Kabar

Chanda; Sebuah Refleksi

Jika zaman berubah, pengetahuan makin dinamis, bagaimana kita menghadapi dengan segala macam konsekuensinya?

Panggung petunjukan itu bersih. Tak ada properti apapun yang terlihat untuk sekadar membocorkan pertunjukan macam apa yang akan disajikan kepada penonton. Hanya beberapa gantungan baju berjejer di punggung panggung yang disorot lampu yang agak redup menuju remang. Tak  ada backstage. Hanya ada dua backdrop di sayap kanan dan sayap kiri yang menutupi sekitar tiga puluh persen bagian panggung, yang mungkin memiliki fungsi ganda sebagai backstage sekaligus properti. Cukup minimalis dan tentu mengundang banyak tanya: pertunjukan macam apa yang akan dibawakan Teater Kuncup Mekar Kudus di Ruang  seluas Lapangan Futsal Gedung PKMU Lantai 2, Universitas Negeri Semarang, pada Sabtu malam, di penghujung bulan November, kemarin?

Setelah dibuka dengan penampilan musik dan seremonial sambutan, pementasan pun dimulai.  Pertunjukan dimulai dengan simbolik dan sedikit kesan teror. Kesebelas pemain menutup diri dengan sarung, sedangkan satu sisanya membalut diri dengan sarung—seperti seorang bayi yang dibedong.

“Pernyataan ini memang sudah terulang-ulang dilontarkan. Sebenarnya ini bukan teror. Ini mungkin semacam pengalihan perhatian penonton. Bukanya pertunjukan yang baik dilihat dari dua menit pertama? Ya, kami hanya ingin bermain-main dengan itu” begitu kiranya Arfin, salah satu pemain saat ditanyakan hal yang sama oleh penonton dalam diskusi terbuka usai pementasan, pada Sabtu (30/11) .

Pementasan ini memakan durasi sedikitnya satu jam, dengan alur yang patah-patah dan memuat beberapa adegan simbolik, namun tetap berusaha artistik dan estetik. Sebuah pementasan yang mampu menjadi refleksi dan alarm pengingat tentang masa kanak-kanak kita pada masa dahulu dan sekarang. Bagaimana anak-anak sekarang dihadapkan dengan berbagai macam kemudahan teknologi yang modern, jauh dari kehidupan agraris, dekat dengan produk-produk industri, minim berkelompok, cenderung individual, serta jauh dari alam.

Baca juga: Membaca Sisi Lain Sepak Bola

Salah satu bentuk refleksi pementasan masa kanak-kanak sekarang yang dilakukan Teater Kuncup Mekar Kudus (30/11) Dok/BP2M

Pementasan yang disutradarai oleh Joy ini bercerita tentang lika-liku kehidupan anak-anak zaman sekarang dengan berbagai macam permasalahannya. Mulai dari minimnya tempat bermain, emosi yang cenderung tidak terkontrol, permasalahan keluarga, debat menentukan jalan pulang yang benar, hingga kasus kekerasan pada anak dan permasalahan anak hilang karena kelalaian orang tua.

“Melihat pementasan ini, mengingatkan saya akan buku  Karya Yuval Noah Harari, Sapiens; Sejarah Ringkas Umat Manusia dari Zaman Batu Hingga Perkiraan Kepunahannya. Bagaimana kita juga berfikir ulang tentang zaman yang seba dinamis ini. Bagaimanapun, pementasan ini adalah hal yang membuat kita mengingat akan gal-hal yang belum selesai,” kata Isti, Mahasiswi Sastra Indonesia yang kebetulan ikut menonton pertunjukan tersebut.

Sementara itu, pementasan teater yang diperankan oleh Hendrix, Daus, Ali, Agung, Arbi, Karjo, Joy, Eko, Alfian, Mutia, Aisyah, dan Rola juga merupakan hasil kolaborasi singkat dengan Teater SS Universitas Negeri Semarang. Rencananya, pementasan yang menggunakan Naskah karya tim penulis Teater Kuncup Mekar akan melakukan tur pentas di kota Surakarta dan Yogya karta pada tanggal 7 dan 14 Desember Mendatang.

“Meski pementasannya telah usai, tapi dalam berkarya tidak pernah selesai!” tandas Itsna Amalia, Pimpinan Produksi pementasan tersebut.

Reporter : Afsana N. M. Z.

Comment here