Meneguhkan Eksistensi Kampung di Era Modernisasi
Buku Seni

Meneguhkan Eksistensi Kampung di Era Modernisasi

“Buku ini lahir dari rahim jurnalisme narasi yang berusaha meneguhkan eksistensi kampung halamannya sendiri, di mana para penulis berkembang dan kemudian akhirnya mencintai tanah Kudus.”

Judul               : Yang Asing di Kampung Sendiri
Penulis             : Diyah Ayu Fitriani, dkk
Cetakan             : Pertama, November 2018
Penerbit            : Penerbit Parist, Kudus

 

Oleh : Kukuh Septio Aji

Di Kudus, sekumpulan anak muda terlibat sejak tahun lalu dalam sebuah upaya pengangkatan eksistensi kekayaan lokal daerah mereka masing-masing. Saya membayangkan, apabila tiap-tiap daerah, dalam lanskap perkotaan, sekumpulan anak muda seperti itu menuliskan (tentu juga menerbitkan) potensi kekayaan budaya maupun wisata. Lebih-lebih jika diakomodasi agar tidak berhenti pada sekedar wacana oleh Pemda setempat, maka berapa banyak masyarakat luas yang disinyalir akan lebih mencintai kampung halamanya, sehingga tidak perlu lagi kita merasa digerus oleh modernitas? Mari kita membayangkannya.

Buku ini lahir dari rahim jurnalisme narasi yang berusaha meneguhkan eksistensi kampung halamannya sendiri, di mana para penulis berkembang dan kemudian akhirnya mencintai tanah Kudus. Udhma, narator pertama setelah pengantar editor, menarasikan sepenggal kesaksian kuno yang kental dengan selubung mitologi di Desa Loram—lebih tepatnya, di sebuah masjid yang lebih terkenal dengan sebutan Masjid Wali.

Bagi penduduk lokal, Masjid Wali diyakini sebagai situs keramat karena jadi saksi bisu sejarah tradisi nganten mubeng yang digaungkan oleh Sultan Hadlirin, menantu Sunan Kudus yang menikahi salah satu putrinya yang bernama R. Prodobinabar.

Baca Juga Resensi Buku : Degresi Desa Terkutuk

Udhma mendokumentasikan beberapa kesaksian warga setempat, lebih-lebih trah Loram (keturunan asli Desa Loram, bukan persilangan), di antaranya adalah kesaksian yang disampaikan Afroh, terhadap kejadian yang menimpa Gunawan. Kebuntuan yang sedang dialaminya sebab sudah menikah selama bertahun-tahun namun belum kunjung dikaruniai momongan disimpulkan sebagai akibat tidak melaksanakan tradisi nganten mubeng pada waktu itu.

Usai membayar kealpaan tradisi tersebut, menurut kesaksian Afroh, istri Gunawan tak lama kemudian telah mengandung janin (Hal. 10). Meski tidak sepenuhnya ilmiah, warga setempat meyakini bahwa hal-hal semacam itu terjadi karena telah enggan menghormati tradisi nenek moyang di daerah tersebut.

Kekukuhan nilai mitos semacam itu tentu menjadi musuh alami modernisasi yang notabene bersifat rasional-empiristik. Mari kita lihat, dengan tidak sama sekali mengatasnamakan sikap skeptis, dapatkah kita, sebagai kaum beragama, menanggalkan secara total dari keyakinan supranatural dan adikodrati? Tentu hal tersebut mengada-ada. Bahkan di zaman modern seperti ini, kita patut mengakui bahwa kita telah diselamatkan oleh nilai mitologi yang masih populer serta berkembang hingga saat ini.

Masyarakat kita sekarang masih nyaman dan patuh dengan keberadaan mitos yang menyebutkan bahwa ritual bersih desa secara struktural dan kultural adalah penting, sebab nenek moyang terdahulu telah melakukan tradisi semacam itu, daripada harus memahami poster edukasi maupun jurnal ilmiah agar tidak membuang sampah sembarang karena menyebabkan bencana banjir dan polusi tanah.

Baca Juga Resensi Buku : Belajar Realitas Terba(l)ik dari Kisah-kisah Malcolm Gladwell

Lanskap kota Kudus yang berhasil didokumentasikan lainnya adalah etos kemanusiaan dan karakter khusus masyarakat Kudus. Oleh Imam Khanafi, diangkatnya etos Gusjigang, sebuah akronim dari kata Bagus, Ngaji, dan Dagang. Pada HUT ke-50 Keluarga Kudus Yogyakarta (Organisasi daerah untuk mahasiswa Yogyakarta yang berdomisili di Kudus) menggelar acara diskusi dengan tema, “Gusjigang Nyawiji Ing Sukma” di gelanggang olahraga Wergu Wetan, Kudus, sedikitnya mampu menginterpretasikan bahwa karakter Gusjigang telah mengakar kuat pada perilaku, sikap dan keyakinan masyarakat Kudus.

Meski sejauh ini literatur Gusjigang belum terlalu banyak dikaji, namun pada level praktis, eksistensi Gusjigang sudah mengudara di mana-mana. Warga Kudus mempercayai, dengan bagus (baik akhlaknya, sholeh), ngaji (belajar, terutama berkenaan dengan agama), dan dagang (melakukan usaha perekonomian) sudah cukup memenuhi kebutuhan pokok sebagai manusia beragama, yaitu habluminannas (relasi sosial manusia dengan manusia) dan habluminallah (relasi transenden manusia dengan Tuhan) (Hal. 164).

Baca Juga Resensi Buku : Melihat Kemanusiaan di Segitiga Setan

Kelahiran etos Gusjigang tidak dapat dipisahkan dari pengaruh Syeikh Ja’far Shodiq, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus. Warga pepet menoro (rumah warga yang berhimpitan dengan bangunan masjid menara), justru memiliki kedekatan secara semantik, dengan menyebut Sunan Kudus sebagai Simbah (kakek). Simbol kedekatan ini kemudian merata ke seantero Kudus, sebab mereka yang berada di daerah terjauh dari pusat kota juga merasa memiliki identitas yang sama. Hal ini yang kemudian meneguhkan eksistensi etos warga Kudus dalam beribadah maupun bersosialisasi.

Sekelompok pemuda yang sedang mencoba menarasikan kotanya sendiri ini, barang tentu tidak berhenti pada fungsi praktis dokumentasi saja, namun lebih dari itu, adalah menyemai spirit baru terhadap napak jejak sejarah yang kian ditinggalkan, agar mengudara kembali, melawan arus besar modernisasi.

Refleksi terhadap eksistensi kampung halamannya sendiri, seperti identitas moral dan sejarah lokal, diejawantahkan melalui prosa jurnalisme yang mumpuni menjadikan buku ini panutan bagi kalangan muda agar senantiasa bercermin pada kekayaan tanah lahirnya sendiri, bukan justru dengan tanah yang bahkan tidak kita kenali secara serius.

Mahasiswa Psikologi 2016
Universitas Islam Sultan Agung Semarang 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *