Degresi Desa Terkutuk
Buku

Degresi Desa Terkutuk

Cover buku Samaran karya Dadang Ari Murtono [Doc.Indri]

Judul                   : Samaran
Penulis                : Dadang Ari Murtono
Penerbit              : Penerbit Mojok
Cetakan              : Pertama, Februari 2018
Halaman             :  iv + 200 halaman
ISBN                  : 978-602-1318-60-7

Dadang Ari Murtono adalah penulis asal Mojokerto yang karya-karyanya sudah banyak termuat di media massa Indonesia macam Suara Merdeka, Koran Tempo, Tribun Jabar, Padang Ekspres, Fajar, Jurnal Nasional, dan lainnya. Merujuk pada sejumlah karyanya yang khas, Dadang telah menyajikan cerita yang mampu meluruhkan pembaca dalam novel yang berjudul Samaran. Pria berambut gondrong itu kukuh menjadi penulis yang tidak diragukan lagi jiwa kesusasteraannya.

Pangkal daya tarik dari buku ini muncul ketika tahu bahwa “Samaran” adalah sebuah kampung misterius paling terpencil. Untuk menuju ke sana hanya ada jalan setapak menembus hutan lebat. Tidak banyak yang tahu akan adanya kampung tersebut. Membaca judul dari novel saja sudah membuat orang bertanya-tanya pun penambahan fragmen di balik kover “Salah satu wabah yang paling cepat menular adalah kecemasan dan ketakutan.”

Memangnya apa yang sebenarnya ada di balik kampung Samaran? Sebagian orang mungkin menanyakan dalam benak hatinya. Sebuah tanya tak akan mampu terjawab tanpa membuka lalu membaca bait per baitnya.

Menyentil Fenomena Nyata
Dismilaritas yang sangat ekstrem di masyarakat era sekarang dengan penduduk Samaran bisa dibuktikan dengan hubungan antar penduduk. Semua penduduk di Samaran memiliki hubungan yang amat dekat. Cerita orang kentut dalam Samaran, tidak lama kemudian lainnya akan segera mengetahui berbeda dengan masyarakat di era sekarang yang seolah memiliki gap, lebih memenangkan sikap egoismenya daripada harus berbaur dengan satu sama lain.

Ihwal penerimaan tamu pun turut bertentangan dengan masyarakat sekarang. Penduduk Samaran cenderung membeda-bedakan proses penerimaan tamu. Menerima tamu di dapur berarti mempersilakan untuk makan yang artinya sudah dianggap saudara oleh tuan rumah. Teras tempat penerimaan tamu untuk orang yang menyenangkan, berbagi cerita tanpa batasan. Kamar untuk tamu yang sudah amat dekat dan ruang tamu untuk orang di luar Samaran karena berbicara dengan orang baru sering muncul rasa canggung.

Berbeda dengan masyarakat di era sekarang yang tetap menjaga kesopanan jika menempatkan seorang tamu di ruang tamu. Tak etis rasanya ketika mempersilahkan tamu untuk duduk di teras. Bahkan mengundang pergunjingan ketika mempersilahkan tamu di dalam kamar.

Kisah Kampung Eksentrik

Kampung yang penuh dengan kejanggalan. Tiga makhluk putih Kedung Baya menjadi sumber kepercayaan mistik, deretan rumah dengan desain dengan menghadap arah yang sama yaitu barat, hingga kesurupan yang sudah menjadi hal yang wajar.

Totalitas pengkombinasian keganjalan dapat terlihat dari penggambaran tokoh. Marjin yang memiliki kekuatan tidur selama berjam-jam, semolek tubuh Yati yang mengundang birahi lelaki setelah menikah berubahlah hingga dijuluki Yati Gendut oleh penduduk Samaran, Aba Gabah sebagai dukun tersohor di Samaran, dan masih banyak keanehan dalam kampung ini.

Awal mula keganjalan ketika pagi Yati Gendut mencium bau kutukan dengan wajah pucat pasi dan napas terdengar berat sontak membangunkan Marjin yang sedang tertidur pulas. “…Bau kutukan itu mengandung sedikit amis ikan mati yang sudah berumur tiga hari. Kadar yang sedikit lebih banyak, ia juga memiliki bau karat besi.

Tapi porsi terbanyak adalah bau kenanga yang dicampur mawar. Dan kalau saja hidungmu sepeka hidungku, meski samar, kau akan bisa menemukan aroma cacing gelang yang kepanasan, tapi belum kering benar. Apa itu sudah jelas?”-halaman 7. Kemarahan Marjin terhadap istrinya membuat tekad untuk menemui Aba Gabah. Betapa terkejutnya Aba Gabah pun mengamini Yati dan menyatakan itu adalah bau kutukan.

Selain sebagai novel mistis dengan sentuhan seksualitas, pembaca akan disuguhi cerita tentang kesenian Ludruk sebagai proses pelestarian kembali kebudayaan Jawa. Tak hanya sampai pada kebudayaan, tak lupa juga Dadang menyuguhkan segelintir sejarah yang erat kaitannya dengan kerajaan Majapahit. Penyajian alur sedikit berpusar akan tetapi tetap tak meluruhkan niat untuk melenyapkan bait per bait sebab selalu timbul rasa keingin tahuan selepas habis lembar demi lembar.

Sangat menarik, itulah kata yang mewakili isi keseluruhan buku. Ada satu kutipan yang cukup membuat berkesan “Bagaimanapun, seorang pemimpin adalah representasi dari apa yang dipimpinnya. Dan penghinaan kepada seorang pemimpin, berarti penghinaan bagi seluruh apa yang dipimpinnya.”

Dwi Indah Indriani
Mahasiswa Sastra Indonesia 2017
Universitas Negeri Semarang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *