You say you want a revolution
Well, you know
We all want to change the world
You tell me that it’s evolution
Well, you know
We all want to change the world
—The Beatles, “Revolution”
Baru-baru ini, saya membaca tulisan Sajiwo yang berjudul “Hapus Buzzer Pemira Kampus: ‘Berbicaralah dengan Wajahmu!”. Saya mengapresiasi sikapnya yang lugas: ia menolak pemira berubah jadi ajang propaganda murahan, saling sindir nonsubstantif, dan perang komentar yang menenggelamkan program. Pada saat banyak pihak memilih aman—diam atau ikut arus—Sajiwo justru berani menyebut masalahnya dengan keras. Itu penting karena sejatinya demokrasi kampus memang tidak akan membaik kalau semua orang cuma menonton.
Akan tetapi, justru karena tulisan itu punya niat baik dan “daya pukul” yang kuat, maka layak dikritisi secara lebih serius. Sebab, dalam beberapa bagian, seruannya terdengar tegas—tetapi terlalu sempit dan dangkal. Pun, penyederhanaan dalam demokrasi selalu berbahaya: tampak indah, tetapi sering melahirkan kesimpulan yang keliru, dangkal, dan fatalistik.
Sajiwo menonjolkan seruan “Berbicaralah dengan wajahmu!” yang sekilas mendorong keberanian dan keterbukaan dalam debat. Namun, pendekatan ini bersifat fatalistik (cara pandang yang menganggap satu solusi sederhana cukup untuk menyelesaikan persoalan yang sebetulnya kompleks).
Tentu ini menjadi bermasalah karena demokrasi kampus tidak berlangsung dalam kondisi yang setara; ada relasi kuasa dan perbedaan tingkat keamanan yang membuat tidak semua mahasiswa punya posisi aman untuk tampil terbuka. Indikator kedangkalannya terlihat ketika penilaian kejujuran bergeser dari kualitas argumen dan substansi gagasan ke identitas pembicara sehingga diskursus lebih sibuk menilai siapa yang berbicara ketimbang apa yang dibicarakan.
Seruan “tunjukkan wajah” pun sejatinya terasa naif karena menganggap kampus selalu ruang aman dan setara. Realitasnya, politik kampus punya hierarki, “geng organisasi”, senioritas, dan jaringan. Dalam situasi semacam ini, yang paling mudah diminta “tampil” biasanya justru yang paling tidak punya perlindungan sosial. Akibatnya, demokrasi bergeser menjadi urusan identitas, siapa yang bicara dinilai dulu, baru isi ucapannya.
Anonimitas Bukan Masalah Utama, Manipulasi yang Harus Dibidik
Kalau yang ingin diberantas adalah buzzer, maka yang harus disasar bukan semata-mata “akun anonim”, melainkan cara kerja manipulasi opini. Dalam kerangka ruang publik ala Jürgen Habermas (1991), misalnya, kualitas demokrasi ditentukan oleh argumen yang diuji secara rasional—bukan oleh identitas siapa yang berbicara. Kala ukuran “kejujuran” dipindahkan ke wajah dan nama, diskusi publik bergeser dari pertukaran alasan (reason-giving) menjadi pertarungan status sosial: siapa punya jaringan, siapa cukup aman, siapa punya bekingan. Ini ciri ruang publik yang tidak sehat karena yang menang sejatinya bukan gagasan terbaik, melainkan posisi paling kuat.
Di sisi lain, anonimitas pun tidak otomatis identik dengan kebusukan. Dalam banyak hal, anonimitas sejatinya merupakan mekanisme proteksi untuk mereka yang posisinya lemah di hadapan tekanan sosial. Di sinilah relevan gagasan subaltern counterpublics ala Fraser (1990), yakni kelompok-kelompok yang terpinggirkan sering menciptakan ruang komunikasi sendiri untuk menyuarakan pengalaman dan kritik yang tidak mendapatkan tempat di ruang publik dominan. Dalam politik kampus, “ruang dominan” itu bisa berupa panggung debat resmi yang dikuasai organisasi tertentu, kultur senioritas, atau jejaring pertemanan yang menentukan siapa dianggap kredibel dan siapa dianggap “mengganggu”. Anonimitas menjadi jalan agar kritik tetap bisa keluar—meski tidak selalu rapi.
Masalah sebetulnya baru muncul kala anonimitas dipakai sebagai alat kekerasan simbolik—meminjam istilah Bourdieu (1991): kekerasan yang bekerja bukan dengan pemaksaan fisik, melainkan lewat bahasa, stigma, label, dan serangan reputasi yang membuat orang lain bungkam. Maka, yang harus “dihantam” adalah fitnah, doxing, disinformasi, dan serangan personal terencana—bukan anonimitas itu sendiri. Sebab, “anti-anonim” yang serampangan dan ugal-ugalan justru berpotensi melahirkan pembungkaman baru: kritik tidak dijawab dengan argumen, tetapi dibelokkan menjadi tuntutan identitas—“kalau berani, buka wajahmu.” Itu cara “dangkal” untuk menghindari substansi.
Maka, membedakan kritik anonim dari operasi buzzer menjadi pekerjaan konsep yang wajib. Buzzer sebetulnya merupakan pola: narasi yang seragam, repetisi serangan, koordinasi waktu, dan tujuan menggiring persepsi—bukan menguji gagasan. Sementara kritik anonim bisa keras, bahkan menyakitkan, tetapi tetap bisa mengandung isu substantif yang perlu dibahas. Kalau semua yang anonim langsung dicap buzzer, maka “buzzer” berubah dari istilah analitis menjadi cap sosial: alat untuk menertibkan suara yang tidak disukai. Akibatnya, pemira justru makin jauh dari demokrasi deliberatif—karena yang diprioritaskan bukan klarifikasi argumen, melainkan penertiban orang.
Toh, lagi pula, buzzer sejatinya tidak bisa dibasmi cuma dengan seruan moral. Bahkan dalam konteks pemilu nasional, Sahab—pengamat politik Universitas Airlangga—menyebut fenomena buzzer menjelang pemilu sebagai sesuatu yang “tidak dapat terhindari”, baik buzzer organik maupun anorganik (sering melibatkan akun anonim dan bot) sehingga fokus yang lebih masuk akal bukan sibuk melarang atau mengejar siapa “berwajah” dan siapa “bertopeng”, melainkan mencerdaskan pemilih—karena kala pemilih terbiasa memeriksa klaim, memilah informasi, dan menuntut bukti, “kekuatan buzzer sebesar apa pun tidak akan berpengaruh” (UNAIR, 2024).
Sejalan dengan itu, Wisnu Martha Adiputra—Pakar Ilmu Komunikasi UGM—berpandangan bahwa buzzer tidak bisa dihentikan selama teknologi media sosial memungkinkan sehingga permasalahan utamanya bukan keberadaan buzzer itu sendiri, melainkan rendahnya literasi digital. Dalam masyarakat—termasuk kampus—yang belum mampu membedakan kritik, pendapat, hoaks, dan ujaran kebencian, buzzer mudah dianggap biang kekacauan, padahal buzzer pun merupakan gejala keterbukaan demokrasi (UGM, 2021).
Maka, menuntut “wajah” dan identitas tidak menyentuh akar masalah; yang lebih mendesak adalah membentuk pemilih kampus yang kritis, mampu memeriksa klaim, membaca pola manipulasi, dan menilai argumen secara rasional. Dengan literasi semacam itu, daya rusak buzzer akan melemah dengan sendirinya, tanpa perlu pembatasan yang justru berpotensi membungkam kritik. Tentu, logikanya sederhana: demokrasi kampus akan lebih tahan terhadap manipulasi jika yang diperkuat adalah daya nalar publiknya, bukan cuma identitas orang yang berbicara.
