24 April 2019 penolakan terhadap peninjauan kembali yang diajukan oleh warga, terjadi. Dalam putusannya di tahap peninjauan kembali ini berbunyi, “Bahwa mengenai pemberian ganti rugi dari penggugat kepada para tergugat juga telah dipertimbangkan dengan benar oleh Pengadilan Tinggi, yaitu bahwa pemberian ganti rugi sah karena telah dilakukan secara terang dan tunai di hadapan perangkat desa dan camat.”
Surat peralihan tanah yang tidak disosialisasikan kepada warga bahwa itu akan dialihkan ke PT. Soekarli, serta pengembalian uang pajak oleh PT. Soekarli sebagai ganti rugi yang berjumlah Rp12.000 masing-masing untuk 13 nama pemilik tanah ini, dijadikan dasar oleh Mahkamah Agung untuk menolak peninjauan kembali yang diajukan oleh warga.
Nominal sebesar itu tak sebanding dengan 160.130 meter persegi lahan milik warga yang bermanfaat sepanjang kehidupannya. Walaupun begitu, putusan terhadap peninjauan kembali yang diajukan oleh warga, tetap mendorong dilakukannya rencana eksekusi (pengosongan dan penyerahan) lahan. Sumber penghidupan warga yang mengandalkan pertanian di tanah atas nama mereka, kini terancam.
![(Warga yang mengepalkan tangan sebagai wujud perlawanan dalam menolak pihak yang hendak mengeksekusi lahan di Dusun Dayunan, pada Rabu, 30 Juli 2025) [BP2M]](https://linikampus.com/wp-content/uploads/2025/08/IMG_9082-1024x683.jpg)
Maka dari itu, tepat pada 30 Juli 2025, warga melakukan aksi penolakan eksekusi lahan yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Kendal. Melansir dari laman Lembaga Bantuan Hukum Semarang, pemerintah desa tidak mendapat surat pelaksanaan eksekusi. Hal ini yang membuat warga mempertanyakan legitimasi dari Pengadilan Negeri Kendal terhadap pengeksekusian lahan di Dusun Dayunan. Tanpa menghapus ingatan awal, bahwa tanah yang resmi secara tertulis atas nama warga menurut BPN Kabupaten Kendal, tak dapat dimiliki pihak lain karena untuk kebutuhan pangan dan papan warga Dusun Dayunan.
Apa Dampak Konflik Agraria ini Bagi Warga?
Seberat-berat mata memandang, berat juga bahu memikul. Banyak pengorbanan yang telah dilakukan warga sejak 1956 hingga sekarang. Biaya, tenaga, dan waktu adalah hal berharga yang mereka berikan demi mempertahankan tanah leluhurnya untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya.
“Kita sewanya dua bus dan dua mobil pick up. Satu busnya Rp600.000. Terus kalau misalkan ada kelompok tani yang lain, kayak misalkan di Pati, Rembang, waktu itu kan ada aksi-aksi (solidaritas). Kita join kan? Ikut sama-sama,” cakap Trisminah yang tengah menceritakan pengalaman warga saat mengawal persidangan di Pengadilan Negeri Kendal.
Solidaritas warga Dusun Dayunan dalam perjuangan mempertahankan tanahnya terlihat setiap kali aksi sebelum persidangan. Ia memperkirakan ada sekitar 19 hingga 20 kali persidangan.
“Jadi setiap persidangan ada sekitar 78 warga: laki-laki, perempuan, anak-anak juga ikut. Sebelum persidangan dimulai, kita aksi,” tutur Trisminah sambil mengingat-ingat situasi kala itu.
Trisminah juga menyampaikan saat proses banding yang tengah diajukan oleh PT. Soekarli, datang pasukan Brigade Mobil (BRIMOB), polisi, dan preman. Trisminah yang mewakili warga saat itu menanyakan kepentingan mereka datang ke Dusun Dayunan.
Lantas, salah satu dari pasukan keamanan itu menjawab, “Tugas dari atasan saya untuk menjaga lahan PT Soekarli.”
Sontak, hal itu membuat warga gusar. Sebab, kepemilikan lahan masih atas nama warga. Situasi yang memanas, mendorong warga untuk membawa peralatan tani-nya, bak perang mempertahankan lahan yang sebagai sumber kehidupannya.
“Warga di sana sudah memanas. Kayak lanang, wedok, cilik, anom semua ke lokasi. Situasinya kan mencekam. Mereka bawa arit sama pacul di ‘teng-teng-teng’ gitu,” ujar Trisminah menyuarakan atmosfer perseteruan kala itu.
Tak hanya di lingkup Jawa Tengah, perjuangan mereka juga meluas hingga ke Jakarta untuk melaporkan pelanggaran hak asasi manusia ke Komnas Perempuan pada 2018 yang mendiskusikan pentingnya perlindungan hak terhadap perempuan kaum tani.
Perampasan Tanah Mencederai Hak Asasi Manusia
![(Spanduk dan pagar bambu runcing milik warga yang menolak kedatangan pengeksekusi lahan di Dusun Dayunan pada Rabu, 30 Juli 2025) [BP2M]](https://linikampus.com/wp-content/uploads/2025/08/IMG_9040-1024x683.jpg)
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada Pasal 25 ayat (1) menegaskan bahwa “Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan, dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya.”
