Cerpen

Sesuatu yang Dimimpikan Seekor Anjing

Sesuatu yang Dimimpikan Seekor Anjing [ilustrator BP2M/ Lala Nilawanti]
Oleh Ahmad Abu Rifai
 
“Teman-teman, apa yang kalian mimpikan selama ini?” tanya seekor anjing tipe Anatolian Sheperd bernama Santiago. Dia sedang menikmati pagi di halaman sebuah rumah putih besar bersama lima temannya; Franko si kelinci, Mark si tikus hitam, Bob si merpati putih, George si kucing, dan Hercules yang sama-sama anjing namun berbadan lebih besar dari Santiago.
“Aku ingin bertemu dengan cinta sejatiku,” ucap Bob lembut sambil sedikit mengepakkan sayap putihnya.
“Kalau aku ingin jatah makanan sepanjang tahun sehingga aku tak perlu mencari di tong sampah rumah ini,” jawab Mark jujur.
“Itu sedikit rakus, Mark,” timpal Franko.
“Memang apa yang kau inginkan?” tanya Mark.
“Cukuplah kangkung di belakang rumah tumbuh subur.”
“Ah, itu sama saja.”
Sementara itu, George dan Hercules hanya menyimak obrolan kawan-kawan mereka. George memang seekor kucing pendiam, sementara itu Hercules adalah pendatang baru yang masih menyesuaikan diri dengan lingkungan, termasuk teman-temannya. Majikan Hercules—yang juga majikan Santiago—baru membelinya dari seorang mantan perwira tinggi kepolisian pekan lalu. Menurut Santiago, Tuan Dylan membeli Hercules untuk menemaninya menjaga rumah.
“Kalau kamu memimpikan apa, George?” tanya Santiago.
George tampak cukup bingung. “Emm.. aku hanya ingin terus berkawan dengan kalian dan tuan sehat.”
“Hanya itu?” pancing Santiago.
“Itu karena dia sudah punya segalanya. Tuannya, yang juga tuanmu sudah mencukupi kehidupannya; makanan, kandang berbentuk rumah yang bersih nan mewah, perawatan kuku dan bulu. Bahkan George lebih terawat daripada kau yang tiap hari harus menjaga rumahnya, Santiago,” sindir Mark. Dia memang sudah menaruh sinisme dan rasa sebal kepada George dari dulu. George selalu menggagalkan usahanya mencuri makanan di dalam rumah. Dia masih ingat bahwa muka George yang imut dengan bulu-bulu putih halus khas kucing persia itu tiba-tiba berubah garang saat dia hendak mencuri sepotong paha ayam di atas meja dapur.
“Ayolah, itu cuma sepotong,” kilah Mark kala itu.
“Tetap saja itu bukan punyamu! Kalau kau bukan temanku dan andai aku adalah kucing jalanan yang kurang pangan, kau akan jadi santapanku,” balas George sambil menampakkan dua taringnya yang tajam, “untunglah Tuan memberikanku makanan lebih dari cukup. Kau selamat, Mark.”
“Ah, sudah, sudah. Cukup, Mark. Lalu Hercules, apa mimpimu?” ucap Santiago memoderasi dialog. Posisinya sebagai anjing kesayangan pemilik rumah dan punya kekuatan besar membuatnya disegani.
“Oh, aku.. aku hanya ingin setia menjaga rumah tuan,” jawab anjing tipe English Mastiff itu. Rupa-rupanya nalurinya sebagai anjing penjaga begitu kuat.
Semua diam sejenak.
“Ah, lalu kau sendiri, Santiago? Apa mimpimu?” tanya Bob.
“Aku ingin jadi manusia!” balas Santiago tegas sambil menegakkan kepala.
“Itu bahkan lebih rakus daripada Mark!” sahut Franko.
“Kenapa kau ingin jadi manusia, Santiago?”
“Entahlah. Aku hanya merasa menjadi binatang terlalu membosankan. Ada banyak hal yang tak bisa kita kerjakan tapi manusia bisa.”
“Kita punya kehidupan sendiri, Santiago. Manusia tak bisa terbang sepertiku atau menggonggong sepertimu,” Bob mengingatkan.
“Yang jelas itu mimpiku. Setidak-tidaknya, aku ingin manusia hilang dari muka bumi.”
“Lalu bagaimana dengan Tuan Dylan?” Hercules tampak merasa terpanggil untuk ikut memperbincangkan mimpi Santiago.
“Kau hanya belum bosan dengannya. Sejujurnya aku juga sudah cukup muak berada di bawah kendalinya tiap hari.”
Hercules dan binatang-binatang lain sama sekali tak punya tanggapan untuk pernyataan Santiago. Tak lama setelah itu perbincangan pun berakhir. Bob mencari merpati betina, Franko menuju belakang rumah, Mark mencari makanan di tong sampah untuk istrinya yang baru dikawin lima hari lalu, dan Hercules berdiri seolah tanpa lelah di sekitar gerbang rumah. Sementara itu, Santiago sendiri berjalan pelan mengelilingi rumah memikirkan impiannya. Andai saja mimpinya terwujud, pasti kehidupannya lebih berarti. Peradaban hewan pasti juga lebih maju.
Santiago kemudian masuk ke dalam kandang. Memikirkan impiannya ternyata melelahkan. Meski begitu, ia masih merenungkan saat ia bisa jadi manusia. Dia pasti bisa seperti tuannya; membawa pasangan jenis berbeda tiap minggu, naik kendaraan ke manapun, makan apa saja sampai perut tak kuat menampung. Ah, betapa indah. Namun itu lagi-lagi hanya mimpi. Santiago akhirnya terlelap.
Malam itu pun habis ditelan matahari. Santiago, seperti biasa, terbangun pukul enam pagi. Namun ia kaget karena berada di dalam sebuah kamar besar yang penuh dengan ukiran berwarna emas. Apakah aku dipindah seseorang saat tertidur pulas? Atau masihkah aku dalam mimpi? rekanya. Dia pun menggerakkan empat kaki hitamnya menjelajahi ruangan. Betapa kamar tersebut seperti surga jika ia bandingkan dengan kandangnya.
“Santiago,” panggil seekor anjing betina. Santiago menatapnya dengan heran.
“Oh, Jane, bagaimana kamu bisa di sini?” Santiago masih tak habis pikir bahwa Jane, anjing yang dia sukai sejak di toko anjing, sekarang berada dalam satu ruangan bersamanya.
“Kau bicara apa? Kita sudah hidup bersama di sini bertahun-tahun.” Jane menunjukkan kaki kanan depannya. Ada cincin emas yang melingkar di salah satu jari.
Kebingungan Santiago membuatnya merasa tak perlu bicara lebih lanjut meski dengan anjing yang masih ia suka. Ia menggeser korden ungu, melihat ke luar lewat sebuah jendela besar. Rupanya ia sedang berada di lantai dua. Ia melihat ke bawah, ada Hercules, George, dan Mark di pinggir mobil Tuan Dylan.
“Mandilah,” kata Jane. Santiago tak menggubris ucapan itu. Ia berjalan ke luar kamar menghampiri tiga kawannya. Ia turun lewat tangga yang berkelok. Tangga yang kerap digunakan tuannya dan manusia lain untuk naik atau turun dari lantai dua. Ia menolehkan kepala ke kanan-kiri; tak ada sama sekali manusia.
“Mark, katakan apa yang terjadi,” kata Santiago. Dari ketiga kawannya, Mark memang paling cerdas. Ia barangkali bisa menjelaskan semua.
“Maksudmu jadwalmu hari ini, Pak?” respon Mark.
“Kau gila, ya? Jadwal apa?”
“Hari ini kau harus bertemu dengan Wali Kota dan mengunjungi kantor cabang,” sahut George.
“Ha? Mana Tuan Dylan? Mana manusia lain?”
“Siapa Tuan Dylan, Pak? Maaf, Pak, apakah Anda masih mabuk? Kita semua adalah manusia.”
“Aku anjing, Mark, sama seperti Hercules. Kau tikus, George kucing.”
