Diskusi ihwal sepak bola (1/5) di lorong C2 FIS Unnes. [Doc.BP2M/Anisya] |
Selasa malam tim linikampus.com menyambangi sebuah diskusi yang dibuka untuk umum. Pada saat yang sama (1/5) bertepatan dengan hari buruh, Lingkar Pena Kembara kembali mengadakan diskusi bertemakan Bola Lokal, “Di Balik yang Terhampar”.
Saat itu, kami tiba di lokasi pukul 19.50 WIB dan langsung merapat di terpal yang telah disediakan panitia sembari menunggu diskusi dimulai pada jam delapan malam.
Diskusi tersebut dipandu oleh Najmul Ula sebagai moderator yang turut mendampingi para pemantik, yakni Bani Maryanto dari Jagobecek.com dan Toby Mahendra dari Jamaah Tribun.
Diskusi ini diadakan untuk menanggapi intervensi politik di dalam sistem persepakbolaan di Indonesia, khususnya di klub sepak bola Semarang—Persatuan Sepak Bola Indonesia Semarang (PSIS). Latar belakang diskusi ini berangkat dari persepakbolaan Indonesia yang tidak jauh dari politik.
Macam Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) masih digawangi oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga Repubik Indonesia (Kemenpora RI) suatu lembaga yang terikat dengan pemerintahan.
Memang tidak diharamkan politik masuk ke dalam tubuh federasi. Tanpa campur tangan politik, persepakbolaan Indonesia akan terpuruk terutama terkait pendanaan dan sponsorship. Namun demikian, bukan berarti politik dapat mengambil alih sistem secara keseluruhan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa perlu diadakannya pembatasan.
Baca Juga: Persepakbolaan Indonesia Mulai Tak Sehat
Toby memaparkan bahwa pembatasan ini dilakukan agar perpolitikan tersebut tidak masuk ke dalam sistem persepakbolaan di Indonesia maupun PSIS, yang mungkin akan berdampak pada turunnya kepercayaan masyarakat pada federasi dan pelaku sepak bola. Ia menilai jika suporter disusupi dengan politik pada persepakbolaan, lambat laun mereka akan jengah menonton pertandingan PSIS.
Bambang, yang sebelumnya membuka diskusi ini pun sepaham. “Informasi politik terhadap sistem yang menyusun sepakbola Indonesia sah-sah saja, tapi masuknya tidak di dalam sistem,” ujarnya. Ia mengkhawatirkan apabila politik masuk sampai ke dalam sistem, akan mempengaruhi jalannya sistem persepakbolaan itu sendiri.
“Namun, jika itu terkait mobilisasi masa tidak apa-apa. Seperti untuk menggiring suporter memilih calon A, hal tersebut tidak akan mempengaruhi sistem persepakbolaan,” tambahnya.
Sampai saat ini pun perserikatan masih memikirkan agar federasi dapat lepas dari intervensi politik dalam tubuh persepakbolaan. Ragil Maulana, salah satu audiens menuturkan pendapatnya bahwa ada solusi di sumber pendanaan saat klub sepak bola sudah ada campur tangan politik.
Ia mengambil contoh dari salah satu klub sepakbola internasional yakni Manchester United (MU). “Manchester United lahir memang dikuasai oleh industri sepak bola, pada akhirnya suporter klub tersebut benar-benar memisah dengan membuat klub sendiri yang sumber pendanaannya didapat melalui penjualan jersey dan merchandise-merchandise,” ungkapnya.
Ia melanjutkan bahkan saat pertandingan, tidak hanya dijadikan ajang menonton namun juga mengadakan diskusi dan tukar pikiran terkait ideologi beserta pasal-pasalnya.
Malam itu diskusi bersifat interaktif. Peserta tidak hanya diam mendengarkan namun juga beberapa peserta turut menanggapi serta memberikan pengetahuannya terkait isu sepakbola di Indonesia saat ini terutama di daerahnya masing-masing.
Di penghujung acara moderator berharap diskusi pada malam itu menjadi titik tolak di dalam persepakbolaan Indonesia tentang PSIS atau tentang apapun karena diskusi tersebut tidak lain sebagai pengembangan intelektual bagi kita yang perlu diperbanyak lagi.
Acara tidak berlangsung hanya dengan sesi diskusi dan tanya jawab saja. Akhir diskusi tersebut juga dilanjutkan dengan pemberian hadiah berupa kaos bagi peserta yang dapat menjawab pertanyaan dari pemandu acara. Selepas itu, pihak Pena Kembara pun memberikan kenang-kenangan bagi para pemantik kemudian acara ditutup dengan sesi foto bersama.
[Anisya, Indri]