LINIKAMPUS Blog Uncategorized Memaknai Rumah dari Kerinduan Gita
Uncategorized

Memaknai Rumah dari Kerinduan Gita

Gita Gutawa RUmahku
Gita Gutawa, pencipta sekaligus komposer lagu Rumahku yang menjadi single di album The Next Chapter (Dok. BP2M Irkham)
       
            Rumahku adalah kamu
            Tempat hatiku berlabuh Sepi disini
tanpamu
            Rumahku adalah kamu
            Ohh aku ingin pulang bersamamu aku
tenang
                                                            [Penggalan
lirik lagu Rumahku—Gita Gutawa]
Rumahku, sebuah kata yang diambil
Gita Gutawa untuk judul single lagu di album The Next Chapter ini mengungkapkan
kerinduannya yang harus terpisah jarak dengan keluarga yang selama ini telah
menilaskan berbagai macam kenangan. Jarak, ruang, dan waktu memisahkan ragawi
dan kenangan. Kemudian seakan berontak untuk melepaskan keinginannya mendekat,
mendekap, dan memeluk rumah.
Rumah, sebuah bangunan berbentuk
simetris yang dibangun bukan hanya oleh campuran material batu bata dan semen,
namun juga dibangun oleh cinta, harapan, kenangan. Pondasi rumah bukan hanya
soal batu, namun juga hati yang telah terpaut begitu rekat. Dan atap yang bukan
saja terbuat dari genting terbaik, namun juga dilindungi oleh setiap nasihat
dan harapan untuk melindungi penghuninya dari setiap godaan penyimpangan.
Curahan pikiran tersebut akhirnya
bermuara pada lahirnya lagu yang selama beberapa waktu mengudara. Gita mencipta
lagu “Rumahku” sebagai ruang katarsis perasaannya sebagai anak yang telah
dibesarkan oleh keluarga dan rumah. Melalui lantunan nada yang manis, Gita ingin berbagi pesan
bahwa ia begitu merindukan rumah, kotak ajaib yang menjadi tempat memulai dan
sekaligus menjadi tempat kembali. Rumah bukan sekadar sebagai bangunan fisik,
lebih dari itu, rumah layaknya kaset yang merekam segala bentuk kesedihan,
kebahagiaan, harapan, dan jembatan kasih sayang antar anak dan orang tua.
Tempat memulai langkah, tempat hati berlabuh, dan tempat untuk pulang.

Keluarga
dan Rumah

Keluarga adalah habitus pertama
manusia memulai kehidupan. Keluarga pula menjadi awal muasal relasi kemanusiaan
untuk mencipta peradaban. Tak heran jika Gustavo Arkaf menanyakan, “Apakah
institusi tertua di dunia?”. Dia—Arkaf—menyatakan dengan tegas, “Keluarga!”
Keluarga begitu penting dalam
membangun kualitas seorang manusia ke depan. William Bennett, pakar pendidikan
dalam bukunya Moral Literacy and The Formation of Character: Moral Character
and Civil Education in the Elementary School (1991) mengatakan keluarga adalah
lingkungan paling afektif dan efektif tempat anak mendapatkan berbagai aspek
pendidikan yang mendasar. Apabila keluarga gagal menanamkan kejujuran,
keberanian, dan semangat ingin maju, serta kemampuan-kemampuan mendasar
lainnya, akan semakin sulit bagi lembaga pendidikan lain memperbaikinya.
Gita terlahir dari keluarga musisi,
selain bakat alami turunan ayahanda, peran keluarga terutama ayahnya—Erwin
Gutawa—besar membangun semangat dan kemampuan dalam bermusik Gita. Rumah dan
keluarga padu membangun kualitas pribadi Gita. Memberikannya berbagai macam hal
sebagai bekal hidup.
Rumah menjadi ruang pelindung
sekaligus memori rekam peran keluarga membangun kehidupannya. Rumah sangat
penting adanya untuk keluarga. Keluarga tanpa rumah, timpang dan rumah tanpa
keluarga, kosong. “Keluarga dan rumah ibarat dua sisi mata uang, semestinya
satu paket tidak terpisahkan.” (Gustavo Arkaf).
Memaknai
Rumah

Di era sekarang, rumah telah menjadi
materi yang dihitung dengan nominal. Rumah telah lazim menjadi bagian dari alat
investasi. Rumah menjadi barang dagangan yang menerjemahkan uang sebagai
identitas kekayaan seseorang.
Ini berbeda dengan keyakinan
kolektif orang Jawa. Dalam bahasa Jawa, rumah biasa disebut omah. Omah juga
disinonimkan dengan kata “dalem”. Dalem bermakna “diri, aku, atau saya”. Rumah,
bagi orang Jawa bukan sekadar merepresentasikan sifat keakuan dalam arti
psikologis, rumah juga merupakan rekaman atas segala bentuk identitas personal,
kenangan masa lampau, dan harapan akan masa depan. Rumah serupa kotak ajaib
yang menyimpan rapat-rapat segala bentuk memori, kenangan, harapan, kebahagian
dan juga tangisan di dalamnya.
Jangan heran jika ada tradisi pulang
kampung saat lebaran menjelang. Orang perantauan selalu rela menyisihkan uang,
berdesak-desakan, terjebak macet yang panjang hanya untuk kembali ke kampung
halaman. Gejala ini oleh pengamat sosial Universitas Indonesia, Yoshie Setyadi
disebut sebagai gejala households di mana ada keterikatan selayaknya keluarga
antara perantau dan kampung halamannya.
Rumah selayaknya ibu dan manusia
layaknya seorang anak.  Sebagaimana ibu,
rumah adalah tempat yang selalu terbuka untuk menerima berbagai aduan
kesedihan, ratapan kekalahan, dan luapan kebahagiaan. Rumah pula tempat untuk
mendapatkan kasih sayang, tempat kembali, dan pusara yang begitu tenang untuk
sejenak melepas berbagai tekanan hidup di luar sana.  
Tak heran jika rumah menjadi
inspirasi Ibu Soed dalam lagunya yang berjudul Tanah Airku. “Tetapi kampung dan
rumahku. Disanalah kurasa senang. Tanahku tak kulupakan. Engkau kubanggakan.”
Rumah adalah tempat yang tak bisa
dilupakan, karena rumah adalah bagian dari “aku”. Tempat yang akan selalu
memaksa kita kembali, sejauh apapun jarak yang memisahkan. Karena rumah adalah
“aku”, ia adalah bagian dari diri manusia. Tanpa rumah, manusia tidak pernah
menjadi sebenar-benarnya manusia. Gita sadar betul makna rumah bagi awal
kehidupannya hingga bisa berhasil mencapai berbagai macam prestasi saat ini.
Tanpa rumah yang menaungi kehidupannya dan tanpa keluarga yang membesarkannya,
ia tak pernah mencapai masa seperti sekarang. Tak heran jika begitu dalam ia
menuliskan lirik, “Ohh aku ingin pulang, bersamamu aku tenang.”
Muhammad
Irkham A
Penikmat Musik
Exit mobile version