“Tentu saja kita berasal dari suku berbeda, Pak.”
Maka Santiago perlahan mulai menyadari yang terjadi. Mimpinya kini sudah terwujud. Manusia dalam istilah lama telah lenyap dari permukaan. Kini, meski secara fisik ia dan teman-temannya masih berbentuk binatang seperti dulu, merekalah penyandang status manusia dalam istilah baru—makhluk tertinggi dalam komunitas. Ia tak mau memusingkan hal gila apa yang terjadi tadi malam. Yang jelas, kini mimpinya telah jadi nyata.
Dengan senang hati Santiago menjalani harinya. Ia sadar ialah pemilik sebuah perusahaan besar dengan cabang-cabang di berbagai kota. Mark adalah manajernya, George sekretaris, Hercules kepala staf pengaman, dan tentu Jane adalah istrinya. Ia penasaran, jadi apa Bob dan Franko? Awalnya ia ingin bertanya pada Mark, namun ia urungkan agar tak dikira mabuk—atau bahkan amnesia.
Rombongan Santiago berhenti di sebuah gedung sepuluh lantai di pusat kota. Mereka satu per satu turun. Hercules mengawal Santiago yang berjalan paling depan. Di dalam gedung, banyak awak pers telah menanti.
“Pak, apakah Anda akan maju menjadi wakil gubernur?” tanya mereka. Ia terus diberondong dengan berbagai pertanyaan tanpa henti. Di sana, Santiago bertemu dengan Bob. Dia ternyata staf media dan komunikasinya.
“Tak perlu menjawab, Pak. Silakan langsung menemui Gubernur,” sarannya sedikit berbisik.
Santiago masuk ke sebuah ruangan besar dengan meja persegi panjang penuh makanan. Seekor tikus berbulu hitam dan gendut langsung berdiri menyambutnya.
“Selamat datang, Pak Santiago.” Mereka berdua berjabat tangan lalu duduk.
Kemudian yang hadir di meja makan bukanlah suara gemerincing sendok bertemu piring, melainkan obrolan soal pemilihan gubernur yang hendak dihelat beberapa bulan lagi.
“Bagaimana soal tawaran kemarin, Pak?” tanya Wali Kota.
“Tawaran yang mana, Tuan?” Santiago benar-benar tak tahu.
“Ah, Anda ini benar-benar suka bercanda.”
Mark kemudian mendekatkan mulutnya di telinga Santiago, “Kemarin Wali Kota menawari Anda posisi wakil wali kota, Pak.”
Santiago mengangguk.
“Bagaimana, Pak? Agar bisa menang, kami membutuhkan bantuan Anda. Partai membutuhkan banyak uang untuk kampanye. Saya rasa selain mampu menyumbang anggaran, Anda juga memiliki modal cukup untuk terjun ke dunia politik. Anda tak perlu khawatir rugi. Setelah pemilihan, Anda bisa sesuka hati mengembangkan perusahaan. Toh izin nanti berada di tangan kita sendiri.”
Sebetulnya Santiago kurang mengerti kata-kata Wali Kota. Ia memandang Mark, lalu dengan sedikit anggukan akhirnya ia dan wali kota pun berjabat tangan. Berminggu-minggu kemudian Santiago sudah mulai bisa paham semua dan hampir tak pernah bisa sehari penuh di rumah. Ia selalu keluar, baik untuk urusan kampanye atau pengecekan perusahaan. Belakangan, karena kampanye ia rasa lebih penting, ia memercayakan urusan perusahaan pada Franko.
Investasi tersebut tak sia-sia. Mereka berhasil menang di pemilihan wali kota. Sekarang tongkat jabatan sudah berada di tangan Santiago. Kehidupannya pun jadi jauh lebih maju karena ia sama sekali bebas memperluas perusahaan. Gaya hidup Santiago kian mewah. Sebulan sekali setidaknya ia pergi melancong ke luar negeri bersama sederetan artis dalam negeri. Sebagai istri, Jane tentu protes karena ia merasa sama sekali tak berharga.
