Kabar Opini Ulasan

Bagaimana Anak Muda Membangun Panggungnya Sendiri lewat Media Independen?

Alifa tengah memberikan materi (Sumber: penulis)
Alifa tengah memberikan materi (Sumber: penulis)

Di tengah derasnya arus informasi yang semakin cepat, banyak anak muda yang berkeinginan menjadi penulis namun kesulitan menemukan ruang aman untuk menulis. Fenomena ini kerap muncul di kalangan mahasiswa dan penulis pemula yang sebenarnya memiliki gagasan, tetapi ragu memulai karena takut dinilai kurang berkualitas, dibandingkan, atau merasa tulisannya tidak layak diterbitkan.

Keresahan ini sering saya temui dalam berbagai forum diskusi, pelatihan, hingga ruang akademik. Banyak anak muda memiliki pandangan kritis tentang sosial, pendidikan, dan politik, tetapi memilih diam karena tidak tahu harus menyalurkannya ke mana. Media, yang seharusnya menjadi jembatan, justru dipersepsikan sebagai ruang eksklusif.

Anak Muda Kehilangan Ruang Aman untuk Menulis

Data UNESCO menunjukkan bahwa tingkat literasi tidak hanya berkaitan dengan kemampuan membaca, tetapi juga kemampuan menulis dan mengkomunikasikannya dengan sederhana. Sayangnya, minat menulis sering tidak tumbuh karena tidak didukung oleh ekosistem yang ramah bagi pemula. Banyak media hanya menampilkan hasil akhir, tanpa membuka proses belajar di baliknya.

Menurut saya, ketika akses publikasi terlalu selektif tanpa pendampingan, wajar jika banyak anak muda berhenti bahkan sebelum mencoba. Akibatnya, ruang diskusi publik didominasi oleh segelintir suara, sementara potensi lain terpinggirkan.

Pengalaman pribadi memperkuat pandangan tersebut, dimana dalam dunia akademik dan organisasi, menulis sering dijadikan syarat legitimasi: harus tembus media, harus punya portofolio, harus punya rekam jejak. Namun jarang ada yang membicarakan proses belajar menulis itu sendiri. Padahal, tulisan yang baik lahir dari latihan, kesalahan, dan reflektif berulang.

Anak muda membutuhkan ruang aman untuk mencoba, bukan ruang yang langsung menghakimi. Jika ruang itu tidak tersedia, maka inisiatif perlu dibangun dari bawah.

Media sebagai Panggung Latihan

Dari kegelisahan tersebut, saya memilih jalan yang mungkin sederhana: membangun ruang kecil yang memungkinkan penulis pemula belajar melalui praktik. Sebagai jembatan awal. Media independen, dalam pandangan saya, dapat menjadi panggung latihan yaitu tempat gagasan diuji, bukan dihakimi.

Media independen memiliki kelebihan yang sering diabaikan: fleksibilitas dan kedekatan. Ia tidak dibebani kepentingan komersial besar, sehingga bisa lebih fokus pada proses edukatif. Di sinilah anak muda bisa belajar menyusun argumen, mengolah data, dan bertanggung jawab atas tulisannya tanpa tekanan berlebihan.

Saya percaya bahwa solusi atas krisis keberanian menulis bukanlah memperketat standar, justru memperluas akses. Bukan dengan menurunkan kualitas, tetapi dengan memperbanyak ruang belajar. Media independen bisa menjadi salah satu alternatif strategis, terutama bagi mahasiswa dan pelajar yang sedang membangun identitas intelektualnya.

Pengalaman Media Independen

Di berbagai daerah, mulai tumbuh media-media independen berbasis komunitas, kedaerahan, hingga topik-topik tertentu yang dikelola anak muda, baik dalam bentuk website, buletin digital, maupun platform kolektif yang memberi ruang bagi penulis pemula untuk belajar.

Saya sendiri terlibat dalam pengelolaan media independen, salah satu contoh media independen yang saya kelola adalah Sidik Media, sebuah ruang belajar yang dirancang sebagai tempat latihan.

Pendekatan yang digunakan sejalan dengan konsep learning by doing. Menulis tidak diposisikan sebagai produk akhir, tetapi sebagai proses berpikir kritis. Ketika anak muda diberi kesempatan mencoba, mereka tidak hanya belajar menulis, tetapi juga belajar membaca realitas secara lebih jernih dan bertanggung jawab.

Saya tidak bilang bahwa media independen sebagai solusi tunggal. Ia harus berjalan berdampingan dengan media kampus, jurnal ilmiah, dan media arus utama. Namun, perannya sebagai tahap awal. Tanpa panggung latihan, tidak semua orang siap melompat ke panggung yang lebih besar.

Di era digital yang serba cepat dan berorientasi pada viralitas, memilih membangun ruang literasi yang sunyi mungkin terdengar tidak populer. Namun, justru di sanalah letak kekuatannya. Anak muda tidak harus menunggu validasi untuk mulai berpikir dan menulis. Mereka bisa membangun panggungnya sendiri, lalu membuka ruang bagi orang lain untuk tumbuh bersama.

Bagi saya, menulis bukan tentang tampil paling menonjol, tapi tentang merawat akal sehat dan menyumbang pengetahuan. Jika semakin banyak anak muda berani memulai, maka masa depan literasi akan menjadi inklusif dan tidak dimonopoli oleh segelintir orang, tetapi dibangun oleh keberanian kolektif.

Mungkin dari ruang-ruang kecil yang dibangun dengan niat baik itu, lahir generasi penulis yang tidak hanya cakap secara teknis, tetapi juga matang secara etis dan moral.

Penulis: Alifa Ambar Sari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *