OpiniUncategorized

Untuk Perempuan yang Sedang dalam Perjuangan

Wanita Perjuangan

Oleh : Laksa Tiar

Bangsa yang kokoh dan kuat berdiri adalah bangsa yang menjaga kehormatan perempuannya.

Hari ini, 21 April 2017 walaupun tidak ditetapkan sebagai hari libur, hari ini Negara Indonesia memperingati hari Kartini. Kartini adalah seorang tokoh pahlawan nasional kelahiran Jepara. Terkenal melalui tulisan-tulisannya yang terhimpun menjadi sebuah buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Tulisan-tulisan tersebut berisi pemikirannya tentang bagaimana seyogyanya seorang perempuan.
Pernikahan Kartini adalah hasil perjodohan dari ayahnya. Kartini dipingit di dalam kamar, interaksinya dibatasi secara langsung dengan dunia luar. Namun dalam kehidupannya yang dibatasi tersebut, Kartini sering bertukar surat dengan kawannya orang Eropa. 
Terlepas dari kontroversi bahwa diangkatnya Kartini oleh rezim Orde Baru adalah menjadi salah satu simbol bahwa perempuan harus menurut pada suaminya, entah dia salah atau benar. Rezim Orde Baru berkeinginan agar kaum perempuan, seidealis apapun dia harus menurut pada suami dan menjadi sebuah isyarat. Apabila dalam konteks politik, suaminya memilih parpol A, begitu juga istrinya harus mengekor pada sang suami. Itulah sedikit cerita yang pernah penulis dengar dari seorang perempuan yang menyandang gelar profesor di kampusnya.
Namun, bukan masalah kontroversi dijadikannya Kartini sebagai pahlawan wanita Indonesia. Dalam tulisan ini, penulis ingin coba membuka pemikiran kembali bahwa perempuan sejatinya memang tidak pernah dalam keadaan yang ideal. Dari zaman ke zaman, perempuan (walaupun lelaki pun demikian) selalu berada dalam baris perjuangan. Pada era kolonial Belanda misalnya, perempuan masih saja dianggap kaum yang lebih rendah dari kaum laki-laki. Perempuan tidak memiliki kebebasan dalam menerima pendidikan, hak politik, dan hak menyatakan pendapat. Perempuan dituntut menurut dan hanya boleh berkutat di dapur, kasur, dan sumur. Keadaan tersebut memang tidak adil dan pastinya juga menimbulkan perlawanan.
Selanjutnya, muncul gerakan-gerakan yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Dari membentuk organisasi perempuan yang menuntut hak pendidikan hingga hak politik. Namun, kebanyakan organisasi perempuan kala itu sebatas menyadarkan kewajiban seorang perempuan, atau istri dalam melayani atau memenuhi kebutuhan rumah tangga dan melayani suami.
Konteks memperjuangkan hak-hak perempuan seperti dikesampingkan. Tapi di sisi lain, perempuan juga menjadi salah satu amunisi dalam rangka bahu-membahu mempertahankan kemerdekaan di awal-awal kemerdekaan. Menjadi relawan Palang Merah Indonesia (PMI), menjadi penyokong bahan makanan bagi para tentara, dan segala macam lainnya.
Tekanan-tekanan terhadap perempuan berbeda pula pasca tahun 1965, terutama pasca pecahnya tragedi Gestok. Simpatisan PKI, termasuk Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dibasmi. Di luar konteks sentimen paham bahwa PKI dilarang, pada saat itu perempuan terutama simpatisan Gerwani diperlakukan sangat tidak manusiawi. Perempuan simpatisan PKI atau Gerwani diperkosa, dirampas hak hidupnya. Ada pula yang dikubur hidup-hidup di tengah hutan. Ditanam tubuhnya hingga batang lehernya, dan menyisakan kepala, kemudian ditinggal begitu saja di tengah hutan. Dan perempuan lain, yang sama sekali bukan simpatisan PKI atau Gerwani tidak dapat melakukan apa-apa. Mereka termakan fobia bahwa perempuan sudah seyogyanya menurut dan patuh. Mereka dilarang membantah dan berargumen. Berbeda sedikit dalam pandangan, mereka akan dicap pemberontak. Wanita kembali mendapat ujian. Bahkan mereka harus kembali pada rutinitas dapur, kasur, dan sumurnya kembali.
Dan bagaimana dengan dewasa ini? Masih saja ada masalah dan ancaman yang tertuju pada perempuan. Dari kekerasan terhadap perempuan, eksploitasi terhadap perempuan, diskriminasi dalam upah, prostitusi, TKW, dan lain sebagainya. Perempuan hari ini, yang secara hak memperoleh pendidikan sudah bisa dirasakan, hak berpolitik sudah didapatkan, namun masih saja mereka belum aman. Mengapa masih saja demikian?
Fitrah Perempuan
Dalam buku Sarinah, karangan Soekarno disebutkan bahwa perempuan memiliki fitrah bahwa dia harus dikasihi, dilindungi, melahirkan, dan hak merawat anak. Inilah yang memang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Bukan sedang ingin menyatakan bahwa perempuan itu adalah sosok yang lemah. Namun dalam fitrah tersebut, laki-laki harus sadar pula bahwa dalam fitrah itu ada tanggung jawab laki-laki untuk menjaga harkat dan martabat perempuan.
Laki-laki harus tahu bahwa sekuat apapun perempuan. Perempuan berhak dilindungi, dan dikasihi. Ketidakpahaman ini seringkali menimbulkan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Masalah ekonomi, perempuan yang dianggap lemah malah menjadi sasaran pelampiasan emosi. Mengenai hak perempuan berikutnya, bahwa perempuan harus dijamin haknya atas melahirkan dan merawat anak perlu dijaga pula. Hak ini kadang terlupakan, tertutupi oleh gaung kesamaan gender dan emansipasi perempuan.
Hak-Hak Perempuan
Perempuan meminta haknya disamakan dengan laki-laki malah terkadang dimanfaatkan dalam kerja atau pasar tenaga kerja. Perempuan banyak yang menjadi tenaga kerja atau buruh pabrik, namun dengan upah yang rendah. Bahkan dikesampingkan hak-haknya yang sebenarnya sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Perempuan yang sedang haid masih saja dipaksa bekerja, padahal dia punya hak libur pada dua hari pertama masa haidnya.
Perempuan yang hamil pun kadang tetap dipaksa bekerja, padahal hal tersebut bisa mengganggu janin yang dikandungnya. Janin yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa. Kemudian, masih belum terfasilitasinya ruang-ruang khusus menyusui bagi ibu menyusui di tempat kerja. Jangan menganggap sepele hal ini. Kasih sayang dan pendidikan langsung seorang ibu akan memberi pengaruh psikologis terhadap tumbuh kembang seorang anak. Tersitanya waktu interaksi antara ibu dan anak oleh jam kerja yang padat, menjadikan anak kurang perhatian dan berdampak pada perilaku si anak.
Menurut penulis pribadi, tempat penitipan anak, yang sering kita temukan di kota besar bukan menjadi solusi tepat. Bahkan kadang, ada ibu yang apabila sudah menyekolahkan anaknya (bila sudah masuk usia sekolah) atau menitipkan anaknya (bagi yang masih balita) mereka beranggapan sudah memberi hak-hak pada anaknya.
Peran seorang laki-laki pun menjadi penting dalam mengingatkan hak perempuan. Bukan dalam arti mengembalikan perempuan pada rutinitas dapur, kasur, dan sumur, namun disini perempuan juga perlu ingat akan fitrahnya sebagai sosok yang melahirkan generasi penerus bangsa. Di zaman yang memang sudah serba cepat dan menuntut rasionalitas yang kadang malah merampas hak, lebih-lebih hak perempuan, perlu ada sebuah kesadaran bahwa dalam rangka menciptaan kesamaan derajat antara laki-laki dan perempuan, perlu ada pemahaman bersama antara hak dan kewajiban masing-masing.
Perempuan yang ingin berkarier misalnya, perlu dijamin juga haknya atas itu dengan tak lupa bahwa mereka juga punya hak untuk dilindungi dan dikasihi. Perempuan pun perlu ingat, dalam hal ia memperjuangkan cita-cita dan kemerdekaannya, dia pun punya fitrah melahirkan dan merawat anak. Harus ada sebuah aturan yang menjamin ini. Bahwa harus ada waktu khusus dalam aktivitas perempuan yang memiliki anak untuk saling berinteraksi. Sebagai negera merdeka, Undang-Undang atas hal itu perlu ditegakkan.
Laki-laki juga harus sadar dan tahu betul akan fitrah perempuan. Dalam menjaga hak perempuan yang berupa dikasihi, dilindungi, melahirkan, dan merawat anak, laki-laki tak boleh merampas hak perempuan dalam rangka mengejar cita-cita dan harapannya. Dan perempuan pun perlu sadar betul bila nantinya menjadi seorang istri, perlu melayani suaminya dengan baik.
Memperingati Hari Kartini
Ini seyogyanya menjadi sebuah perhatian bersama, bahwa peringatan hari Kartini tidak hanya sekadar peringatan seremonial menggunakan kebaya, bapak yang memasak, menggantikan peran ibu di dapur, atau lain sebaginya. Bahwa keadaan perempuan sekarang pun juga masih dalam tekanan. Kita harus ingat soal kekerasan terhadap perempuan, prostitusi, diskriminasi upah perempuan, adalah masalah pokok yang harus kita benahi. Dan perlu diingat pula, bahwa pendidikan yang diterima perempuan Indonesia masih cenderung lebih rendah ketimbang laki-laki. Berarti di era kebebasan ini, masih saja ada perempuan yang terampas hak-haknya.
Pada akhir tulisan ini, penulis ingin menyampaikan bahwa sebenarnya perempuan adalah makhluk yang istimewa. Betapa dari rahimnya akan terlahir generasi penerus bangsa, dari lentik dan lembut belai jemarinya akan timbul hati yang lembut namun tidak lemah, dari tutur katanya yang santun akan tercipta suasana yang kondusif dan menenangkan. Bangsa yang kokoh dan kuat berdiri adalah bangsa yang menjaga kehormatan perempuannya.

*Mahasiswa Ekonomi Pembangunan 2014

Comment here