Quo Vadis Sentralisasi Pemilu
Opini

Quo Vadis Sentralisasi Pemilu

Oleh Ahmad Abu Rifa’i

Mendekati pemilihan umum, saya menduga masyarakat belum punya bekal cukup untuk memilih. Bukan maksud saya merendahkan. Hanya saja, pemilu bukan cuma soal dua pasangan calon presiden, sementara orang-orang terlalu sibuk menggosipkan Jokowi-Amin dan Prabowo Sandi—calon-calon legislatif terabaikan.

Saya tak pernah melihat teman-teman di kampung membicarakan caleg sekali pun. Mengobrolkan saja tidak, apalagi sampai pawai hingga mengganggu pengguna jalan lain. Saya juga tak pernah mendengar kawan-kawan mahasiswa mendiskusikan caleg untuk pusat atau daerah masing-masing. Tak pernah. Sama seperti pengamat politik di dunia maya—kita menyebutnya warganet, mereka terlalu sibuk menyoal dua pasangan capres-cawapres. Diskusi proses pemerintahan negara akan bagaimana di tangan (calon) punggawa legislatif hampir tak pernah muncul ke permukaan—kalau tidak mau menyebut tak ada sama sekali. Padahal, dalam pemilu tahun ini, kita juga akan memilih 575 anggota DPR RI, 136 anggota DPD, 2.207 anggota DPR Provinsi, serta 17.610 anggota DPRD Kota/Kabupaten.

Kegelisahan ini ternyata bukan saya saja yang mengalami; Fahri Hamzah merasakan hal sama. Beberapa hari lalu (5 April 2019), dia mengkritik pedas Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurut Wakil Ketua DPR RI yang vokal itu, KPU gagal karena terlalu fokus pada pilpres, padahal pemilu juga soal pileg.

Apakah dugaan saya dan Fahri benar?

Survei Charta Politika menunjukkan, pileg kali ini cenderung diabaikan masyarakat karena euforia pilpres. Berdasarkan wawancara dengan para responden, sebanyak 75,4 persen memilih mencoblos calon presiden-wapres terlebih dahulu. Persentase sisanya: 2,2 persen mencoblos DPD RI, 1,1 persen memilih DPR Provinsi, 1,4 persen DPR RI, dan 8,1 persen mencoblos DPRD Kota/Kabupaten. Temuan ini, menurut Direktur Riset Charta Politika Muslimin, mengindikasikan perhatian yang begitu terfokus pada pilpres. Hanya sedikit yang menaruh perhatian pada kontestasi legislatif. Pertanyaannya kemudian: bagaimana hal ini bisa terjadi?

Banalitas Jokowi vs Prabowo

Kita barangkali berpikiran: pemilihan presiden dan wakil presiden wajar meraup atensi (jauh lebih) tinggi. Presiden adalah orang nomor satu di Indonesia, sementara wakilnya nomor dua. Ketika pergi ke mana pun, yang ditanyakan adalah presiden, bukan tokoh legislatif. Dalam tata pemerintahan presidensial sekarang, presiden paling penting.

Itulah alasan pileg tidak begitu diperhatikan, tetapi bukan satu-satunya. Jika kita mengikuti arus politik sejak lima tahun silam, maka ada jawaban yang lebih mendasar, yakni rivalitas dua kubu: Jokowi dan Prabowo.

Pilpres 2014 berlangsung begitu panas. Jika sekarang kita teramat jenuh dengan kampanye negatif menggunakan hoaks dan fitnah, maka kekesalan itu bukan hanya karena pemilu tahun ini, melainkan juga akumulasi dari lima tahun lalu. Perseteruan takhta kala itu berhasil diproduksi besar-besaran; untuk jangka waktu panjang, masyarakat dibuat mengingat dan memandang, politik Indonesia hanya soal Prabowo dan Jokowi.

Kita tentu masih ingat pemilihan gubernur DKI Jakarta 2016. Kita tidak hanya melihat pilgub itu semata-mata pertarungan Anies vs Basuki, melainkan juga Prabowo vs Jokowi yang dianggap aktor besar di belakang layar. Sebagian orang malah berpandangan, dua orang itulah yang sebenarnya aktor utama; Anies dan Basuki hanyalah tokoh cameo. Maka dua tahun lalu, keluarlah “fatwa”: kemenangan Anies adalah kemenangan Prabowo, sementara kekalahan Basuki bermakna kekalahan Jokowi.

Reproduksi wacana banal dan massif itulah yang bergulir hingga kini, saat dua tokoh besar itu bertemu lagi dalam pilpres. Mereka sesungguhnya tidak membuat perseteruan baru, melainkan melanjutkan kompetisi yang telah dimulai sejak tahun 2014. Akibatnya, pemilu tersentralisasi. Seluruh tenaga masyarakat dikerahkan hanya untuk membidik Jokowi dan Prabowo, seolah pemerintahan Indonesia hanya tentang presiden, tidak ada lembaga lain pembuat kebijakan yang menentukan kesejahteraan masyarakat.

Dalam jangka pendek, sentralisasi ini mengganggu pemilu 2019. Dalam jangka waktu lebih panjang, sentralisasi melestarikan kegaduhan dua kubu.

Baca juga: Membangun (Narasi) Kecemasan

Celah Kecurangan dan Penyalahgunaan Kekuasaan

Ketidakpedulian masyarakat pada pemilihan legislatif juga membuka lebar peluang pelanggaran, terutama soal politik uang. Ray Rangkuti, Direktur Lingkar Madani Indonesia, mengatakan masyarakat yang terlalu fokus pada pilpres membuat politik uang merajalela. Saya setuju dengan Ray, karena saya melihat sendiri: para tetangga dan kawan saya mulai mendapatkan serangan fajar, dan tak ada satu pun protes sedangkan pada saat sama, banyak dari mereka vokal jika calon presiden yang tak didukung melakukan kesalahan. Inilah pula yang tidak saya temukan di media sosial. Tak ada viral.

Kontradiksi ini ironis. Pertama, masyarakat terjatuh pada sikap standar ganda. Kedua, pileg tak menghasilkan apa-apa kecuali transaksi uang dan anggota politik yang tidak kompeten.

Harusnya kita sadar, DPR dan DPD begitu penting. Mari kita mengingat cuplikan pelajaran saat SD: salah satu tugas DPD yakni mengusulkan UU berkaitan otonomi daerah dan mengawasi. DPR lebih jauh, yakni berkuasa dalam pembentukan UU, menyetujui peraturan dari presiden terkait peraturan pemerintah sebagai pengganti UU, juga menyetujui keputusan presiden soal hal-hal besar seperti perang. Singkat kata: hubungan presiden dengan DPR erat; kebijakan presiden takkan diterapkan tanpa persetujuan mereka.

Melihat keterkaitan itu, masihkah kita tidak peduli pada pemilu legislatif? Masih ada seminggu menuju pemilu. Saya percaya kita bisa memanfaatkannya dengan baik untuk memilih anggota legislatif. Jika tidak, maka budaya buruk akan terus berlanjut. Tentu bukan valentine. Valentine bukan budaya kita; budaya kita adalah tidur saat rapat Undang-Undang, presensi meski tidak hadir rapat, dan plesiran pakai uang negara! Eh…

*Takmir Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa Unnes

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *