Judul Buku : Tarian Bumi
Penulis : Oka Rusmini
Tebal Buku : 182 halaman
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2013
ISBN : 978-979-22-9705-8
Dibalik keelokan dan kemegahan upacara di Pulau Bali, ada kisah getir tentang perempuan-perempuan yang berani menentang batas yang membelenggu mereka.
“Tarian Bumi” karya Oka Rusmini menghadirkan potret tajam tentang perlawanan terhadap sistem kasta dan struktur sosial yang kerap menempatkan perempuan pada posisi paling rapuh. Melalui konflik tentang martabat, identitas, dan kebebasan, novel ini mengungkap keberanian para tokohnya menantang tradisi demi menentukan ruang hidup mereka sendiri.
Novel ini mengisahkan tentang Telaga yang hidup di antara dua perempuan, dua kasta, dua dunia dan dua generasi yang berbeda. Dua perempuan itu adalah Ida Ayu Sagra Pidada yang merupakan nenek Telaga dan Ni Luh Sekar yang merupakan ibunda Telaga. Dengan nama lengkap Ida Ayu Telaga Pidada, ia lahir dari pernikahan perempuan Sudra dan laki-laki Brahmana.
Konflik ini diwariskan melalui tiga generasi. Dimulai dari Ida Ayu Sagra Pidada lahir sebagai perempuan Brahmana tulen. Ia benar-benar menjunjung tinggi kebangsawanan. Oleh karena itu, ia memiliki kriteria laki-laki yang sangat tinggi. Karena tidak kunjung menikah, akhirnya ia dijodohkan oleh kedua orang dengan laki-laki ambisius kalangan Brahmana yang memiliki keadaan ekonomi yang rendah, Ida Bagus Tugur.
Setelah menikah dengan Ida Bagus Tugur, ia dikarunia anak bernama Ida Bagus Ngurah Pidada. Ida Ayu Sagra Pidada sangat menaruh harapan yang besar pada putranya. Namun, semuanya runtuh ketika putra satu-satunya jatuh hati pada perempuan Sudra yakni Luh Sekar.
Selanjutnya Luh Sekar, seorang gadis kasta Sudra yang memiliki ambisi yang sangat besar untuk menjadi penari. Namun, untuk menjadi seorang penari harus berasal dari kalangan tertentu. Sehingga dia bertekad untuk menikahi laki-laki Brahmana demi mewujudkan impiannya menjadi penari. Ia melakukan apapun demi mengangkat derajat dirinya, bahkan jika harus mengorbankan perasaannya sendiri. Mimpinya begitu tinggi hingga membuat orang-orang di sekitarnya ragu, bahkan sahabatnya yang paling dekat pun tak percaya ia bisa mencapainya.
Berkat kecantikan dan kepiawaiannya dalam menari, akhirnya Luh Sekar memikat hati seorang Brahmana yakni Ida Bagus Ngurah Pidada. Setelah menikah dengan Ida Bagus Ngurah Pidada, hidup Luh Sekar menjadi lebih baik dari sebelumnya. Ia mendapat nama baru yakni Jero Kenanga. Namun, hubungannya dengan ibu mertuanya yakni Ida Ayu Sadra Pidada tidak baik karena perbedaan kasta tersebut. Bahkan keberadaan Telaga tidak bisa memperbaiki hubungan mereka sebagai menantu dan mertua.
Waktu terus berjalan, Telaga mulai tumbuh menjadi gadis. Konflik sesungguhnya hadir ketika Telaga yang merupakan perempuan Brahmana jatuh hati pada teman menarinya yang merupakan laki-laki Sudra. Telaga akhirnya merasa dia telah menemukan laki-laki yang dulu diceritakan oleh neneknya. Ia mengatakan bahwa kelak, ketika aku sudah mengenal laki-laki, aku harus bertanya pada diri sendiri apakah laki-laki itu sudah pantas untuk kucintai dan apakah perasaanku sungguh-sungguh padanya. Ia juga menegaskan bahwa aku harus mampu membedakan rasa kagum dan rasa cinta dengan baik, karena jika tidak mampu membedakannya, aku sebaiknya tidak mencoba memilih laki-laki sebagai tempat bergantung.
Hal ini membuat hubungan Telaga dan ibunya menjadi buruk. Walaupun Jero Kenanga dulunya juga berasal dari kasta Sudra, tetapi dia tidak mau jika anak satu-satunya menikah dengan pria Sudra. Dia bahkan melimpahkan semua impiannya yang tak tercapai pada Telaga, membuat Telaga bingung harus memilih antara cinta atau keluarganya.
Tubuh, Tradisi dan Suara Perempuan
Kisah yang diangkat dalam novel ini tergolong berani karena menyoroti isu sensitif mengenai sistem kasta di Bali serta perlakuan yang diterima oleh kaum perempuan di dalamnya. Penulis berhasil menyampaikan ceritanya dengan gaya yang kuat dan imersif, membuat pembaca seolah ikut terhanyut ke dalam dunia novel tersebut. Oka Rusmini menghidupkan konflik batin tokoh-tokoh dalam novelnya melalui metafora-metafora yang kuat. Ia menunjukkan bagaimana para perempuan, lewat tarian, berusaha merebut kembali kehormatan atas tubuh dan pilihan hidup mereka. Kisah ini juga memancarkan semangat membara para perempuan yang berjuang melawan penindasan yang lahir dari tradisi dan kebiasaan yang telah mengakar di tanah kelahiran mereka. Bahkan dalam percakapan sederhana sekalipun, pembaca dapat merasakan ketegangan yang menyelimuti novel tersebut, seperti yang tampak dalam dialog antara Telaga dan neneknya.
Tema Berat yang Menuntut Kedewasaan
Meskipun dipenuhi makna dan pesan sosial yang mendalam, beberapa bagian dalam novel ini tergolong cukup vulgar dan berat, sehingga mungkin kurang tepat untuk dibaca oleh remaja yang masih sangat muda. Beberapa adegan pun menyentuh hal-hal yang dianggap tabu dalam budaya Indonesia. Tema yang diangkat juga jauh lebih kompleks, berbeda dengan Laskar Pelangi yang membungkus kritik sosial dalam kisah persahabatan yang hangat dan ceria. Tarian Bumi justru menyuguhkan kritik yang lebih tajam, lugas, dan tanpa tedeng aling-aling. Karena itu, novel ini lebih cocok untuk remaja yang sedang beranjak dewasa, yang mulai siap menghadapi isu-isu serius. Bagi mereka, novel ini bisa menjadi jendela awal untuk memahami realitas sosial sebelum melangkah lebih jauh ke dunia kedewasaan.
Dari Lokal ke Internasional
Selain dari alurnya yang menarik, novel ini telah diakui di kancah internasional bahkan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Novel “Tarian Bumi” diterjemahkan pada 2007 ke dalam bahasa Jerman dengan judul Erdentanz, 2009 diterjemahkan ke dalam bahasa Svenska dengan judul Jordens Dans, 2011 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Earth Dance, dan pada tahun 2015 diterjemahkan ke bahasa Italia dengan judul La Danza Della Terra.
Penulis resensi: Natalia