Demokrasi Bukan Ajang Adu Nyali
Lagi-lagi, seruan “berbicaralah dengan wajahmu” terdengar gagah, tetapi sejatinya “dangkal” dan efeknya bisa menyesatkan: pemira seperti diubah menjadi uji nyali, bukan uji gagasan. Ukurannya bergeser dari “argumen mana yang paling masuk akal?” menjadi “siapa yang paling berani tampil?”. Padahal keberanian tampil tidak otomatis berarti jujur, dan ketakutan tampil tidak otomatis berarti culas. Kalau yang dinilai justru wajah, demokrasi kehilangan inti paling pentingnya: adu alasan dan adu program.
Di politik kampus, “berani” sering ditentukan oleh posisi sosial, bukan karakter. Yang paling aman tampil biasanya mereka yang punya pelindungan—organisasi, lingkaran, dan jaringan pendukung. Sebaliknya, mahasiswa tanpa bekingan mudah menjadi sasaran cap dan serangan balik. Dalam situasi semacam ini, memaksa semua orang “muncul” justru menguntungkan yang sudah kuat, sementara yang lemah dipaksa bertarung tanpa pelindungan.
Akibatnya, slogan itu gampang dipakai sebagai cara malas untuk menghindari substansi. Kritik yang seharusnya dibalas dengan argumen malah dipatahkan dengan tuntutan identitas: “buka akun dulu, baru didengar.” Pemira pun makin dangkal—bukan karena ada anonimitas, tetapi karena budaya kita lebih suka mengadili “siapa yang bicara?” ketimbang menimbang “apa yang dibicarakan?”. Kalau pemira mau dewasa, yang dibangun bukan tradisi adu nyali, melainkan tradisi adu gagasan: kritik dibalas dengan klarifikasi, tuduhan dipaksa berbukti, dan program diperdebatkan habis-habisan.
Kalau pemira mau benar-benar “sehat”, obatnya bukan memaksa semua orang membuka identitas, melainkan memaksa kandidat membuka substansi: desain pemira harus membuat yang viral itu program, bukan gosip—dengan debat wajib yang tematik (bukan cuma seremonial), dokumen program yang ringkas, tetapi terukur, pun forum uji publik yang membuka pertanyaan kritis, serta kanal klarifikasi cepat saat beredar potongan “bukti” dan fitnah.
Bersamaan dengan itu, kampus perlu etik digital yang tegas dan berlaku untuk semua. Kritik terhadap program boleh keras, tetapi serangan personal merupakan pelanggaran. Klarifikasi semestinya dihargai, bukan ditertawakan, dan penyebar fitnah perlu diberi konsekuensi nyata. Tanpa standar dan penegakan yang jelas, pemira akan terus menjadi arena adu siasat, di mana yang menang bukan argumen paling rasional, melainkan pihak yang paling lihai memelintir emosi. Tentu, pencerdasan pemilih menjadi relevan sebagai latihan kolektif sivitas akademika untuk menuntut bukti, menolak framing receh, dan menguji klaim sebelum ikut-ikutan.
Warisi Apinya, Jangan Abunya
Sukarno pernah berpesan dalam pelbagai kesempatan supaya ‘warisi apinya, jangan abunya‘: yang diambil semangat, daya hidup, dan keberaniannya—bukan sisa-sisa kering yang cuma jadi hiasan kata. Dalam hal pemira, “api” itu merupakan keberanian berpikir merdeka, keberanian menguji program secara terbuka, dan keberanian menolak cara-cara kotor meski itu jalan paling cepat untuk menang; sementara “abu” itu merupakan kebiasaan politik yang kita sendiri sering kutuk—propaganda murahan, pembunuhan karakter, penggiringan emosi, serta budaya menang dengan segala cara. Kala pemira justru memelihara “abu” itu, kampus tidak sedang mendidik demokrasi, melainkan sedang melatih generasi baru untuk meniru pola yang sama, cuma dengan kostum mahasiswa (kampus = miniatur negara alias negara-negaraan).
Pun, Sukarno mengingatkan bahwa penjajahan tidak selalu datang dengan senjata; melainkan bisa hadir dengan bentuk yang lebih halus—menjajah cara berpikir, menjajah arah percakapan, menjajah akal sehat (Sukarno, 1930). Pada era media sosial, “penjajahan” itu mudah tampil sebagai penjajahan opini: yang dipelihara bukan nalar, melainkan framing; yang dikejar bukan kebenaran, melainkan keramaian; yang dibangun bukan musyawarah, melainkan kubu-kubuan.
Maka, pemira yang “beradab” bukan yang sibuk menuntut orang membuka identitas, tetapi pemira yang tegas memaksa politik kembali ke substansi: program dibuka, klaim diuji, fitnah dipotong, dan debat dibuat bermakna—sebab demokrasi kampus seharusnya melatih watak publik yang tahan godaan manipulasi, bukan publik yang gampang terseret emosi.
Sukarno berulang kali menekankan bahwa perubahan yang sungguh-sungguh tidak dimulai dari kosmetik, melainkan dari watak—character building—dan watak itu dibentuk lewat latihan terus-menerus, bukan lewat slogan yang terdengar gagah (Sukarno, 1963). Kalau pemira kampus mau disebut “pendidikan demokrasi”, maka ukurannya bukan seberapa banyak orang berani membuka identitas, melainkan seberapa kuat tradisi kampus memaksa politik kembali ke akal sehat: program diuji, klaim dipaksa berbukti, hoaks ditolak, fitnah diberi konsekuensi.
Tentu, Satyam Eva Jayate (सत्यमेव जयते)—cuma kebenaran yang akan menang—layak dipahami dengan cara yang tepat. Bukan dijadikan cuma slogan untuk memaksa orang “muncul” dan membuka wajah, melainkan sebagai penegasan bahwa dalam politik—bahkan politik kampus—yang semestinya dimenangkan adalah kebenaran argumen dan bukti, bukan keberanian kosmetik dan keramaian. Maka, yang dibutuhkan bukan “polisi wajah”, melainkan tata kelola yang melindungi nalar dan martabat: aturan etik digital yang jelas, mekanisme klarifikasi yang cepat, sanksi tegas bagi fitnah dan doxing, serta ruang uji publik yang serius agar warga kampus terbiasa menuntut data sebelum percaya.
Sebagai penutup, saya tegaskan bahwa saya bukan buzzer, pun sama sekali tidak membenarkan praktik buzzer, apalagi yang negatif—hoaks, fitnah, doxing, dan pembunuhan karakter—karena itu merusak pemira dan membunuh nalar publik kampus; di titik tujuan besar, saya justru sejalan dengan Sajiwo bahwa pemira mesti kembali jadi arena adu program dan adu gagasan, bukan adu propaganda receh-dangkal.
Cuma, … saya menolak ‘jalan pintas’-nan-’dangkal’ yang menjadikan “wajah” sebagai ukuran kejujuran, sebab seruan “Berbicaralah dengan wajahmu!” terlalu fatalistis, dan mudah berubah menjadi alat menghindari substansi: kritik dipatahkan dengan tuntutan identitas, bukan dibalas dengan argumen dan bukti. Jadi, melawan buzzer semestinya dilakukan dengan memperkuat tata kelola diskursus—membiasakan verifikasi, memaksa program terbuka, menertibkan serangan personal—agar demokrasi kampus benar-benar matang, bukan cuma ramai. A luta continua, viva comrades!
[…] I’m gonna start a revolution from my bed
‘Cause you said the brains I had went to my head […]
—Oasis, “Don’t Look Back in Anger”
Raihan Muhammad, Mahasiswa Fakultas Hukum
