Dok. Debrina |
Oleh : Emka Humam
Di era modern ini, sebagian orang lebih suka membaca status di dunia maya dibandingkan membaca buku. Selanjutnya, muncul istilah baru yaitu literary snob. Snob adalah istilah untuk orang yang suka menghina dan meremehkan orang lain yang dianggap lebih rendah daripadanya, orang yang merasa dirinya lebih pintar daripada orang lain. Sedangkan, Literary snob adalah seorang yang merasa sebagai golongan orang intelek karena buku-buku yang dibacanya. Menganggap seseorang yang tidak membaca sastra atau filsafat adalah kaum terbelakang. Merendahkan orang yang memiliki selera yang berbeda. Inilah penyakit snobisme.
Banyaknya buku yang dibaca dapat menjadi semiotika bahwa orang tersebut mempunyai intelektualitas yang tinggi atau dalam proses belajar menuju intelektualitas. Kutipan Umar bin Khattab, “Ilmu ada tiga tahapan, jika seseorang memasuki tahap pertama, dia akan sombong. Jika dia memasuki tahap kedua, ia akan tawadhu’ (rendah diri) dan jika memasuki tahapan ketiga, dia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya”.
Beberapa orang yang sudah membaca seratus buku dalam setahun atau lima puluh buku dalam sebulan akan merasa bangga dengan pencapaiannya. Salah satu akibatnya tak jarang juga terjadi pengkotakan bahwa novel sastra lebih berguna dan penting daripada novel popular. Alhasil, sikap membanggakan diri karena literasi ini memunculkan istilah literary snob.
Secara pengertian, literary snob terlihat sedikit menjengkelkan. Dimana orang yang sombong biasanya tidak disukai banyak orang. Namun, literary snob juga memiliki dampak positif bagi pelaku ataupun orang yang ada disekitarnya. Dengan adanya hal tersebut, semangat baca seseorang meningkat dan yang direndahkan akan merasa perlu untuk meningkatkan minat bacanya. Ada beberapa aspek yang perlu dijadikan dasar mengukur literary snob yaitu keterbacaan, pengetahuan hingga cara pembawaannya.
Beberapa orang mempunyai buku dan telah membaca semuanya dengan isi buku yang masih terngiang di kepala. Sebagiannya lagi hanya gemar membeli, mendiskusikan, dan merekomendasikan buku. Seolah mereka paham betul akan buku-buku yang mereka bicarakan. Dari hal itu, ada sebuah fakta yang menjungkirbalikan itu semua, ternyata mereka yang terlihat akrab dengan buku-buku jarang menyelesaikan membaca buku-bukunya. Semua itu pada dasarnya adalah virus yang sering muncul dalam diri manusia pada umumnya ketika proses belajar.
Kita juga perlu mengetahui bahwa tingkat minat baca masyarakat Indonesia berada pada titik memprihatinkan. Menurut data World’s Most Literate Nations, yang disusun oleh Central Conecticut State University ini, peringkat literasi Indonesia berada di posisi kedua terbawah dari 61 negara yang diteliti. (Tempo, 16 April 2016)
Terlepas dari kenegatifan yang muncul, ada sebuah kebaikan dari literary snob. Walaupun tidak semua dari mereka benar-benar mengerti sesungguhnya tentang buku, adanya mereka turut berperan dalam menciptakan lingkungan pecinta buku di Indonesia. Hal itu dapat menimbulkan rangsangan yang baik bagi orang-orang yang belum mengenal atau mengerti buku untuk belajar membiasakan membaca (buku).
Memamerkan selera baca ataupun banyaknya buku yang telah dibaca barangkali lebih baik daripada hanya memamerkan follower di instagram. Looh! Kalau pamer koleksi buku di instagram tapi tidak pernah membacanya, bagaimana? Barangkali akan muncul istilah baru yaitu book snob, yaitu orang-orang yang hanya pamer buku.
Semua hal tersebut merupakan bentuk suatu masalah yang tidak akan terlepas dari manusia selama masih berjibaku dengan hasratnya. Adanya literary snob bisa dikatakan jauh lebih baik daripada mereka yang belum punya minat terhadap buku. Oleh karena itu, alangkah baiknya mahasiswa atau the agent of change, social of control dan iron stock dapat menjadi perintis budaya membaca yang baik di Indonesia.
*Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia 2016