Dok. BP2M/Lala |
Judul : Jejak-Jejak Pencarian yang Tersisa dari Ada
Penulis : Taufiqurrahman
Cetakan : Januari 2017
Penerbit : BASABASI, Yogyakarta
Tebal : 160 Halaman
ISBN : 978-602-391-328-2
Taufiqurrahman adalah mahasiswa Fakultas Filsafat, Universitas Gajah Mada (UGM) sejak tahun 2014. Secara formal, ia sedang fokus dalam studi filsafat sains. Namun, di luar kelas, ia lebih banyak mendalami pemikiran Edmund Husserl dan Martin Heidegger. Selebihnya hanya mahasiswa yang kebetulan sedang menjadi Pemimpin Redaksi Jurnal Cotigo.
Buku ini adalah kepingan-kepingan pemikiran Taufiqurrahman di masa lalu yang diangkat kembali, disatukan dalam sebuah buku. Taufiqurrahman mencoba memilah esai yang pernah ditulis, ini membuat dirinya melihat kembali bagian dirinya yang hilang.
Enam belas esai terpilih yang Taufiqurrahman tulis sejak 2014 ini seperti menghadirkan sesuatu yang ganjil. Keganjilan itu memunculkan suatu pengalaman traumatik bagi Taufiqurrahman. Derida benar, bahwa “tulisan” merupakan nama bagi struktur yang selalu sudah didiami oleh jejak (trace). Jejak itu menandakan kehadiran ketidakhadiran (the presence of absence). Artinya, sebagai sebuah jejak, tulisan menandakan bahwa pengarangnya pernah hadir di sana, namun kini kehadirannya sudah tiada, sehingga yang tersisa selalu hanyalah tanda ketidakhadiran. Ia hadir sebagai yang tak-hadir.
Tulisan-tulisan dalam buku ini merupakan jejak dari kehadiran Taufiqurrahman. Tanda bahwa ia pernah hadir di sana, namun kini ia mengganggap kehadiran itu tertunda, tinggal jejaknya. Kini jejak itu hanya hadir sebagai tanda ketidakhadiran Taufiqurrahman. Jejak itu bukan untuk diikuti, melainkan hanya sebagai monumen gagasan, tanda ke-pernah-hadir-an. Jejak itu menjanjikan sesuatu yang pasti dan final. Ia hanya bernilai dalam kemungkinan: mungkin benar- dan mungkin pula menyesatkan. Mungkin ini adalah salah satu alasan Taufiqurrahman hanya menjadikan esainya menjadi sebuah jejak.
Ke-mungkin-benar-an itulah yang -seperti gambaran Thomas Kuhn- menurut ilmuwan untuk selalu terbuka membongkar paradigma lamanya, membongkar puzzle dunia yang telah disusunnya, ketika muncul anomali-anomali yang ditampakkan oleh gejala alam semesta. Tidak ada yang tahu, besok atau lusa, dunia menampakan wajahnya dalam bentuk yang seperti apa. Ilmuwan hanya mengira-ngira dalam kekiniannya.
Dari enam belas esai yang ada dalam buku ini, banyak filsuf yang dihadirkan dalam tulisannya. Pater Jan Beker S.J, Socrates, Plato, Nietzsche, Thales, Derrida, Aristoteles, Van Peursen, Martin Heideger, Michel de Montaigne, dan lain sebagainya yang menjadi barisan filsuf dengan literatur yang syarat akan penguat untuk argumen Taufiqurrahman.
Esai yang hadir dalam buku ini selain ramai oleh para filsuf juga kaya tema yang menggairahkan. Dari agama, budaya, sastra, masyarakat, psikologi, dan juga tak luput ihwal percintaan. Semua dikemas dalam pena filsafat yang berpijak pada subjektivitas penulis.
Dalam buku ini, esai yang pertama dimunculkan adalah ihwal percintaan. Tidak seperti kisah cinta remaja jaman sekarang, Taufiqurrahman meskipun tergolong penulis muda tidak tergoda menulis ihwal percintaan seperti itu.
Esainya juga ada yang menyinggung kandangnya, yaitu dunia filsafat yang sedang Taufiqurrahman jamahi. Ketika banyak keraguan yang orang lontarkan pada dunia filsafat tetapi Taufiqurrahman seolah berdiri tegak bersandar pada filsafatnya. Ihwal filsafat menjadi minoritas dan menarik karena banyak orang yang awam atas ini. Dominasi kaum mayoritas atas kaum minoritas itu seakan mewakili kekuasaan Tuhan. Mereka bebas melakukan apa saja terhadap kaum minoritas yang dianggap ‘menyimpang’. Pengucilan, pengusiran, kekerasan, dan bahkan pembunuhan, absah dilakukan kaum mayoritas atas nama ‘kebenaran’. Kebenaran macam apa yang mereka pegang? Kebenaran yang membenarkan tindak anti-kemanusiaan? Ah, entahlah! Barangkali kebodohan memang hanya mengenal lawan. (hal 21)
Di era yang memiliki kecenderungan besar terhadap sesuatu yang instan, filsafat menjadi subjek yang terlupakan atau mungkin sengaja dilupakan. Orang tidak lagi memiliki ketertarikan terhadap filsafat karena filsafat dianggap tidak memiliki manfaat praktis dalam aktivitas keseharian. Filsafat dianggap terlalu abstrak. Oleh karena itu, jurusan-juran filsafat di perguruan tinggi selalu sepi peminat (hal 25).
Disaat fenomena keengganan terhadap filsafat ini merebak, kita menyaksikan fenomena lain yang berupa sikap anti-perbedaan, intoleransi, dan kekerasan, kian menjadi-jadi. Fenomena kedua inilah yang sering membuat kaum minoritas menjadi pihak yang tersingkirkan, mereka menjadi korban dari kuasa mayoritas yang anti-perbedaan.
Sebagai seorang esais, Taufiqurrahman tidak melupakan dunia yang sedang dia gandrungi. Dunia tulis menulis ini dimanfaatkan untuk mengkritik tulisan itu sendiri. Ketika awal kemunculan tulisan ini menjadi kontroversial dikalangan yang berkuasa Taufiqurrahman dapat menjelaskan sebab akibat dengan pegangan seorang filsuf, yaitu Derida dalam Dissemination (1981).
Dengan tulisan, manusia akan lebih mengandalkan hal yang eksternal dari diri mereka (tulisan) ketimbang hal yang internal dalam jiwa mereka (ingatan). Dengan begitu, ingatan manusia akan tumpul dan jiwanya akan mati lantaran tak dihidupi. Tulisan hadir untuk mengatasi hal itu dengan mendokumentasikan hal yang rapuh, sehingga menembus batas spasio-temporal. Tulisan hanya ada-untuk (being-for) sesuatu dalam dirinya; sementara dalam dirinya sendiri ia tidak memiliki nilai apa-apa. Maka, tulisan selalu dibebani dengan sesuatu yang di luar dirinya agar ia bernilai, agar ia dapat mengada sebagai “tulisan”.
Taufiqurrahman berusaha untuk melawan pandangan yang telah mapan, yang telah diterima oleh banyak orang, atau yang dianggap biasa saja dalam keseharian. Karena itu, esainya melahirkan pandangan-pandangan alternatif baru, yang jarang terfikirkan, yang kemunculannya lebih banyak berasal dari pandangan minor yang marginal atau pinggiran.
Taufiqurrahman merujuk pada esai-esai Goenawan Mohamad yang diberi nama “Catatan Pinggiran” di salah satu media mainstream miliknya. Iya bertolak dari pinggiran walaupun Goenawan Mohamad kini sudah bukan lagi orang pinggiran, dan berusaha mengangkat yang marginal.
Ketika Taufiqurrahman menyinggung dunia tulis menulis, akan sangat berdosa jika luput dari ihwal literasi dimana tulisan menjadi elemen penting di dalamnya. Dalam tulisannya Taufiqurrahman merasa ironis ketika literasi dikoar-koarkan tetapi masih anti-intelektualisme. Maka, apa yang sebenarnya perlu dikhawatirkan dari dinamika dunia literasi bukanlah munculnya buku-buku yang tidak memiliki guna praktis dalam keseharian, melainkan semakin menipisnya minat baca yang semakin menebalkan kekebalan.
Esai-esai filsafat yang ditulis Taufiqurrahman menjadi bukti jati dirinya dalam dunia filsafat yang sedang dia tekuni. Bukan sebagai kekolotan karena dia adalah mahasiswa Fakultas Filsafat, tetapi ini menjadi pemantik diri untuk melihat siapa dia dalam kandangnya sendiri. Jika sentuhan-sentuhan filsafat dalam esainya itu sudah menjadi jejak, maka dia sudah menyuarakan filsafat dengan literatur yang sangat kaya.
Ketika Taufiqurrahman merasa ada yang ganjil dalam tulisan-tulisannya yang terdahulu, saya merujuk dari tulisannya, “Filsafat jangan hanya tersendat didalam tenggorokan atau terbujur kaku didalam tulisan. Filsafat harus hidup dalam setiap laku keseharian. Sebab, usaha menghidupkan filsafat dalam laku keseharian adalah pilihan kemanusiaan”. (hal 29)
Kini filsafat tidak hanya hinggap dalam tulisannya, tetapi sudah menjadi pilihan untuk Taufiqurrahman menanggapi sebuah kehidupan.