Raeni (kanan) memantik diskusi tentang perempuan di Bundaran Fakultas Hukum (FH) Unnes Selasa (17/4). [Doc.BP2M/Indri] |
Selasa sore (17/4) rintik hujan sempat hadir di bundaran Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) membersamai diskusi. Diskusi ini memperingati hari kartini oleh Forum Perempuan Unnes yang bekerjasama dengann Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM).
Kajian forum perempuan adalah sebuah forum perjuangan hak-hak wanita juga sebagai wadah untuk menampung aspirasi wanita yang belum berani mengutarakan pendapatnya di depan publik.
Dalam sebuah hasil kajian, Forum Perempuan Unnes mengusung tema “Feminisme Perlukah?” dilatar belakangi oleh ketidaksetujuan filsafat feminisme dengan budaya patriarki bahwa keluarga menjadi penyebab ketimpangan gender .
Laki-laki sangat diberi hak istimewa, hal inilah yang menjadikan ketidaksetaraan dan ketidakadilan bagi kaum perempuan.
Rupanya rintik hujan gagal mematahkan semangat kaum wanita untuk menghadiri acara tersebut. Satu per satu perempuan berdatangan, tak kalah juga dengan laki-laki yang turut serta dalam diskusi.
Baca Juga: Menjadi Perempuan, Cukup Itu Saja!
Sembari suguhan makanan dan juga air mineral itu dihidangkan, acara mulai dibuka dengan diawali dengan doa, menyanyikan lagu kebangsaan kemudian dilanjutkan pemaparan.
Pembawa acara, Wiji Nur Wijayati menyampaikan, di Indonesia wanita masih dianggap sebelah mata sehingga perlunya menuntut kesetaraan apalagi dengan maraknya kasus deskriminasi perempuan di Indonesia seperti beban kerja berlebihan beban ganda, pelecehan seksual, stigma single parent pada wanita single parent, deskriminasi jilbab oleh wanita bercadar, dan tes keperawanan dalam ujian kemiliteran.
“Pada dasanya perempuan mempunyai tugas yang unik, tidak hanya menjadi foundation dalam sebuah keluarga tetapi juga dalam sebuah karirnya. Sebenarnya di Indonesia, perempuan telah mendapatkan opportunity yang cukup besar dalam segi education. Akan tetapi terkadang ada kendala dari persepsi orangtua kenapa harus berpendidikan tinggi lebih baik masak saja yang enak di dapur,“ Ujar Raeni, dosen Jurusan Manajemen Unnes.
Perbincangan terus berlanjut seiring dengan berhentinya rintik hujan di sore itu. Terlebih ketika Raeni juga melontarkan pertanyaan kepada laki-laki yang ikut serta dalam diskusi tentang feminisme. “Bagaimana wujud support laki-laki terhadap perempuan agar mendapatkan kesempatan untuk mencapai karirnya ?”
Beberapa saat kemudian tidak perlu menunggu waktu lama, salah seorang laki-laki yang sedari tadi mendengarkan setiap butir-butir yang diucapkan oleh Raeni menjawab.
Baca Juga: Lingkaran Karma Perempuan Poliandris Drupadi
“Kewajiban laki-laki dan perempuan sama baik sebagai warga negara maupun mahasiswa. Jadi perempuan pantas memiliki hak untuk memimpin kecuali dalam lingkup rumah tangga. Sebagai contoh organisasi internal di Unnes sendiri sekarang yang menjadi wakil presiden mahasiswa adalah perempuan,” timpal Ahmad Subejo mahasiswa jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
Raeni juga menyampaikan Feminisme sebenarnya sudah diatur dalam Sustainable Development Goals (SDG) 5 yaitu Gender Equality and empowerment. Mengutip dari pendapat Sheryl Sanberg, COO of Facebook, “Woomen need to sit at the table”. Artinya perempuan juga harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi seorang pemimpin.”
Di sela-sela wawancara, Wiji mengemukakan pendapatnya, “Ketika wanita terdeskriminasi harus berani berontak, harus tegas untuk dirinya sendiri, orang lain, maupun kepentingan banyak orang. Ketika menjadi korban sampaikan pendapat dengan cara yang sopan dan jangan terlalu terbawa emosi.”
Di penghujung diskusi, Deva Deviana sebagai moderator memberikan kesimpulan pada sore itu. “Perempuan tidak diperuntukkan berada di bawah laki-laki tetapi perempuan ditujukan di samping laki-laki guna bersinergi dengan laki-laki untuk mencapai kesetaraan hak dan kewajiban. Kesempatan yang diberikan perempuan pun cukup besar untuk mengaktualisasikan dirinya. Harapannya bisa memanfaatkan kesempatan tersebut.”