Salah satu bentuk pelanggaran HAM yang disebutkan oleh Komnas HAM melalui Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 7 Tentang Hak Asasi Manusia Atas Tanah Dan Sumber Daya Alam (SDA) adalah pengabaian dan ketiadaan pengakuan dan perlindungan hak atas tanah bagi masyarakat lokal, masyarakat hukum adat, petani, dan masyarakat pesisir.
Penolakan di tingkat MA dan Pengadilan Tinggi kepada warga, menerangkan bahwa pengakuan dan perlindungan hak atas tanah tidak dijalankan negara. Hal ini mencerminkan tindakan pelanggaran HAM yang dipengaruhi oleh korporasi (PT. Soekarli) dengan negara.
Dalam SNP tersebut, Komnas HAM menyampaikan bahwa negara wajib menghormati dan melindungi hak prioritas bagi masyarakat. Para petani di Dusun Dayunan telah hidup dekat berdampingan dengan lahan. Hasil dari lahan tersebut sebagai sumber pangan dan mata pencahariannya. Maka, perlu untuk dijamin oleh negara keberlanjutan penghidupan dan kesejahteraannya.
Negara juga perlu bertanggung jawab dan berkewajiban untuk melindungi hak atas tanah yang dimiliki oleh warga. Selain hak atas tanah, hak atas kebebasan berpendapat juga perlu untuk dilindungi oleh negara. Masih terlihat saat aksi, sempat terjadi perdebatan sebagai bentuk represi oleh aparat keamanan kepada warga.
Sebuah hal yang konsisten diucapkan oleh Trisminah, selaku perwakilan Kelompok Tani Kawulo Alit Mandiri bahwa PT. Soekarli perlu mengetahui terlebih dahulu batas-batas kepemilikan lahannya. Sehingga, tidak merampas tanah yang masih dimiliki oleh warga Dusun Dayunan. Termaktub dalam SNP, menyatakan bahwa peran negara perlu hadir untuk memastikan setiap perusahaan perkebunan menyediakan informasi kepada masyarakat tentang peta wilayah konsesi dengan koordinat yang jelas, mewajibkan perusahaan memasang batas wilayah perkebunan dengan patok batas yang jelas, izin komoditas usaha perkebunan, serta jangka waktu sertifikat HGU.
Upaya Bertahan, di Tengah Konflik Agraria
![(Warga yang berbalik ke arah pulang setelah aksi penoalakan eksekusi lahan pada Rabu, 30 Juli 2025 di Dusun Dayunan) [BP2M]](https://linikampus.com/wp-content/uploads/2025/10/IMG_9088-1024x683.jpg)
Masyarakat Dusun Dayunan khususnya petani yang memiliki lahan tersebut bertahan hidup dengan caranya sendiri yaitu tumpangsari (lahan yang ditanami dengan dua jenis tanaman atau lebih secara sekaligus). Tak hanya itu saja, mereka juga melakukan “tebasan” atau menjual tanaman yang akan menuju masa panen kepada pihak ketiga untuk menunjang kebutuhan hidupnya. Mereka melakukan itu bukan tanpa sebab, melainkan karena mereka memiliki hak kepemilikan atas tanah dari Badan Pertanahan Kabupaten (BPN) Kendal.
Tim dari BP2M Unnes, telah bersurat untuk meminta tanggapan dari BPN Kendal, Bupati Kabupaten Kendal, dan PT. Soekarli. Tapi hingga berita dipublikasikan belum memperoleh tanggapan dari pihak-pihak tersebut.
Perjuangan warga yang telah dikerahkan hingga saat ini, untuk menegaskan kembali bahwa tanah sah milik warga. Selain itu, negara perlu untuk menjalankan mandat yang telah dipercayakan oleh masyarakat agar tanah dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, terutama mereka yang tinggal di lahan tersebut.
“Dalam undang-undang pokok agraria itu kan jelas tujuannya. Kenapa ada undang-undang itu? sifatnya kan untuk menghilangkan atau menghapuskan ketimpangan penguasa tanah. Jadi kalau lihat di konstitusi (Pasal 33 UUD 1945), di pasal 33 itu kan juga negara punya kewajiban di situ bahwa bumi, air, tanah dan segala yang ada di dalam kandungan itu dimiliki oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Nah itu, harusnya negara melakukan kewajiban itu,” pungkas Abdul.
Seusai dari berbincang-bincang, dan mendengar kisah perjuangan warga, kami diajak menyusuri ladang kepemilikan warga. Bukit yang diselimuti dengan hasil perkebunan warga, serta tanah ketinggian 600 meter di atas permukaan laut, dihiasi oleh cakrawala. Selepas memandang, kami berpamitan sambil mengitari kebun dan hutan di Desa Pesaren menuju pulang.
Reporter dan penulis: Mutya, Husain, Raihan, Sultan, Puji, Fatya, Lidwina
Editor: Anastasia