Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Berita

Jurnalisme Damai, Solusi Alternatif Selesaikan Konflik

Triyanto Lukmantoro (kanan), menjelaskan perbedaan war journalism dan peace journalism di Pandanaran Hotel Semarang pada Minggu (26/11).



Konflik, dapat berarti percekcokan, perselisihan, dan juga pertentangan seperti yang telah dijelaskan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima.


Semarang, Linikampus.com – Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengadakan pelatihan jurnalistik mahasiswa dengan tema ‘Hoax dan Jurnalisme Damai’ yang diselenggarakan pada 25 sampai 26 November 2017 di Hotel Pandanaran, Semarang. Acara ini diikuti oleh 20 mahasiswa dari beberapa lembaga pers mahasiswa dari beberapa daerah di Indonesia.

Seperti yang sudah dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima, konflik berarti percekcokan, perselisihan, dan juga pertentangan. Dalam konteks sosial, ada dua jenis konflik, yakni konflik vertikal dan konflik horisontal.

“Kedua konflik ini sering dialami di beberapa negara terutama negara dengan sumber daya alam dan kemampuan ekonomi yang mumpuni,” tutur Triyono Lukmantoro, salah satu pembicara dalam acara tersebut (26/11).

Dosen Jurusan Komunikasi Universitas Diponegoro (Undip) ini juga menjelaskan tentang dua jenis jurnalistik dalam suatu konflik yakni war jurnalism (jurnalisme perang) dan peace jurnalism (jurnalisme damai).

Selain itu, ia juga menjelaskan perbedaan yang cukup mencolok antara kedua jenis jurnalisme tersebut.

“Dalam war jurnalism, lebih ditekankan tentang kondisi yang bisa nampak secara visual seperti dampak kerusakan, pihak mana yang saling berkonflik. Sedangkan dalam peace jurnalism, lebih ditekankan tentang pihak ketiga yang menjadi korban dari konflik tersebut,” ungkapnya.

Lain halnya dengan Gregorius Magnus Finesso, Kepala Biro Kompas Jawa Tengah ini menjelaskan pengalamannya dalam menggunakan peace jurnalism dalam konflik antara petani dan militer yang terjadi di Urut Sewu, Kebumen.

Selain itu, ia mengingatkan dalam peace jurnalism juga tetap mengutamakan data yang faktual dan objektif.

“Dalam peace jurnalism, pendekatan konflik tidak bisa digunakan. Gunakan sudut pandang penulisan yang lain agar mampu meredam tensi suatu konflik,” kata pria yang akrab dipanggil Greg tersebut.

Peran Pers Mahasiswa

“Dalam ranah perguruan tinggi, konflik tetap ada. Konflik tersebut sering terjadi antara birokrat kampus dengan mahasiswa,” ungkap Ignasius Hariyanto.

Melihat kondisi ini, Ignasius Hariyanto yang biasa disapa Hari, salah satu mentor dalam acara tersebut menekankan agar pers mahasiswa mampu berperan dalam konflik kampus lewat jurnalisme solusi.

“Jurnalisme solusi itu bukan semata-mata opini dari redaksi. Kita bisa gunakan sudut pandang bahwa solusi ini sudah ada, namun belum diketahui banyak orang,” jelas Hari.

Moh. Mizan Asrori, anggota dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Solidaritas Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya berharap, setelah mengikuti pelatihan ini peserta dapat membagi ilmu pada kawan-kawan pers di kampusnya masing-masing.

Pria yang akrab dipanggil Mizan ini berpendapat, pihak kampus sering memandang pers mahasiswa hanya memberitakan tentang kejelekan kampus. Ia juga berpendapat, pers mahasiswa memiliki fungsi solutif untuk perkembangan kampus selanjutnya.

“Fungsi pers mahasiswa kurang lebih seperti pers secara umum, yaitu kontrol sosial. Namun, hanya terbatas pada lingkungan kampus,” ujar Mizan. [Fiskal/BP2M]

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *