Tidak mudah bagi Citra–bukan nama sebenarnya–ketika memutuskan meninggalkan kos lamanya. Selain ia anggap sempat berbiaya terjangkau, kos yang sudah ia tempati sejak awal masuk kuliah di Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu berjarak tidak jauh dengan gedung kuliahnya. Pada Maret lalu, mekanisme sewa di kosnya berubah: tidak ada lagi kamar kos yang disewakan secara bulanan, hanya tahunan.
Citra merasa keberatan dengan perubahan mekanisme sewa itu. Sejak awal menghuni kos-kosan yang terletak di Banaran, Kelurahan Sekaran itu, Citra selalu memilih menyewa dengan periode bulanan. Tapi persoalan utamanya sebenarnya bukan itu. Sebab, perubahan mekanisme periode sewa kosnya juga diikuti naiknya harga sewa. Sebelumnya, Citra hanya dikenai biaya Rp600 ribu per bulan atau Rp7,2 juta dalam satu tahun. Apabila tetap ingin menempati kamarnya, Citra harus merogoh kocek Rp9,5 juta untuk satu tahun sewa.
Terlepas dari adanya perubahan mekanisme itu, ada sesuatu yang aneh baginya: informasi mengenai perubahan mekanisme sewa itu bukan disampaikan oleh pemilik kos, melainkan oleh makelar kos. Citra dan teman-teman satu kosnya sempat kebingungan dengan adanya informasi tersebut. Sebab, pemilik kos tidak pernah memberikan informasi apapun soal perubahan mekanisme sewa.
Mereka pun berinisiatif bertanya kepada pemilik kos melalui pesan singkat. Belakangan, Citra dan teman-temannya mendapat informasi bahwa adanya kerjasama antara pemilik dengan makelar soal pengelolaan kos-kosan dari penjaga kos di situ. Sang pemilik pun baru menjawab pesan dua minggu kemudian.
Selama bulan April, beberapa penghuni kos yang keberatan dengan adanya mekanisme baru itu mulai meninggalkan kos, termasuk Citra. “Akhirnya semua anak kosan pindah. Sisa dua orang aja yang bayar gak bulanan,” katanya.
Citra termasuk salah satu penghuni yang meninggalkan kos paling akhir, setelah teman-temannya. Selama ia belum berpindah dan masih mencari kos-kosan baru, ia berulang kali melihat beberapa makelar kos mondar-mandir di lokasi kos. Mereka sedang mengantar pelanggan untuk melakukan survei kos, juga mengantar penghuni baru yang sudah sepakat menyewa kos melalui perantaranya.
“Aku kesel banget waktu dia (makelar) tiap hari datang ke kos. Padahal itu kos cewek, sementara dia cowok tapi dateng melulu setiap hari ke kos, sudah kayak yang punya kosan,” ucapnya saat diwawancarai Linikampus pada pertengahan Juni silam.
Di waktu-waktu itu, Citra juga sempat pusing tujuh keliling lantaran sangat sukar mencari kos yang sesuai dengan isi kantongnya. Menurutnya, selain berharga mahal, ia menemui beberapa kos yang fasilitasnya kurang memadai. Tapi akhirnya Citra mendapatkan informasi mengenai kos yang ada di daerah Kelurahan Kalisegoro. Ia pun cepat-cepat mendatangi lokasi kos tersebut.
Tidak banyak berpikir, Citra memutuskan untuk menyewa kos-kosan itu. Harganya Rp650 ribu per bulan. Harga itu masih lebih mahal dibandingkan kos-kosan sebelumnya. Padahal, lokasinya sudah lumayan jauh dari kampus. Namun, ia tetap merasa beruntung karena kos-kosan barunya itu lebih luas dari yang sebelumnya.
Belakangan, Citra mengetahui makelar kos mempromosikan kos-kosan lamanya di akun Instagram @kosunnes.id. Harganya Rp9–9,5 juta per tahun untuk kos tanpa pendingin ruangan. Sementara untuk kamar yang dipasangi pendingin ruangan dihargai Rp11,5 juta. Saat Linikampus mengecek postingan tersebut, seluruh kamarnya sudah ludes terpesan.
Dalam postingan itu juga tertulis berbagai fasilitas yang tersedia, seperti bebas pembayaran air, wifi, listrik, dan sampah, serta terdapat pula kulkas umum. Di dalam kamar seluas 3×4 meternya dilengkapi lemari pakaian, meja belajar, kasur springbed, dan kamar mandi, selain pendingin ruangan di beberapa kamar.
Berbeda dengan Citra, Nia memilih untuk tetap tinggal di kosnya ketika harga sewanya mulai naik pada Juni lalu. Sebelumnya, kos-kosan yang terletak di Gang Kalimasada, Kelurahan Sekaran, itu dihargai Rp6,8 juta per tahun. Saat ini, harganya naik menjadi Rp8,5 juta per tahun. Perubahan harga tersebut berlaku bagi penghuni lama maupun baru. Nia termasuk penghuni lama yang sudah menempati kos itu sejak Oktober 2021, saat pertama kali perkuliahan dilakukan secara luring pascapandemi.
Nia menempati kos-kosan dengan fasilitas bebas pembayaran air dan listrik, jaringan wifi, kulkas dan televisi umum, serta dapur bersama peralatannya. Di dalam kamarnya terdapat fasilitas lemari, seperangkat meja belajar lengkap dengan kursi, serta kamar mandi.
Ada perubahan dalam pembayaran fasilitas di kos-kosan Nia ketika harganya sudah naik: sebelumnya, biaya sebesar Rp200 ribu untuk wifi, gas, serta peralatan dapur harus ia bayar setiap enam bulan sekali. Sekarang, biaya tambahan itu sudah dihapus. Selain itu, perubahan harga kosnya juga diikuti dengan tambahan fasilitas berupa pemasangan meteran listrik pada tiap kamar.
