Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Opini

Eksistensi dari Plagiarisme

[Ilustrator BP2M/ Lala Nilawanti]
 
Oleh Dheani Fauziah

Lebih-kurang pukul 16.00 salah satu akun media arus utama mengirim unggahan berbunyi, “Ada oknum Rektor di Jawa Tengah yang diduga melakukan plagiasi. Jangan-jangan Rektormu cuk?” Khalayak mahasiswa langsung membahas hal itu dengan segala macam umpatan serta sindiran, meskipun mereka belum tentu mengetahui kebenaran sesungguhnya. Namun paling tidak, kejadian itu sedikit-banyak membuka mata kita bahwa plagiarisme pun tidak hanya dilakukan oleh pelajar atau mahasiswa, tetapi juga rektor yang notabene dosen, sang pentransfer ilmu.

Di dunia dengan arus informasi yang deras, kita sebagai makhluk yang memiliki macam-macam prinsip dalam kehidupan seakan-akan terserang bencana banjir. Namun air yang menyerang di sini adalah sikap setiap individu yang merasa apa yang dia lakukan tidak dapat dilihat orang lain.

Mari kita ambil contoh, bagaimana seorang mahasiswa menjiplak karya mahasiswa universitas lain yang ia rasa sang dosen tidak tahu. Padahal kenyataannya sebaliknya. Namun sang dosen membiarkan. Itulah yang menyebabkan sebagian mahasiswa melakukan plagiarisme, karena selain cepat juga aman.

Lalu apa sebenarnya yang dimaksud plagiarisme?

Pengertian Plagiarisme
Ditinjau secara yuridis, menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 17 Tahun 2010, plagiat (dari bahasa Latin plagiarus yang berarti menculik) adalah perbuatan sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah dengan mengutip sebagian atau seuruh karya dan atau karya ilmiah pihak lain yan diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai. Plagiarisme terjadi ketika seorang penulis mengambil suatu karya intelektual (gagasan, pendapat, dan lain-lain) milik orang lain, sehingga pembaca menganggap karya itu karya milik penulis tersebut.

Lalu ditinjau dari sisi agama dijelaskan pada Alquran Surah As-Syuaro Ayat 183 bahwa, “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan kerusakan.” Dalam konteks plagiarisme, hak yang dimaksud adalah hak intelektual.

Nah, sampai di sini, saya silakan pembaca menarik kesimpulan apa itu plagiarisme secara umum. Persoalannya, dapatkah tindakan plagiarisme dianggap sebagai tindakan kriminal? Ya, menurut pendapat saya jelas itu pencurian, tindakan kriminal.

Apa pun kegiatan yang kita lakukan, sadar atau tidak, tentu akan berimbas terhadap orang lain. Tentu saja itu tidak lepas dari konsekuensi kita sebagai adalah makhluk sosial. Lalu apa pengaruh pencurian hak intelektual itu dalam kehidupan kita sebagai akademisi secara khusus?

Analisis Plagiarisme
Jika ditinjau dari sisi pendidikan, suatu karya akademis, baik dimuat di jurnal maupun sebagai program kreativitas mahasiswa (PKM), tentu sejalan dengan butir kedua tridarma perguruan tinggi, yakni penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun menjadi tanda tanya besar bila karya yang dihasilkan kemudian diterbitkan media akademik bukanlah karya orisinal buah pemikiran sang penulis.

Saya mengamini kebenaran adagium “Sastra tidak pernah jatuh begitu saja dari langi” kata Sapardi Djoko Damono. Hal yang sama pasti berlaku di seluruh bidang kepenulisan, bahwa karya yang sekarang merupakan pengembangan dari karya-karya sebelumnya. Namun tentu sepatutnya kita tanyakan kepada yang bersangkutan mengenai integritasnya sebagai bagian dari sivitas akademika.

Pencurian karya intlektual itu juga melanggar Kode Etik Peneliti dalam berperilaku pada butir keempat, yakni peneliti mengelola jalannya penelitian secara jujur, bernurani, dan berkeadilan terhadap lingkungan penelitiannya. Kode etik itu ditandatangani oleh Kepala LIPI pada 25 Juli 2013. Sungguh, tindakan plagiarisme itu tidak berbudi bawa laksana. 

Jika otak ibarat kolam ikan, makanan ikan adalah ilmu yang harus kita tebarkan di kolam itu. Apa yang terjadi jika ikan berhenti kita beri makan? Mati. Hal yang sama akan terjadi juga terhadap otak kita. Secara gampang dapat dikatakan, plagiarisme menumpulkan daya kritis intelektual dan mendegradasi seni berpikir.

Kegiatan plagiarisme juga merupakan suatu kontradiksi dari sikap jujur yang merupakan fondasi awal dari kehidupan berbangsa dan bertanah air. Berdasar analisis yang saya lakukan, kegiatan itu bisa dipicu oleh keinginan sang “pencuri” untuk mendapatkan hasil maksimal tanpa mengimbangi dengan kemampuan di bidang yang sesuai. Itu mengakibatkan banyak orang melakukan plagiasi agar dapat mengeluarkan karya yang bernilai di mata masyarakat, khususnya akademisi. Kegiatan itu acap dilakukan orang-orang besar karena mereka beranggapan dengan nama besar yang mereka sandang tidak akan ada orang yang mencurigai telah melakukan kegiatan kriminal tersebut.

Budaya dan Kasus Plagiarisme di Indonesia
Sistem pendidikan di negeri ini secara tidak langsung memang mendukung keterciptaan budaya contek-salin-tugas atau jawaban oleh peserta didik. Sejak kecil siswa diajari bahwa nilai nomor satu, peringkat satu adalah tujuan, dan sekolah adalah segala-galanya. Seakan lupa, kita hidup di masyarakat tidak menggunakan nilai, tetapi sikap. Budaya itulah yang seharusnya diubah demi menciptakan iklim pendidikan yang lebih baik.

Plagiasi bukan perkara baru di muka bumi ini. Kembali ke abad ke-11, Al-Khatib al-Bagdadi menyatakan Animals of Al-Jahiz diduga memplagiasi Al-Hayawan karya Aristoteles. Alan Dershowitz juga dituduh memplagiasi karya Joan Peters yang berjudul From Time Immemorial pada 1984. Harry Potter and The Goblet of Fire karya JK Rowling jiplakan dari The Adventures of Willy The Wizard, The Frost King milik Helen Keller jiplakan dari Frost Fairies karya  Margaret Canby.
Di Indonesia, negara berpenduduk 262 juta jiwa, tentu pencurian hak intelektual itu bukanlah sesuatu yang mengagetkan. Kita bisa mengambil contoh penyair kondang Chairil Anwar yang dituduh menjiplak sehingga berujung pada perkelahian dia dan sang lawan.

Di dunia pendidikan, terjadi perbincangan ramai ketika muncul kasus plagiasi oleh rektor UNJ pada Agustus 2017. Itu berujung pada pencopotan sang rektor dari jabatannya. Kira-kira apa yang terjadi dengan oknum rektor di Indonesia?

Rangkaian kejadian itu sebenarnya menimbulkan tanda tanya besar tentang sistem penulisan karya ilmiah di negeri ini. Tidak mungkin penerbitan suatu jurnal, khususnya, tidak menggunakan software secara umum untuk menyaring isi jurnal itu. Jadi sebenarnya apa yang hendak rektor (yang minimal bergelar doktor) lakukan dengan menjiplak?

*Mahasiswa Ilmu Komputer  Universitas Negeri Semarang

 

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *