GazeboWacana

17 April, Aku Harus “Ngapain”?

Oleh : Ivan Nur Aziz

Menuju 17 April, kawan-kawanku sudah banyak yang dengan sangat bangga mendukung calon (pemimpin) masing-masing. Mereka semua akan datang bersuka cita, melakukan apa saja penuh keyakinan.

Namun hal tersebut sangat berbeda denganku. Entahlah. Apakah sikapku ini apatis, tidak nasionalis, atau bahkan pengecut. Sungguh aku tidak mengerti. Aku tak tahu harus bagaimana, sedangkan di sekelilingku banyak orang sudah berani bersikap dan sudah tau harus berbuat apa. Bahkan aku sering dikatakan seorang mahasiswa pengecut yang hanya sering demo tetapi tidak mau memilih. Mereka mengatakan, aku pengecut yang hanya berani berbicara lantang di jalanan, sementara ketika ada momen untuk melakukan perubahan, justru aku diam dan bungkam.

Banyak pula orang bilang: aku yang sering bersuara lantang soal demokratisasi kampus malah diam saat pesta demokrasi (katanya). Aku seakan berubah jadi kucing rumahan.

Pernah sekali waktu aku menyangkal ucapan beberapa kawanku tersebut, bahwasannya tak memilih bukan berarti tak peduli. Aku hanya bingung memilih siapa dengan pertimbangan apa. Mungkin banyak yang berkata jangan pilih kubu 02 karena kasus pelanggaran HAM, tetapi faktanya, di kubu 01 pun ada juga beberapa orang yang terlibat dalam kasus tersebut.

Baca Juga : Meneguhkan Eksistensi Kampung di Era Modernisasi

Tiba-tiba aku mengingat perdebatan pasangan calon wakil presiden yang bertemakan pendidikan beberapa waktu lalu. Aku merenung. Menurutku, tidak ada satu pun yang berpihak pada pendidikan berkualitas guna membangun manusia madani. Keduanya justru hanya berpihak pada industri dengan berlomba-lomba mengemukakan retorika pendidikan yang harus relevan dengan kebutuhan industri. Dari perenungan itu, lagi-lagi aku tidak menemukan jawaban untuk memilih siapa.

Aku mencari beberapa referensi rekam jejak dan latar belakang kedua pasangan calon. Yang aku temui justru membuatku semakin bingung; mereka tak berpihak pada rakyat.

Paslon nomor satu misalnya, selalu membanggakan pembangunan infrastrukturnya yang tidak menyebabkan satu pun konflik kepada rakyat. Namun fakta menunjukkan: banyak pembangunan yang disertai konflik dan kriminalisasi kepada aktivis lingkungan. Contoh kasusnya adalah Budi Pego yang memperjuangkan daerah Tumpang Pitu di Banyuwangi. Setelah ditelusuri, pertambangan tersebut ternyata anak perusahaan yang didirikan calon nomor dua. Rupanya, paslon satu dan dua sama; sama-sama melanggengkan oligarki tambang. Sial. Pencarianku ini membuatku semakin bungkam.

Aku berpikir lagi soal demokrasi dan toleransi. Mereka sama: memiliki rekam jejak yang menciderai demokrasi dan toleransi. Hal tersebut membuatku semakin tersungkur. Bungkam.

Kebingunganku semakin mendalam, pasalnya aku tak hanya harus menentukan jabatan tertinggi eksekutif, tetapi harus memilih wakil rakyat (kata kebanyakan orang) yang akan melenggang ke Senayan dan daerah lain. Sebenarnya ada yang cukup menarik dalam memilih mana partai atau wakil rakyat yang akan mewakiliku. Aku melihat ada beberapa partai pendatang yang membuat aku sedikit tercerahkan. Mereka cukup vokal menyuarakan kesetaraan gender, penolakan kekerasan seksual, dan mendukung RUU PKS. Bahkan partai tersebut baru-baru ini mengunggah pernyataan tentang orang-orang golput. Menurut mereka, golput disebabkan karena sudah kehilangan kepercayaan terhadap partai lama.

Hal tersebut memang membuatku sedikit tercerahkan, tetapi ada pertanyaan lain muncul: bagaimana keberpihakan mereka pada pendidikan merata dan terjangkau? Bagaimana pula sikap mereka tentang pasal Undang-Undang Perdagangan yang salah satu pasalnya—pasal 4 ayat 2 UU No 7 Tahun 2014—menyebut pendidikan merupakan jasa yang diperjualbelikan?

Baca Juga : Quo Vadis Sentralisasi Pemilu

Pertanyaanku itu justru membuatku kembali bungkam sebab ia tak terjawab; tak ada respon saat aku bertanya di akun resmi partai. Ah sialan, sama saja! Yang baru ataupun lama sukanya nyakitin.

Lantas apa yang harus aku lakukan 17 April mendatang? Agar aku tak dikatakan orang apatis, tidak nasionalis, dan pengecut.

Seketika aku mendapatkan wangsit dalam renunganku di sebuah bilik yang membuat perut mulesku plong. Agar aku tak dikatakan demikian, aku harus tetap datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan mencoblos semua pasangan calon dan semua partai. Pikirku, aku akan adil sejak dalam TPS.

Renunganku tersebutlah yang membuat aku tidak lagi bungkam dan diam, tetapi aku akan datang ke TPS dengan penuh suka cita untuk menegaskan sikapku, yaitu “Adil sejak dalam TPS”.

Salam setengah merdeka!
                                                                   *Mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah 2016

Comment here