Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/ |
Oleh : Yunita Puspitasari
Pesatnya perkembangan teknologi memudahkan masyarakat mengakses beragam informasi melalui internet. Mudahnya pembuatan media berbasis online yang identik dengan pemberitaan cepat kian memudahkan masyarakat mengakses maupun memproduksi informasi dalam bentuk berita. Namun, tuntutan membuat pemberitaan cepat menimbulkan para produsen informasi lalai terhadap keakuratan dan kebenaran informasi yang disebarkannya, alih-alih memunculkan hoaks.
Dalam Seminar Nasional di Universitas Negeri Semarang pada 6 Mei 2017 lalu, Septiaji Eko Nugroho, Pendiri Lembaga Masyarakat Anti-Hoax, menjelaskan, hoaks merupakan informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi sebenarnya, atau juga bisa diartikan sebagai upaya pemutarbalikan fakta menggunakan informasi yang meyakinkan tetapi tidak dapat diverifikasi kebenarannya.
Munculnya fenomena hoaks mulai marak sejak media sosial populer digunakan oleh masyarakat Indonesia. Setiap orang memiliki kesempatan sama untuk memproduksi informasi, tidak peduli informasi tersebut akurat atau tidak. Selama memungkinkan di-share oleh banyak orang, maka informasi tersebut dipercaya sebagai kebenaran. Beredarnya informasi yang banyak diterima masyarakat itulah mengakibatkan fenomena hoaks tidak bisa dibendung.
Uniknya, masyarakat kita ini sesungguhnya sangat menggemari hoaks. Kita bisa menemukannya dalam praktik hidup sehari-hari, terutama pada kabar-kabar yang menurut kita menarik. Dalam broadcast BBM atau WhatsApp, atau postingan berita di media sosial kadang ditelan sebagai kebenaran. Menambahkan detail yang tidak diketahui dan membagikan dari satu grup ke grup lain agar dianggap “peduli.” Salah satu kawan pernah mengatakan, kalau tidak membagikan post ke pengguna media sosial lainnya, maka akan dicap tidak peduli pada lainnya.
Dilansir dari Tirto.id (25 Mei 2017), kolumnis The Daily Dot, Cabell Gathman menyatakan, saat ini banyak orang di media sosial tak lagi membaca konten yang mereka bagikan. Orang-orang di media sosial kerap hanya membaca judul yang mereka pikir benar. Ini bisa dilihat dari beberapa berita yang kadang judul dan isinya tak berkaitan, tetapi ketika dibagikan orang cenderung berkomentar tentang judulnya saja.
Jujur saja, meskipun telah menjadi anggota pers mahasiswa di kampus, saya sendiri merasa sebagai korban hoaks. Pernah suatu kali saya memperoleh informasi dari salah seorang kawan yang membagikan post di WhatsApp bahwa ada seorang pedagang yang menjual rak buku dengan harga sangat miring di depan sebuah toko alat tulis X, karena tidak laku sehingga seringkali pedagang tersebut tidur di emperan toko X tersebut, maka kita diminta untuk membeli barang dagangan penjual itu. Berulang kali saya menengok toko X untuk mencari sekaligus memastikan keberadaan penjual rak buku karena saya tergiur dengan rak buku yang konon dibandrol dengan harga miring. Namun, setiap saya menengok teras depan toko X tersebut, tidak pernah saya temukan penjual tersebut. Hingga pada akhirnya saya meminta konfirmasi pada kawan saya yang membagi post tentang penjual itu di WhatsApp tempo hari. Jawaban dari kawan saya sungguh kurang masuk akal karena ia juga memperoleh post tersebut dari pengguna media sosial yang lain yang turut membagikannya.
Beberapa Minggu setelah itu, kembali beredar informasi melalui WhatsApp berkait toko X. Informasi itu menyebutkan, apabila membeli sesuatu di toko X berapapun jumlah nominalnya, maka pembeli akan diberi satu bungkus nasi uduk, dan hal itu hanya berlaku pada hari Jumat. Lagi-lagi, saya ingin memastikan kebenaran informasi tersebut. Pada hari Jumat saya mengajak kawan berkunjung ke sana untuk membeli alat tulis yang kami butuhkan, dan sungguh menyedihkan karena kami tidak diberi satu bungkus pun nasi uduk, meskipun para karyawan di sana membawa puluhan bungkus nasi uduk, entah dikemanakan bungkusan nasi itu.
Dari beberapa pengalaman itu, dapat disimpulkan bahwa penyebaran informasi yang belum tentu kebenarannya kerap dimanfaatkan segelintir orang untuk kepentingan tertentu. Kadang seseorang secara sadar menyebarkan kebohongan untuk membantu agenda yang dibuat oleh suatu oknum. Fenomena seperti itu diperkuat oleh riset Feldman ini yang dimuat dalam Journal of basic and Applied Psychology, setidaknya 60 persen dari orang yang diriset oleh Feldman berbohong dalam setiap perbincangan yang dilakukan. Hal serupa juga terjadi pada internet, kita kerap menambahi kabar yang belum pasti dengan kebohongan sehingga menghasilkan hoaks berantai.
