Kelas Menulis di Rumah Buku Simpul Semarang. [Doc.Dian] |
Rumah ilmu sederhana yang memberikan
kesan luar biasa.
kesan luar biasa.
BP2M – Rumah
Buku Simpul Semarang (RBSS), perpustakaan ini terletak di Gang Nangka, Sekaran,
Gunungpati. Untuk sampai RBSS, seseorang akan
menelusuri jalanan yang bercahayakan lampu-lampu dari rumah warga. Jaraknya yang
cukup jauh dari
pintu masuk Gang Nangka mengharuskan mengawaskan mata saya untuk mencari RBSS. Untunglah, sebuah papan bertuliskan RBSS membantu saya menemukan perpustakaan kecil itu. Karpet coklat tua menyambut kedatangan para pengunjung. Saat kedua kaki saya melangkah
memasuki rumah buku sederhana itu, terlihat beberapa orang duduk melingkar
seraya memperhatikan seorang laki-laki yang tengah berbicara. Seluruh mata tertuju pada sang pemantik yang tengah berbicara.
Buku Simpul Semarang (RBSS), perpustakaan ini terletak di Gang Nangka, Sekaran,
Gunungpati. Untuk sampai RBSS, seseorang akan
menelusuri jalanan yang bercahayakan lampu-lampu dari rumah warga. Jaraknya yang
cukup jauh dari
pintu masuk Gang Nangka mengharuskan mengawaskan mata saya untuk mencari RBSS. Untunglah, sebuah papan bertuliskan RBSS membantu saya menemukan perpustakaan kecil itu. Karpet coklat tua menyambut kedatangan para pengunjung. Saat kedua kaki saya melangkah
memasuki rumah buku sederhana itu, terlihat beberapa orang duduk melingkar
seraya memperhatikan seorang laki-laki yang tengah berbicara. Seluruh mata tertuju pada sang pemantik yang tengah berbicara.
Ruangan perpustakaan itu
begitu sederhana dan rapi dengan penataan yang baik. Hal itu menjadi bagian penting
dari kegiatan transfer ilmu yang berlangsung pada Selasa malam (11/10). Suasana tenang menyelimuti forum diskusi saat itu. Hanya suara sang pemantiklah yang mengisi seisi ruangan. Sosok laki-laki yang sedang berbicara itu terlihat begitu karismatik dengan gaya
khasnya menyampaikan materi.
begitu sederhana dan rapi dengan penataan yang baik. Hal itu menjadi bagian penting
dari kegiatan transfer ilmu yang berlangsung pada Selasa malam (11/10). Suasana tenang menyelimuti forum diskusi saat itu. Hanya suara sang pemantiklah yang mengisi seisi ruangan. Sosok laki-laki yang sedang berbicara itu terlihat begitu karismatik dengan gaya
khasnya menyampaikan materi.
Mas Rahmat,
begitulah dia akrab disapa. Dia sedang duduk di antara peserta diskusi, tepat di
sebelah sudut rak besar berisikan buku-buku yang tertata rapi. Sesekali dia berinteraksi dengan peserta diskusi yang hadir di sana. Materi
yang disampaikannya sangat menarik, yakni Jurnalisme dari Perspektif
Sosio-kultural. Tema ini
sangat disarankan bagi penulis pemula.
Rahmat menguraikan tentang sejarah jurnalisme, kemudian memaparkan perihal tanggung jawab sosial jurnalistik.
begitulah dia akrab disapa. Dia sedang duduk di antara peserta diskusi, tepat di
sebelah sudut rak besar berisikan buku-buku yang tertata rapi. Sesekali dia berinteraksi dengan peserta diskusi yang hadir di sana. Materi
yang disampaikannya sangat menarik, yakni Jurnalisme dari Perspektif
Sosio-kultural. Tema ini
sangat disarankan bagi penulis pemula.
Rahmat menguraikan tentang sejarah jurnalisme, kemudian memaparkan perihal tanggung jawab sosial jurnalistik.
Usai Surahmat menyampaikan materi, beberapa pertanyaan dan tanggapan dilontarkan oleh peserta diskusi. Rahmat langsung menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya tanpa banyak berpikir
dan membolak-balik buku untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang diajukan
kepadanya. Cara Rahmat menjawab pertanyaan
menunjukan adanya
kematangan menguasai materi diskusi yang telah disampaikan. Rahmat
menyampaikan materi dengan komunikatif, dia memantik diskusi dengan cara menggunakan beberapa
contoh yang tak jauh dari kehidupan sehari-hari.
dan membolak-balik buku untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang diajukan
kepadanya. Cara Rahmat menjawab pertanyaan
menunjukan adanya
kematangan menguasai materi diskusi yang telah disampaikan. Rahmat
menyampaikan materi dengan komunikatif, dia memantik diskusi dengan cara menggunakan beberapa
contoh yang tak jauh dari kehidupan sehari-hari.
