Opini Ulasan

Burnout, Mengupas Fakta dibalik Kesuksesan Akademik

Ilustrasi mahasiswa yang terjebak burnout akibat tugas [Hanna/BP2M]
Ilustrasi mahasiswa yang terjebak burnout akibat tugas [Hanna/BP2M]

Pernahkah kamu merasa terlalu lelah usai menerima begitu banyak tugas kuliah, presentasi, kuis, dan deadline lain? Saking lelahnya, membuka laptop terasa begitu berat. Mungkin saja, rasa lelah yang kamu alami itu menandakan bahwa tubuh dan pikiranmu sedang kehabisan tenaga. Ibarat kaki yang terus diajak berlari tanpa berhenti hingga mati rasa, otakmu juga dapat merasakan kelelahan, sehingga tidak dapat memproses aktivitas yang akan lakukan. Fenomena yang seperti ini biasa dikenal sebagai burnout atau bisa juga disebut stress akademik. Melalui penelitian yang dilakukan oleh Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018 silam, 71,6% mahasiswa Indonesia mengalami stress akademik.

Menurut Kreitner dan Kinicki, burnout merupakan suatu kondisi kelelahan emosional sehingga menimbulkan sikap negatif yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Greenberg dan Robert dalam buku “Behaviour Organizations: Understanding and Managing the Human Side of Work” juga menjelaskan bahwa burnout dapat muncul melalui pemikiran untuk menyelesaikan semua hal agar dengan terus beraktivitas tanpa mengenal limit demi kepuasan pribadi sehingga membawa rasa ketidakbahagiaan saat menjalankan aktivitas tersebut. Kondisi yang seperti ini dapat memicu stres kronis hingga berkemungkinan mengganggu aktivitas sehari-hari. Dua pengertian di atas juga sejalan dengan catatan pada kamus psikologi American Psychological Association (APA) yang juga menyatakan bahwa burnout adalah kondisi kelelahan fisik, emosional atau mental, disertai penurunan motivasi, kinerja, dan sikap merendahkan diri sendiri ataupun orang lain.

Fenomena burnout dapat terjadi pada siapa saja. Sebab, kondisi ini bersumber dari diri sendiri yang terus memaksakan kemampuan tanpa menyadari bahwa kita juga perlu mengistirahatkan pikiran kita. Oleh karenanya, kondisi burnout juga dapat terjadi pada mahasiswa yang sering terjebak dalam rutinitas padat perkuliahan. Tidak hanya di dalam kelas saja, tetapi juga di luar kelas termasuk dalam berorganisasi. Tekanan dan ekspektasi yang disimpan diri sendiri untuk mencapai pengakuan akademik bisa membuat mereka mengalami kelelahan mental.

Apa Faktor pemicu burnout?

Mahasiswa tidak serta-merta mengalami burnout. Tentunya, ada hal yang memicu kondisi tersebut pada individu. Gejala burnout pada mahasiswa dapat disebabkan oleh kurangnya dukungan sosial, kesulitan dalam mengelola masalah yang dihadapi, kepribadian yang cenderung tertutup, sikap perfeksionisme, beban personal yang dirasakan, juga faktor demografi yang melatarbelakangi identitas dari seorang mahasiswa itu sendiri. Menurut Schaufeli kondisi burnout dapat dilihat melalui tiga dimensi. 

Pertama, exhaustion (kelelahan) yang bersumber dari tuntutan pelajaran ditandai dengan sikap mudah menyerah, tidak memiliki gairah belajar, dan mudah putus asa. Kedua, cynicism (sinisme) yang merupakan kondisi munculnya ketidaktarikan kepada studi. Biasanya ditandai dengan aksi membolos, tidak mengerjakan tugas, dan berpikiran negatif terhadap dosen. Dimensi terakhir adalah inefficacy, di mana mahasiswa merasa tidak kompeten sebagai pelajar. Hal ini memicu pemikiran bahwa mereka tidak melakukan yang terbaik dan tidak puas dengan hasil belajar yang telah dilakukan.

Burnout akademik ini merupakan peristiwa nyata yang dapat dibuktikan secara konkret. Melalui penelitian yang dilakukan oleh Rahmi Rajfalni Amarsa dkk. (2023) terhadap 105 mahasiswa Bimbingan dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia UPI, ditemukan bahwa 73,3% mahasiswa mengalami burnout pada tingkat sedang. Angka itu dinilai sedang melalui skor total dari Maslach 

Langkah menangani burnout

Fenomena burnout yang banyak dialami mahasiswa tentu tidak boleh diabaikan, karena jika dibiarkan berlarut dapat menurunkan motivasi dan prestasi belajar. Oleh karenanya, diperlukan tindakan untuk menangani dan mencegah akademik burnout agar seseorang tidak mengalaminya secara berkepanjangan. Langkah tersebut dapat dimulai dari meningkatkan kontrol atas kehidupan serta lingkungan di sekitarnya, melakukan strategi coping (sebuah langkah untuk mengubah respon seseorang untuk mengatasi stres sehingga dampaknya lebih kecil) melalui dua pendekatan dengan fokus pada emosional dan fokus pada penyelesaian masalah, serta melakukan aktivitas fisik sebab berolahraga membantu meningkatkan hormon endorfin sehingga menghasilkan perasaan positif dan meredakan stres.

Selain langkah di atas, kehadiran seseorang sangat membantu meredakan kondisi burnout. Seseorang akan cenderung melupakan masalah yang sedang dihadapi ketika berada di kerumunan orang-orang yang membawa energi positif. Sebab hal yang paling mudah untuk dilakukan dalam mencegah burnout adalah dengan membagi cerita atau kondisi sulit yang tengah dihadapi kepada orang lain. 

Sehingga, kita dapat mengurangi beban pikiran yang ada di dalam kepala. Institusi pendidikan juga memiliki tanggung jawab untuk mencegah fenomena ini terjadi pada mahasiswanya. Oleh sebab itu, berbagai kampus di Indonesia telah menyediakan layanan konseling yang dapat diakses oleh mahasiswa secara gratis. Misalnya di Universitas Negeri Semarang yang menyediakan layanan Mental Health Support di bawah Program Studi Bimbingan dan Konseling yang dapat diakses secara gratis.

Lalu bagaimana agar kita tidak burnout?

Fenomena burnout pada mahasiswa sejatinya menjadi cerminan nyata bahwa tekanan akademik serta tuntutan untuk selalu produktif memiliki dampak besar terhadap kesehatan mental. Kondisi ini menunjukkan pentingnya bagi individu memiliki kesadaran untuk mengenal batasan diri, mengatur waktu dengan bijak, dan menjaga keseimbangan antara belajar dan beristirahat. Melalui dukungan dari lingkungan sekitar, mahasiswa dapat mengurangi risiko kelelahan berkepanjangan agar dapat menjalani aktivitas akademik dengan lebih sehat dan penuh ketenangan. Jadi, bila dirimu merasa perlu bantuan, jangan ragu untuk meminta pertolongan dan pergi ke layanan konseling di kampus. Sebab, kesehatan mental menjadi tanggung jawab kita bersama.

Penulis: Nadya Amelia Zulfi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *