Buku Blink Karya Malcolm Gladwell [Doc. Azis] |
Ternyata jatuhnya pesawat terbang di dunia nyata tak bisa kita bayangkan seheboh seperti yang terjadi di dalam film-film Hollywood. Tampil dengan efek ledakan keras pada mesin, rusaknya instrumen kontrol pesawat secara dramatis, apalagi dengan dialog sang pilot, “Ahh, pegangan! Kita akan jatuh!”
Siapa kira, ternyata yang berperan besar dalam banyak kecelakaan pesawat justru hal yang tampak sepele: miskoordinasi dan kurang komunikasi. Diantaranya, ada dampak budaya unggah-ungguh atau penghalusan bahasa –yang selalu kita (orang Indonesia terutama suku Jawa) anggap sebagai budaya timur yang baik– tetapi siapa sangka, ternyata bisa berefek begitu mengerikan, ketika digunakan di angkasa.
Kisah ini tertuang dalam buku Outliers (2008), salah satunya bercerita tentang transformasi Korean Air yang awalnya dianggap salah satu maskapai terburuk sebab tingkat kecelakaannya yang tinggi. Hal ini ternyata disebabkan budaya formal-hierarkis orang Korea yang begitu kuat sehingga ikut terbawa pada cara pilot, kopilot, dan flight engineer berkomunikasi. Kita tahu sendiri, budaya Korea bisa membuat mereka sangat santun melebihi orang Jawa paling halus sekalipun.
Baca Juga Resensi Buku: Menyikap Karen, Perjalanan Menyatukan 17 Kepribadian
Salah satu contohnya ketika ada suguhan minum teh, semua orang tidak akan minum sebelum orang tertua di meja tersebut mengangkat cangkirnya. Sekarang bayangkan saja kalau ternyata yang tertua itu ternyata tak haus-haus amat. Yakinlah tak bakal ada yang minum!
Barulah setelah Korean Air merombak budaya para awaknya untuk berkomunikasi menggunakan kalimat lugas, inisiatif, dan berani membagi beban kerja di dalam kokpit, maskapai ini pun melonjak menjadi salah satu maskapai terbaik di dunia hingga sekarang.
Ini baru salah satu dari kisah-kisah Malcolm Gladwell yang mengisyaratkan bahwa dengan membuka diri pada realitas yang tak biasa, sering diabaikan, bahkan kelewat paradoksal, justru realitas itulah yang ternyata bisa membuat kita keluar dari masalah. Gladwell bahkan bukan hanya menyematkan hal ini dalam Outliers, tetapi dengan konsisten menampilkan realitas-realitas tak biasa lainnya pada buku The Tipping Point (2000), Blink (2005), What the Dog Saw (2009), dan David and Goliath (2013).
Barangkali inilah yang akhirnya membuat para pembaca setia kisah-kisah Gladwell sampai ketagihan. Disamping membangkitkan suatu kearifan tersendiri dengan membuka wawasan yang lebih luas, kisah-kisah yang diangkat Gladwell dirasa sanggup membangkitkan optimisme pembaca dengan cara membalikkan pikiran umum yang terlanjur mapan.
Misalkan dalam Blink, kemampuan snap judgments atau penilaian sekejap biasanya kita anggap sebagai tindakan gegabah, sanggup membuat orang dituduh kriminal hanya karena berkulit hitam, atau sebalikannya sanggup menciptakan presiden terburuk sepanjang masa hanya karena postur tubuhnya yang tinggi dan tampan.
Baca Juga Resensi Buku: Kontribusi Orang Gila Di Balik Kamus Oxford
Tapi ternyata kemampuan ini bisa dilatih menjadi kemampuan yang berguna. Para pencicip makanan telah membuktikan mereka sanggup mengetahui apa saja bahan-bahan pembuat makanan tersebut hanya dalam satu suap, para pegiat seni tahu mana karya asli dan palsu hanya dalam sekali lihat, dan ada pula seorang pelatih tenis yang sanggup meramalkan double fault hanya dengan melihat servis seorang pemain dari layar televisi. Cerita-cerita ini berhasil menunjukkan bahwa bila kita bekerja keras mengasah ilmu yang kita miliki, lama-kelamaan ternyata kita bisa menjadi istimewa dengan sendirinya. Penguasaan terhadap tajamnya snap judgment menjadi salah satu indikatornya.
Contoh lainnya, bisa kita tengok dari kisah lain yang juga menggugah rasa penasaran kita tentang sudut pandang tak tersentuh dari tokoh-tokoh besar. Bagaimana kisah brand sepatu Airwalk dalam The Tipping Point misalnya, yang ternyata rela mengawali tren menjual sedikit saja demi menjaga eksklusivitas, juga fakta dalam Outliers bahwa The Beatles, ternyata bukan hanya besar karena bakat mereka, tetapi sebab keuletan mereka untuk terus bermain sekaligus berlatih di sebuah klub yang meminta mereka tampil selama delapan jam sehari non-stop!
Dari kisah-kisah tersebut, Gladwell memberikan gagasan yang mantap tentang kaidah 10.000 jam. Bahwa setiap kesuksesan pasti harus dilewati dengan latihan, kerja keras, dan konsistensi hingga melewati masa 10.000 jam tersebut. Ya, di dunia ini memang tak ada sesuatu yang instan, kawan!
Baca Juga Resensi Buku: Jadilah Sahabat Seperti Tokek
Kisah-kisah yang dibingkai dengan latar belakang jurnalistik Gladwell ditambah sumber-sumber riset para ahli yang meyakinkan, dinilai berhasil menelurkan esai dengan argumentasi yang begitu kuat di tiap babnya. Sehingga setiap judul bukunya pun berhasil membawa gaya dan citarasa khas Malcolm Gladwell yang membekas di memori para pembaca.
Wajar bila Gladwell dinobatkan media massa macam Time, Newsweek, juga GQ, sebagai penulis yang paling sanggup mempengaruhi cara orang berpikir. Tak ayal, inilah yang membuat buku-buku Gladwell pun diterjemahkan dan dicetak ulang hingga belasan kali oleh Gramedia Pustaka Utama sampai hari ini.
Cara Gladwell merangkai realitas sepele, populer, dan ilmiah menjadi satu kesatuan pun banyak dipuji, sebab sanggup membuat pembaca awam mudah memahami wacana yang disajikan. Walaupun ada juga beberapa orang yang menganggap aliran pop-ilmiah seperti buku-buku Gladwell ini rawan menghadirkan simplifikasi berlebihan tentang fenomena-fenomena khusus yang lebih rumit.
Baca Juga Resensi Buku: Memaknai Kedirian Manusia Melalui Cinta
Pada akhirnya, realitas terbaik yang bisa dituntut oleh pembaca sebenarnya tak muluk-muluk. Bahkan saya pun yakin ada saja pembaca yang tak mengindahkan catatan kaki di buku-buku Gladwell yang terkadang sampai melebihi separuh halaman demi menjelaskan fakta ilmiah selengkapnya.
Terpenting, dengan membaca kisah-kisah yang diangkat Gladwell, pembaca bisa melihat: Terkadang sesuatu yang biasa-biasa saja, ternyata bisa berdampak luar biasa, sebaliknya ada pula hal-hal luar biasa yang ternyata tak kita sadari hanya berdasar pada hal sepele dan remeh.
Akhirnya yang bisa kita usahakan hanya berusaha saja sebaik mungkin, apapun yang kita anggap baik. Sebab kalau saya boleh berkata, selempeng-lempengnya kita melangkah, yang baik itu terkadang bisa dibolak-balik, atau terbolak-balik!