Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Uncategorized

Mengintip Keseharian “Pahlawan” Konservasi

PAGI adalah syukur. Mitologi apa pun mengajarkan untuk bersyukur ketika masih bisa bangun di pagi hari. Artinya, masih diberi kesempatan bekerja, malakukan kebaikan, atau sekadar menikmati apa yang Tuhan berikan.

Ketika pagi menjelang, jalanan Unnes masih lengang. Dosen atau mahasiswa belum memulai kegiatan di kampus. Bahkan ada beberapa dari mahasiswa masih tertidur pulas. Sebab malamnya, menghadiri hajat “nongkrong” di warung kopi, atau mungkin mengerjakan tugas hingga larut.

Saat pagi itulah para pekerja kebersihan fasilitas kampus sudah bergegas hadir, menyulap sampah hari sebelumnya agar hilang. Sriyatun, petugas kebersihan gedung E4 mengaku mesti bangun jam 3 pagi. “Selesai memasak, saya berangkat ke Unnes jam 5 dan membawa bekal sendiri,” kata perempuan yang sudah bekerja di Unnes selama 16 tahun.
Mangacu fakta, cukup banyak sampah yang dihasilkan Unnes. Setiap minggu, rata-rata 111 meter kubik sampah dihasilkan. Berbekal sapu lidi, kain pel, caping dan beberapa alat kebersihan, mereka siap memulai pagi untuk memberi kenyamanan bagi sivitas akademika Unnes.

Unnes yang mengusung Konservasi ini memang tidak bisa lepas dari peran mereka. Soal kesejahteraan, jangan tanyakan! Setelah mereka selesai dengan tugasnya, sebagian dari mereka menghabiskan waktu kerjanya di emperan, di ruang yang tidak terpakai, bahkan shalat pun mesti di kamar mandi. “Sebenarnya,” lanjut Sriyatun, ”ada tempat salat di ruang dosen. Tetapi mau shalat di sana malu.”

Hal menarik, saat istirahat siang, beberapa dari mereka membawa bekal makan, dan siap menyantap sembari bercengkrama bersama rekan lainnya.
Barangkali, sebagian dari kita kurang begitu memahami, bahwa Unnes yang “indah” ini bisa enak dipandang atas campur tangan mereka. Kita–meminjam ungkapan para mafia–seperti bos, tinggal terima jadi. Memang secara peran, tugas para petugas kebersihan itu bersih-bersih. Namun sepertinya kita juga lalai, bahwa kita lah yang menyebabkan mereka mesti bekerja keras. Akibat sampah yang kita produksi.

Foto cerita ini bukan sebuah argumen untuk mencari mana yang benar atau salah. Tapi hanya sekadar cerita saja bahwa di sekitar kita banyak sisi menarik yang menjadikan hidup lebih berarti. Hidup berarti bagi sebagian orang adalah ketika mampu memahami yang lain.

Foto dan Teks: Aditya Rustama

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *