Yayasan Kota Kita melalui program Urban Citizenship Academy (UCA) menggelar diskusi bertajuk “Meniti Keadilan Iklim dari Pinggir” pada Jumat (10/10/2025) pukul 14.00 WIB. Kegiatan yang berlangsung di Taman Kuliner Ventura, Karangkidul, Kota Semarang ini menjadi ruang bertukar berbagai gagasan mengenai persoalan yang dihadapi oleh kelompok rentan dan warga pinggiran kota terkait krisis iklim. Dampak yang ditimbulkan saat terjadinya krisis iklim, cara pemerintahan dan masyarakat dalam merespon dan menyelesaikan permasalahan juga turut dibicarakan.
Diskusi tersebut menghadirkan sejumlah narasumber dari berbagai latar belakang. Di antaranya Septiany Putri selaku perwakilan dari World Cleanup Day Indonesia (WCDID), Mila Karmila sebagai akademisi dari Universitas Sultan Agung (Unissula), Ahmad Muhajirin mewakili Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), serta Putri Milasari dari Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada tata kelola pemerintahan yang baik, desentralisasi, dan peningkatan pelayanan publik.
Putri, selaku pemateri pada acara diskusi tersebut menekankan pada partisipasi masyarakat dalam pembentukan berbagai macam kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah. Pelibatan masyarakat menurutnya dapat menjadi solusi akan ketepatan kebijakan yang diterima masyarakat, termasuk dalam permasalahan krisis iklim. Untuk mewujudkan hal ini, perlu adanya kesadaran kolaboratif antara rakyat dan pemerintahan untuk bersama-sama menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi.
Transparansi pemerintahan dalam melakukan suatu hal juga selayaknya menjadi fokus utama agar masyarakat mengetahui proses dan langkah-langkah pemerintah serta mengurangi miskomunikasi dan kecurigaan di antara masyarakat.
“Pemerintah harus transparan dan terbuka,” imbuhnya.
Lingga, salah satu pengunjung dari Jaringan Masyarakat Peduli Alam dan Iklim (Jari Lima), menyampaikan bahwa diskusi seperti ini perlu lebih sering diselenggarakan agar terbangun pemahaman bersama mengenai peran dan tanggung jawab masing-masing antara pemerintah dan masyarakat.
Ia juga turut menyampaikan perlunya membentuk sebuah wadah berkumpul sesama organisasi yang bergerak di bidang iklim atau yang terkait. Hal ini dilakukan supaya terjalin koordinasi yang tepat, kerjasama, dan penanganan yang menjangkau berbagai sektor yang terdampak krisis iklim.
“Di Semarang ini, paling nggak organisasinya bisa bareng-bareng, dari yang ngurusin pangan segala macam, bisa masuk jadi satu gitu. Karena elemen-elemen krisis iklim ini kan banyak banget gitu, jadi nanti ngefeknya ke pangan, ngefeknya ke anak, kesehatan, dan lain-lain termasuk infrastruktur,” tuturnya.
Putri berharap dengan adanya diskusi ini akan membentuk partisipasi yang lebih besar dari golongan anak muda di wilayah Semarang terhadap isu krisis iklim dan masyarakat yang terdampak di wilayah pinggiran, juga dengan adanya diskusi ini akan meningkatkan kesadaran masyarakat guna menjaga bumi dari bahaya krisis iklim.
“Harapanku semakin banyak pemuda-pemudi yang sadar bahwasanya semua dari kita ada di krisis iklim. Jadi kita harus terlibat dalam mengusulkan hal-hal yang sifatnya ini loh kita tuh harus melindungi bumi kita dan daerah kita dari krisis iklim,” ujar Septiany Putri.
Reporter dan penulis: Ramdanu Gemilliano, Husain akmal, Ansa daniswara, Nabila
Editor: Puji Listari