“Kau tak bisa terus begitu, Santiago!” tegasnya. Santiago tak peduli lagi. Cinta telah pergi, dan Jane juga memutuskan angkat kaki dari hatinya.
Melihat perpisahan itu Bob merasa begitu berduka. Ia yang belum menemukan tambatan hati menganggap Santiago begitu tega. “Dia sudah bertahun-tahun denganmu, Pak. Itu pasti menyakitkan,” lirihnya.
“Kau lebih baik mengurusi orang-orang cerewet itu, Bob.”
Orang-orang cerewet yang dimaksud Santiago adalah pihak oposisi yang masih sakit hati karena kekalahan tempo hari. Mereka terus-terusan mengkritik Wali Kota dan tentu saja Santiago. Sebagai balasan, ia memerintahkan Bob untuk mengendalikan media. Ia membuat kabar bohong, fitnah, dan berita-berita tendensius yang bisa menggiring opini masyarakat. Bob sebetulnya masih bisa melakukan perbuatan kotor itu, namun ia benar-benar muak saat melihat perlakuan Santiago pada Jane.
“Urus saja sendiri! Aku keluar!” Bob terbang menjauh. Namun belum sempat mencapai pintu, kaki depan Hercules menangkap tubuhnya. Dia tewas saat cakar tajam Santiago menusuk lehernya.
Kejahatan Santiago tak berhenti di situ. Karena keuntungan perusahaannya anjlok, Santiago memecat banyak karyawan termasuk Franko—atas bujukan Mark—dan mulai makan anggaran kota. George yang awalnya menolak perbuatan itu, langsung ia bungkam dengan cara dibunuh. Teman-teman mantan binatangnya yang tersisa hanyalah Mark dan Hercules.
“Mark, apakah aku kelewatan?” tanya Santiago suatu malam.
“Tidak. Andai saja jika Bob dan George masih hidup, kau akan tamat.”
Hercules, seperti biasa, hanya diam tak ikut bicara.
Setelah itu Mark dan Hercules meninggalkan Santiago. Sejujurnya anjing itu sedang stres. Ia mulai memikirkan Jane. Tak seharusnya ia meninggalkan anjing betina yang sudah ia cinta sejak berada di toko itu. Hasrat sementara telah menyesatkannya.
Berhari-hari Santiago berdiam di rumah dan tak mau makan sedikitpun. Jadwal kantor tak ia pedulikan, perusahaan kian tak terurus. Sepanjang hari, yang ia pikirkan hanyalah Jane, George yang dulu selalu akrab dengannya, Bob dengan nasihat-nasihatnya, dan Franko yang suka melucu.
“Kau tak bisa terus seperti ini, Santiago!” ujar Mark. Santiago diam. Matanya seolah kehilangan cahaya.
“Kau sepertinya memang sudah tua dan tak bisa menangani semua ini lagi.”
“Kita salah, Mark! Kita telah membunuh orang-orang tak bersalah!” teriak Santiago setengah dipaksa.
“Omong kosong kau! Jika kau tak sanggup, aku akan ambil alih semua!” Dengan secepat kilat Hercules menerjang Santiago yang lemah daya. Wajah anjing itu begitu garang. Santiago tak pernah melihatnya seperti itu. Tanpa aba-aba, cakar dan taringnya langsung menyasar leher Santiago.
Dengan sisa tenaga, Santiago meronta-ronta dan berteriak, “Jangan, Hercules… Hentikan! Hentikan!” Santiago tetap tak bisa lepas dari cengkeraman. Dan tiba-tiba semua gelap. Ia terus berusaha berteriak.
“Santiago, ada apa?” tanya George, “kau terus berteriak dan menabrakkan kaki-kakimu ke dinding kandang. Anjing itu membuka mata.
“George, kau masih hidup?” Sinar matahari membuat air mata Santiago terlihat jelas. “Di mana Franko dan Bob?”
“Franko di belakang rumah. Bob mencari pasangan. Ada apa denganmu, Santiago?”
“George, sekarang aku tak ingin menjadi manusia.” {}
Mahasiswa Sastra Inggris Unnes 2016
Aktif di Nesatopia.com

Comment here