Judul buku : Masyitoh Pengarang : Ajip Rosidi Tahun terbit : 1967 Penerbit : Pustaka Jaya
Berangkat dari keyakinan yang sama, manusia memiliki pola pikir dan cara yang berbeda dalam menginterpretasikan keyakinan tersebut di kehidupan sehari-hari. Perbedaan itu yang membuat manusia merasa perlu berpikir lebih jauh untuk mendapatkan kesimpulan, pemahaman baru yang berupa kebenaran, atau sekadar sebagai sarana mencari pembenaran.
Buku ini cukup menekankan pada perbedaan tafsir mengenai konsep pengorbanan. Terkadang pengorbanan seseorang untuk keyakinannya diartikan secara sempit, tanpa melihat konteks yang lebih luas di dalamnya. Padahal pengorbanan yang dilakukan bisa jadi untuk martabat manusia sendiri. Masyitoh sang juru sisir Tuan Putri, dengan tegas dan santun menyatakan ketidaksetujuan mengenai perendahan diri martabat manusia: penyembahan terhadap sesama makhluk yang dengan serakah mengaku dirinya sebagai Tuhan.
Dalam buku ini, selain menunjukkan dari sisi bani israil yang memiliki keyakinan sebagaimana keyakinan Nabi Ibrahim, juga dari sisi pengikut Fir’aun yang meyakini bahwa hidup dan mati ada di tangan Fir’aun. Terdapat poin-poin pemikiran yang sebagian bertolak belakang walau berangkat dari keyakinan yang sama. Seperti halnya sosok Amran yang memilih manut–mengikuti apapun yang disampaikan oleh panutan tanpa pernah mengajukan pertanyaan–, sedangkan Nasab dengan pemikirannya yang menganggap bahwa kepasrahan dan menunggu pertolongan Allah seharusnya dibarengi dengan usaha yang maksimal, bukan terus-menerus hanya menerima segala siksaan anak buah Fir’aun tanpa perlawanan.
Pemahaman Nasab bahwa salah satu hal terpenting dari mempertahankan keyakinan selain berpegang teguh dengan apa yang telah dipercayai yaitu berjuang membuktikannya kekuatan tetapi tidak menyalahi aturan dari Allah merupakan kekritisan dalam penafsiran konteks pengorbanan.
Dari sisi penokohan, Fir’aun digambarkan memiliki sisi sifat manusia biasa. Penganggapan pribadi dan pengakuan kaumnya bahwa dia adalah Tuhan memang menimbulkan keserakahan. Namun di beberapa bagian Fir’aun juga mengalami kebimbangan mengenai kaum bani Israil yang dipekerjakan secara paksa, memikirkan kesejahteraannya dan meragukan usulan bawahannya agar setiap bayi dari keturunan bani Israil dibunuh.
Padahal pada akhirnya itu kembali untuk kepentingannya, yaitu akan ada banyak pekerja mati, sehingga piramidanya ‘tak kunjung selesai dan bayi-bayi dibunuh tidak akan ada lagi pasukan tentara yang melindunginya.
Keteguhan yang Bermoral
Pengorbanan Masyitoh yang rela mati untuk mempertahankan keimanannya sebagai kebenaran yang dia yakini merupakan bentuk keteguhan yang dapat kita jadikan teladan. Dalam menyampaikan kebenaran bahwa Tuhan itu Esa–tidak dapat dibandingkan dengan manusia, dan bukan manusia–, Masyitoh menjunjung tinggi nilai-nilai moral bermasyarakat. Sebagai seorang rakyat yang tinggal dalam suatu negara sudah sepantasnya menghormati rajanya. Kepribadian santun seorang Masyitoh menjadi pukulan telak bagi orang-orang yang belum menerapkan prinsip hubungan antar manusia dengan baik.
Konsep yang sangat sederhana, yaitu saling menghargai di era sekarang menjadi sesuatu yang teramat susah ditemui. Kecenderungan merasa paling benar dan ingin menunjukkan bahwa dirinya merupakan bagian dari kebenaran itu –dan yang lain salah–, kadang membuat manusia lupa akan tujuan awalnya sebagai agen penyebar kebaikan.
Berkaca pada Masyitoh dengan keyakinan dan sikap ‘tak gentarnya di hadapan Fir’aun; manusia yang mengaku dirinya Tuhan, membawa bukti bahwa tanpa harus berteriak dan menghina yaitu cukup dengan mengatakan kebenaran itu kemudian menyerahkan segala hasilnya kepada Yang Maha Agung, bisa membawa pengaruh yang besar. Bahkan kebenaran itu membuat Fir’aun pada akhirnya memiliki sebuah ketakutan dan kekhawatiran apakah memang ada kekuatan yang lebih besar dari kekuatannya (halaman 105).
Moral memang selalu menjadi PR manusia sebagai makhluk yang bertugas menjadi pemimpin di bumi. Berbagai upaya untuk mewujudkan manusia bermoral dan menganut prinsip yang disetujui dunia yaitu kedamaian harus terus diupayakan.
Ajip Rosidi dengan bukunya berhasil meyakinkan bahwa manusia memang tidak bisa menanggalkan keyakinan supranatural, bahwa ada kekuatan yang menguatkan perjalanannya, sebagai sumber keberanian diri untuk terus berbenah dan menyampaikan kebenaran dengan cara yang benar pula, penuh belas kasih dan tidak menyalahi aturan Tuhan.
Penulis : Amilia Buana Dewi Islamy
Editor : Rona Ayu Meivia