Menyitir Peraturan Daerah (Perda) Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang, kesadaran Pedagang Kaki Lima (PKL) untuk mematuhi peraturan tersebut masih rendah. Dua minggu lamanya, beberapa plang bertuliskan “Dilarang Berjualan di Kawasan Ini!” dipasang di sekitar kawasan simpang tujuh Unnes.
Pedagang masih tetap berjualan di Simpang Tujuh Unnes meski sudah ada plang larangan (Dok. Dwi Rizka) |
Ketertiban tanggung jawab Pemerintah Kota Semarang walaupun lahan milik Unnes. Jadi, Satuan Polisi Pamong Praja yang berwenang mengatur keberadaan pedagang kaki lima sedangkan satpam Unnes hanya sebagai pengingat. ” Kami memberi toleransi jam empat sore agar tidak mengganggu aktivitas kantor. Jika berjualan sebelum jam tersebut dan sudah terlalu ketengah jualannya, kami hanya mengingatkan saja.” jelas Sumarjito, satpam Unnes, Rabu (11/11).
Menurut penuturan salah satu pedagang kaki lima, Dedi atau biasa disapa Pak Eyot (14/11) mengatakan, kelurahan sering menarik iuran kebersihan sehingga secara tidak langsung pihak kelurahan telah memberikan izin berdagang di wilayah itu. Sementara Laeli Fitriani (11/11), mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sasra Indonesia melihat keberadaan pedagang kaki lima mengganggu ketertiban lalu lintas, bahkan rawan terjadi kecelakaan jika masih tetap dibiarkan. Perlu adanya tindakan tegas sebelum pedagang kaki lima menjamur dan keluar dari batas ketentuan penjualan.
Masyarakat sebagai pengguna jalan mengeluhkan kesemrawutan yang terjadi di kawasan simpang tujuh, hal itu membuat Martono, Pembantu Rektor Bidang Administrasi, bereaksi mencari solusi atas masalah tersebut. “Keberadaan PKL tidak merugikan Unnes, tetapi pemakai jalan sering mengeluh akibat jalanan yang semrawut. Tindakan tegas akan dilakukan jika sudah sangat mengganggu ketertiban, pihak Unnes akan meminta bantuan Satpol PP dan kepolisian untuk menertibkan, tetapi kami akan mengkomunikasikan dahulu dengan mereka,”ujar Martono, Jumat (13/11).
Martono menambahkan, pihak Unnes tidak bermaksud menghalangi pedagang berjualan dan mahasiswa yang ingin membeli jajanan murah, akan lebih mulia bila kegiatan jual beli tidak menggangu ketertiban lalu lintas. Kami mencoba memberikan solusi dengan menyediakan sebuah tempat khusus sebagai pusat jajanan murah untuk memfasilitasi PKL dalam berjualan, tetapi beberapa diantara mereka justru menolak. Kalau penjual kumpul di suatu tempat, tentu pembeli akan datang sendiri.
Tidak sedikit para pedagang yang membuka lapak di kawasan simpang tujuh adalah mahasiswa yang tengah menggeluti dunia wirausaha. Martono mengapresiasi mahasiswa yang mencoba berwirausaha, “Saya senang apabila ada mahasiswa berwirausaha, akan tetapi alangkah baik bila memberi contoh pada masyarakat supaya tidak berjualan di kawasan yang dilarang sebagai tempat berjualan,” ujar Martono saat Tim Express menemui di kantornya. [Yunita, Teguh]