Sebenarnya Nia juga merasa keberatan dengan naiknya harga kosnya. Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes angkatan 2020 itu sempat merencanakan untuk berpindah kos. bersamaan dengan itu, ia pernah bertanya ke teman-temannya mengenai harga kos milik mereka. Ternyata harga kos teman-temannya juga melambung. Jika ia memutuskan untuk tetap pindah, ia ragu akan mendapatkan kos baru yang harganya lebih murah serta memiliki fasilitas yang setara dengan kos-kosannya.
“Mahasiswa pun per tahun juga bertambah, kan. Jadi ya sudah. Daripada enggak dapat kos mending nambah lah,” katanya. “Daripada cari-cari kos lagi, terus malah harganya lebih mahal, fasilitasnya nggak sesuai.”
Melalui pengamatan Linikampus pada laman portal data Unnes, Sabtu, 19 Agustus lalu, jumlah mahasiswa Unnes tiap tahunnya memang selalu menanjak. Tahun ini berjumlah lebih dari 54 ribu. Sedangkan pada 2022 dan 2021 jumlah tak kurang dari 49 ribu dan 44 ribu mahasiswa. Tidak mudah mencari perbandingan antara jumlah mahasiswa Unnes dengan jumlah kamar kos yang tersedia di area Unnes. Sebab, sampai hari ini Linikampus belum mendapatkan jumlah pasti kamar kos yang tersedia di area Unnes.
Prasetyo Ari Wibowo, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unnes, menduga naiknya harga kos-kosan di sekitar Unnes juga karena tidak sebandingnya jumlah mahasiswa dengan keberadaan kos-kosan, selain melonjaknya harga tanah di sekitar Unnes.
“Dari sisi supply dan demand, logika sederhananya satu angkatan di Unnes masuk sepuluh ribu mahasiswa baru. Tapi yang sepuluh ribu kemarin yang lulus baru berapa?” katanya saat ditemui Linikampus di kantornya, Senin, 14 Agustus lalu. “Artinya kan ada tumpukan mahasiswa di situ. Sementara Pembangunan kos-kosan nggak serta merta tiap tahun bertambah.”
Prasetyo juga mengatakan tidak adanya batas atas atau price ceiling menyebabkan naiknya harga kos kian tak terkontrol. Untuk menciptakannya, kata Prasetyo, pemilik atau pengusaha kos bisa membentuk suatu asosiasi atau paguyuban. Dari situ, mereka bisa menciptakan kesepakatan soal range harga kos.
“Kalau ada yang ambil harga termahal kan ada resiko nggak laku. Kalau ambil rentang terendah bisa saling membunuh antar pelaku (pemilik atau pengusaha kos),” katanya.
Belakangan, isu mengenai naiknya harga kos-kosan ramai dibicarakan oleh mahasiswa Unnes. Kebanyakan dari mereka mengeluhkan harga kos yang melonjak. Survei yang dilakukan Linikampus pada Juni lalu menunjukkn 86,1 persen harga kos-kosan mahasiswa naik.
Survei tersebut dilakukan pada 18–20 Mei dengan metode voluntary sampling. Targetnya adalah mahasiswa angkatan 2018–2022. Survei tersebut diisi oleh 408 responden. Kebanyakan dari mereka memilih periode sewa tahunan, dan mayoritas harga kosnya naik di rentang Rp500 ribu–1 Juta rupiah. Ketika Linikampus menanyakan rencana mereka ke depan, 51 persen menjawab akan berpindah kos, sedangkan sisanya akan tetap tinggal di kos yang sama walau harganya naik.
Sementara itu, pada 10–13 Agustus silam, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) Unnes juga melakukan survei mengenai kenaikan harga kos di sekitar Unnes. Adib Saifin Numan, Menteri Koordinator Pergerakan BEM KM Unnes, mengatakan data survei yang didapat masih dalam tahap pengolahan.
Beberapa mahasiswa menduga melonjaknya harga kos-kosan karena ulah makelar kos. Linikampus sudah menghubungi beberapa akun yang membuka jasa makelar kos, seperti @kosunnes.id dan @kos.unnes, yang memiliki pengikut lebih dari lima belas ribu, melalui narahubung yang dicantumkan di akun Instagram mereka pada awal Agustus lalu. Tapi hingga berita ini dipublikasikan, pesan tersebut tidak berbalas.
Prasetyo mengatakan keberadaan makelar yang meraup keuntungan dari jasanya memang hal yang lumrah. Ia menyarankan agar mahasiswa yang sudah mengenal area Unnes tidak menggunakan jasa mereka, jika tidak ingin mendapatkan kos dengan harga tinggi. Hal itu karena menurutnya, akses informasi mengenai kos sudah relatif terbuka. “Tapi ada orang yang gak mau ribet. Ada juga yang karena faktor terburu-buru. Ya sudah lah, ambil,” ujarnya.
Dengan harga kos yang sudah terlanjur tinggi seperti saat ini, Prasetyo mengatakan ada cara bagi mahasiswa untuk menyiasatinya. Misalnya saja dengan memilih tinggal di asrama yang sudah disediakan Unnes atau mencari kos yang letaknya di luar pusat kampus.
Menurutnya, semakin banyak mahasiswa yang mampu mencari alternatif, di saat itu pula harga kos dapat terkendali. Sebab, permintaan kos akan berkurang dan pengusaha kos sulit menaikan harga sewa lagi. “Demand-nya akan tertahan. Kalau mau naikin harga gak sudah masuk lagi,” pungkasnya.
Reporter: Adinan Rizfauzi
Editor: Khodijah Sefinda