Dia menjelaskan bahwa menulis itu memberi tiga modal,
modal pertama yakni intelektual. Kita tidak mungkin menulis tanpa membaca, sehingga ketika kita menulis, maka secara otomatis akan memperoleh modal intelektual.
Modal kedua adalah sosial. Rahmat menceritakan pengalamannya ketika ia menulis
di blognya mengenai sebuah fenomena sosial, tokoh yang menginspirasinya secara tidak terduga mengomentari tulisannya. Dari sanalah ia sadar ternyata
menulispun bisa memberikan modal sosial berupa persahabatan dengan orang yang
membaca dan mengapresiasi tulisannya.
di blognya mengenai sebuah fenomena sosial, tokoh yang menginspirasinya secara tidak terduga mengomentari tulisannya. Dari sanalah ia sadar ternyata
menulispun bisa memberikan modal sosial berupa persahabatan dengan orang yang
membaca dan mengapresiasi tulisannya.
Modal yang terakhir adalah finansial. Modal yang satu ini tak mungkin dipungkiri oleh para penulis yang telah berhasil mengantongi
rupiah dari tulisannya. Banyak penulis hebat yang mengawali kesuksesannya
dibidang penulisan dari tulisan-tulisan sederhana yang mendapatkan apresiasi
dan respon luar biasa dari pembacanya. Dari
apresiasi dan respon itulah sedikit demi sedikit memberikan para penulis itu pekerjaan yang dapat menghasilkan
pundi-pundi rupiah. Dari hal itu saya belajar bahwa dengan cara yang sederhana pun seseorang mampu memperoleh hasil yang luar biasa.
rupiah dari tulisannya. Banyak penulis hebat yang mengawali kesuksesannya
dibidang penulisan dari tulisan-tulisan sederhana yang mendapatkan apresiasi
dan respon luar biasa dari pembacanya. Dari
apresiasi dan respon itulah sedikit demi sedikit memberikan para penulis itu pekerjaan yang dapat menghasilkan
pundi-pundi rupiah. Dari hal itu saya belajar bahwa dengan cara yang sederhana pun seseorang mampu memperoleh hasil yang luar biasa.
Sebanyak
21 orang duduk melingkar di
antara tumpukan buku-buku yang tertata rapi di rak RBSS. Tiga rak buku besar berisi buku yang tertata rapi berjejer di sudut
ruangan. Saling berhadapan dengan bentuk tak sama. Banyaknya buku di sana membuat saya terpana. Bukan buku-buku baru yang memenuhi sudut-sudut rak, melainkan buku-buku yang tampak sudah usang dengan ukuran
tak sama yang menjadi daya tarik tersendiri untuk rumah ilmu yang satu ini.
Buku-buku lain juga tertata rapi di dalam kardus dan di atas meja. Gorengan yang di atas
piring pun tak kalah penting. Sesekali peserta diskusi menikmati
gorengan-gorengan itu sembari menyimak materi yang sedang disampaikan Surahmat.
21 orang duduk melingkar di
antara tumpukan buku-buku yang tertata rapi di rak RBSS. Tiga rak buku besar berisi buku yang tertata rapi berjejer di sudut
ruangan. Saling berhadapan dengan bentuk tak sama. Banyaknya buku di sana membuat saya terpana. Bukan buku-buku baru yang memenuhi sudut-sudut rak, melainkan buku-buku yang tampak sudah usang dengan ukuran
tak sama yang menjadi daya tarik tersendiri untuk rumah ilmu yang satu ini.
Buku-buku lain juga tertata rapi di dalam kardus dan di atas meja. Gorengan yang di atas
piring pun tak kalah penting. Sesekali peserta diskusi menikmati
gorengan-gorengan itu sembari menyimak materi yang sedang disampaikan Surahmat.
Malam
hari itu, peserta diskusi mendapatkan ilmu yang luar biasa yang
dibagikan Surahmat dan kawan-kawan lainnya. Keseruan diskusi ini seakan
mempercepat waktu. Tak lama dari saya duduk dan mengikuti diskusi, sudah berakhir saja diskusi malam itu. Dari sanalah saya mulai menyadari bahwa ilmu tidak
melulu berasal dari tempat yang mewah nan megah, melainkan tempat sederhana yang terhiasi jendela dunia di
dalam setiap raknya. Namun justru kesederhanaan inilah yang menjadikan kelas menulis perdana itu istimewa. [Fatim]
hari itu, peserta diskusi mendapatkan ilmu yang luar biasa yang
dibagikan Surahmat dan kawan-kawan lainnya. Keseruan diskusi ini seakan
mempercepat waktu. Tak lama dari saya duduk dan mengikuti diskusi, sudah berakhir saja diskusi malam itu. Dari sanalah saya mulai menyadari bahwa ilmu tidak
melulu berasal dari tempat yang mewah nan megah, melainkan tempat sederhana yang terhiasi jendela dunia di
dalam setiap raknya. Namun justru kesederhanaan inilah yang menjadikan kelas menulis perdana itu istimewa. [Fatim]