Tentu kita ingat propaganda yang dilakukan pemerintah Orde Baru yang sukses mencuci otak masyarakat Indonesia dengan kebenaran yang diciptakan versi penguasa. Hoaks di masa Orde Baru diproduksi dalam rangka mendukung rezim untuk melegitimasi kekuasaan. Bahkan propaganda yang dilakukan Rezim Soeharto begitu mengakar kuat dalam benak masyarakat hingga kini. Misalnya saja hal-hal yang bersangkutpaut PKI, sehingga timbul diskriminasi dan kebencian terhadap hal-hal yang berbau PKI.
Kebebasan Pers
Hoaks yang marak muncul berkelindan pula dengan kebebasan pers. Melihat kenyataan saat ini, kebebasan pers telah berkembang namun hoaks masih menjadi persoalan. Tingginya output informasi yang lebih beragam dan sifatnya yang demokratis itulah mengapa setiap individu berkesempatan memproduksi informasi, menganalis berdasarkan pemikiran pribadi, dan menyebarluaskannya.
Pembuatan berita di media massa pada dasarnya adalah mengonstruksi realitas hingga membentuk suatu wacana yang bermakna. Dalam konstruksi realitas perlu memperhatikan apakah bahasa yang digunakan mengandung unsur provokatif sehingga cenderung menimbulkan salah persepsi di masyarakat. Mari kita tengok fenomena hoaks pada zaman Orde Baru yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan. Sekarang dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi, masyarakat bisa menyebarkan informasi untuk merongrong rezim saat ini.
Salah satu dari banyak hoaks yang digunakan untuk menjatuhkan pemerintah Joko Widodo adalah isu pekerja imigran dari Tiongkok. Seruan itu dibumbui dengan hoaks soal masuknya 10 juta tenaga kerja Tiongkok ke Indonesia. Ironisnya, masyarakat dengan mudah percaya pada hoaks tersebut. Padahal, validitas data itu tidak bisa dipertanggungjawabkan. (historia.id, 28 Mei 2017)
Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk membuat regulasi yang jelas tentang penyebaran informasi yang berkembang di masyarakat. Regulasi ini juga harus diimbangi dengan upaya pemerintah untuk mewujudkan masyarakat yang berliterasi media. Kiranya masyarakat hendaknya bersikap cerdas dalam memfilter setiap informasi yang ada di media massa. Tidak hanya pandai menentukan sikap, melainkan mampu bersikap pro aktif dalam menyampaikan opini yang sifatnya membangun dan meluruskan fakta. Masyarakat harus bisa menghindari clicking monkey yaitu ketika ada informasi langsung klik dan share tanpa mencernanya terlebih dahulu.
Sebagai pers mahasiswa yang juga menggarap media online tentu memiliki tantangan sendiri. Di satu sisi, media mengejar kecepatan dalam memberitakan kepada khalayak sebagaimana ciri khas media online yang identik dengan jurnalisme cepat. Namun, di sisi lain pers harus terus menjaga kredibilitas berita. Karena mengejar kecepatan pemberitaan, pernah suatu kali media online lembaga pers mahasiswa salah satu kampus di Semarang memberitakan mengenai aksi demonstrasi yang mana di bagian akhir berita menyertakan kutipan yang salah akibat kurangnya verifikasi terhadap narasumber. Hal itu lantas memperoleh respon dari mahasiswa kampus itu hingga dianggap menyebarkan berita hoaks. Memang benar, perlu adanya verifikasi terhadap sumber berita. Wartawan boleh saja mengikuti perkembangan zaman yang kini mulai beralih pada jurnalisme online, akan tetapi wartawan harus tetap menjaga akurasinya.
Pers sebagai salah satu lembaga yang turut membangun opini publik semestinya turut menegakkan kode etik jurnalistik dalam memproduksi informasi dan memerangi hoaks. Seperti yang telah dijelaskan bahwa pekerjaan media massa yakni mengkonstruksi realitas, bukannya memanipulasi realitas. Selain itu, dalam pergolakan zaman saat ini, pers harus tetap tunduk dan taat kepada Kode Etik Jurnalistik. Maraknya pemberitaan hoaks, maka pers tidak boleh diam. Pers harus menjadi penyejuk di tengah kepungan informasi hoaks yang menyesatkan masyarakat. Tugas mulia pers harus tetap dilanjutkan sebagai pilar yang turut mencerdaskan kehidupan bangsa.
*Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Reporter Majalah Kompas Mahasiswa