Kabar Opini

Hapus Buzzer Pemira Kampus: “Berbicaralah dengan Wajahmu!”

(Kumpulan tangkapan layar akun anonim) [sumber: penulis]
(Kumpulan tangkapan layar akun anonim) [sumber: penulis]

Pemira atau Pemilihan Umum Raya merupakan agenda tahunan yang digelar untuk memilih pemimpin lembaga kemahasiswaan eksekutif dan legislatif di kampus, mulai tingkat program studi, fakultas, sampai tingkat universitas. Pemira merupakan agenda paling ditunggu oleh seluruh mahasiswa di setiap penghujung tahun. Secara normatif, Pemira diharapkan dapat melahirkan pemimpin organisasi yang cakap secara etikabilitas, intelektualitas, dan elektabilitas. 

Dalam setiap gelaran Pemira, kampus akan sangat riuh dan menyala 24 jam, kontrakan akan penuh konsolidasi kekuatan politik, ide gagasan, dan strategi terbaik untuk memenangkan kandidat. Setiap kandidat akan memastikan ide gagasan, strategi, dan kampanye menyentuh setiap konstituen di setiap kelas. 

Di tengah keriuhan Pemira, yang seharusnya penuh sesak dengan ide dan gagasan khas masyarakat akademis, justru kampus penuh sesak dengan pecundang politik yang berteriak di sosial media dengan anonimitas dan argumentasi memecah belah. Praktik penggunaan pendengung atau buzzer dalam setiap pemira merupakan tanda bahwa pemira bukan kontestasi yang berkualitas. Pemira tak lebih dari gelaran Pemilu busuk yang mahasiswa tolak setiap lima tahun itu. 

(Tangkapan layar akun anonim) [sumber: penulis]
(Tangkapan layar akun anonim) [sumber: penulis]
(Tangkapan layar akun anonim) [sumber: penulis]
(Tangkapan layar akun anonim) [sumber: penulis]

Dalam beberapa postingan akun instagram anonim seperti @arus_pinggiran dan @bursa_transferfeb ditemukan 5-15 akun anonim dengan komentar bernada negative campaign seperti berikut:

(Tangkapan layar komentar) [sumber: penulis]
(Tangkapan layar komentar) [sumber: penulis]

Kondisi tersebut perlu untuk diperhatikan oleh seluruh mahasiswa dan setiap kandidat dan perlu untuk segera disikapi demi terwujudnya kualitas demokrasi politik kampus yang baik, penuh dengan ide dan gagasan, serta jauh dari propaganda politik murahan. Kejujuran demokrasi harus tumbuh dan bermekaran di taman-taman kampus.

Hilangnya Kejujuran Demokrasi

Buzzer bekerja hanya untuk tujuan menggiring opini bukan menguji gagasan. Pecundang politik tersebut mengubah percakapan publik di sosial media yang seharusnya penuh dengan ide dan gagasan menjadi ruang manipulasi, misinformasi, hoax, dan negative campaign. Hal tersebut menghilangkan kejujuran demokrasi dan menjadikan mahasiswa sama dengan pejabat busuk yang melakukan hal serupa untuk menipu konstituen melalui penggiringan opini, misinformasi, dan negative campaign. Kontestasi busuk akan melahirkan kepemimpinan busuk. 

Pemira diadakan dengan ide utama untuk melakukan pendidikan politik dan demokrasi dalam ruang kampus yang seharusnya jauh lebih akademis dan demokratis dibandingkan Pemilu busuk yang diadakan oleh negara. Kejujuran demokrasi menjadi nafas utama dalam memperjuangkan kemenangan setiap kandidat melalui pertarungan ide gagasan dan program. Menormalisasi keberadaan buzzer dan anonimitas dalam sosial media merupakan preseden buruk dalam demokrasi politik dalam lingkungan akademis. Setiap orang seharusnya dapat menyampaikan kesukaan dan ketidaksukaan kepada setiap ide gagasan dan program dengan jujur tanpa “topeng” anonimitas. 

Keberadaan buzzer dalam ruang politik kampus pada akhirnya akan menciptakan pola yang mirip politik praktis di luas kampus dengan kampanye kotor, pencitraan, persaingan yang tidak sehat. Bukankan itu yang mahasiswa benci selama ini? Atau kebencian tersebut merupakan hipokrisi mahasiswa saja? 

Pemira kampus seharusnya menjadi arena belajar seseorang untuk memperoleh pengalaman memimpin tanpa intervensi, jaringan oligarki, kekuatan modal, dan propaganda murahan buzzer. Pemira bukan simulasi politik murahan. Pemira merupakan pendidikan moral demokrasi. 

Kembalikan Pemira ke Arena Pemikiran

Mengembalikan Pemira ke arena pemikiran bukan hanya persoalan teknis yang selesai melalui himbauan oleh komite penyelenggara atau dosen. Tugas ini harus dilaksanakan oleh semua yang terlibat dalam kontestasi dengan komitmen untuk menolak propaganda digital murahan yang jauh dari percakapan ide dan gagasan. Daripada menggunakan buzzer, setiap mahasiswa seharusnya berhak mengajak setiap kandidat berdebat dan mengolok-olok setiap ide, gagasan, dan program dalam forum terbuka. Mahasiswa seharusnya berani mengolok-olok ide dan gagasan setiap kandidat dengan dada yang tegap dan muka yang nampak jelas. Hal tersebut nampak lebih jujur dan baik bagi demokrasi daripada melakukan propaganda murahan dan bersembunyi di balik anonimitas akun sosial media. 

Saat politik formal kita sudah bertransformasi dengan banyak kegiatan diskusi kandidat dan forum terbuka, Pemira kampus justru terjebak dalam propaganda dungu buzzer politik murahan. Bukankah setiap mahasiswa seharusnya tidak takut untuk “memukul” kepala kandidat Ketua dan Wakil Ketua BEM yang dungu? Bukankah setiap mahasiswa seharusnya berani untuk mengusir kandidat anggota Dewan Legislatif Mahasiswa dari kotak suara?

Penulis: Bahrudin Wahyu Aji Dwi Sajiwo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *