Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Cerpen

Kimberly

Ilustrasi Cerpen Kimberly [Ilustrator Linikampus/Hasnah]
Ilustrasi Cerpen Kimberly [Ilustrator Linikampus/Hasnah]

Oleh: Eka Pranawaningsih*

Pukul sebelas malam.

Kulirik jam dinding di atas tv dan mengeluh karena badanku pegal. Aku sudah menidurkan diri di sofa lusuh ini sejak pukul empat sore, tapi tak kunjung beranjak walau perutku keroncongan. Namun, seketika aku bangkit dan meraih sweaterku teringat perkataan ibuku untuk tidak meninggalkan makan malam.

Kubuka kulkas meski mata setengah mengantuk, mengambil sebuah apel, lalu menuangkan segelas susu. Saat itu kulihat ada Arroz Con Pollo di meja dengan sepucuk surat. Nasi goreng itu kini sudah mendingin dan aku tahu pasti Roxana menyelinap masuk dan meletakkannya ketika aku tertidur.

Makanlah, sayang. Semoga harimu menyenangkan!”—Roxana

Roxana adalah istri ayah yang baru. Mereka menikah setahun yang lalu. Tidak seperti istri pertama ayah; ibuku, Roxana lebih suka mengajak aku dan ayah makan di restoran. Aku tidak pernah melihat dia memasuki dapur, bahkan aku berani bertaruh bahwa dia tidak akan bisa membuat Salad Quinoa. Salad sederhana seperti yang sering ibuku buatkan dulu.

Hal yang membuatku tidak begitu senang dengan Roxana adalah kenyataan bahwa dia selalu mencampuri urusan dan mengatur kehidupanku. Entah sudah berapa kali dia menelpon dan memintaku untuk berhenti bekerja dan ikut ke perusahaannya. Namun, selalu kutolak dengan alasan tidak enak menerima bantuan orang lain. Terkadang Roxana bersikeras membujukku untuk pindah. Dan aku akan berangkat bekerja di hari itu juga … ke La Canasta.

Hampir setahun lamanya aku bekerja di La Canasta. Selama itu pula aku tak pernah mengalami hal ini. Seseorang telah menguntitiku setiap malam. Dia akan berdiri di perempatan jalan Calle Jeerusalen, lalu kemudian mengikutiku perlahan sampai ke toko. Hingga malam itu, ia berdiri di depan toko lalu tersenyum padaku dalam gelap, dan membuka hoodienya. Aku terkejut dan tidak bisa mengatakan apapun. Bahkan konsentrasiku pecah karenanya.

“Kimberly, ada seorang pria yang terus menatap ke sini. Dia jelas-jelas menatapmu. Pacarmu?” tanya Valerie; manager di sini.

“Bukan, dia hanya teman sekolahku dulu.”

“Ke luarlah dan temui dia. Kau tahu? Aku terlalu takut melihat dia,” kata Valerie, diikuti tawanya dan pergi ke dapur untuk mengurus Queso Helado.

Proyek La Canasta adalah mengeluarkan menu baru untuk menyambut musim panas. Queso Helado menurut buku La Memoria del Sabor adalah es krim lembut yang dibuat dengan almond, tapi kemudian koki merubahnya menjadi kelapa. Makanan ini sangat popular, hampir bisa ditemukan di kebanyakan restoran Peru. Valerie pasti sudah memikirkan keuntungan dari mengeluarkan menu yang sangat mudah dijumpai.

“Ayo pergi akhir pekan ini,” katanya ketika aku ke luar dari toko.

Aku diam. Walter—pria yang selama ini menguntitku—seharusnya tahu bahwa aku tidak ingin bertemu ataupun berhubungan lagi dengannya. Tapi untuk alasan yang kurang jelas, dia membuat jantungku berdebar lebih kencang dan merasakan sensasi seperti yang dulu pernah kualami. Tangannya yang kasar baru saja membelai pipiku. Bisa kukatakan dia adalah orang pertama dan terakhir yang boleh menciumku.

“Kau masih tetap sama,” katanya lembut.

Ya, sepertinya aku masih tetap sama. Bahkan setelah beberapa tahun aku tetap tidak bisa melupakan cinta pertamaku itu. Masih terbayang saat Walter menjadi pacar pertamaku. Di musim dingin itulah dia menyatakannya, saat kami berjalan bersama di acara wisata sekolah. Ingin rasanya aku megulang kembali hari-hari itu. Walter menjadi orang pertama yang mengajarkanku banyak hal … dan aku bersyukur akan hal itu.

Tapi sepertinya kisah cinta remaja itu harus terputus di tengah jalan ketika Walter jatuh hati pada ketua klub Cheerleader. Aku tidak mau menyebut namanya bahkan hingga saat ini. Menyedihkan bahwa pria itu mudah sekali digoda oleh wanita lain, di saat dia sudah berhubungan denganku.

“Sampai jumpa.”

Alih-alih melihat kepergiannya, aku lebih fokus pada pekerjaanku dan kembali ke toko. Melupakan semua masa lalu dengannya. Tidak seharusnya aku memikirkan masa itu di saat umurku hampir dua puluh lima tahun.

Esoknya, pukul enam pagi aku sudah selesai dengan adonan Queso Helado. Aku duduk di sofa panjang, lalu terkejut mendapati Walter masuk ke toko padahal toko ini masih tutup. Biasanya hanya karyawan yang diizinkan masuk ke La Canasta di jam-jam ini. Juga kepada kurir yang mengantarkan bahan pokok ke sini.

Baca juga: Selendang Merah Itu Bercerita

Kami tidak banyak bicara selayaknya teman yang sudah lama tidak bertemu, ia bahkan tidak membahas tentangnya ataupun tentangku. Iris hitamnya kini membuatku tak nyaman dan aku takut dengan rahasia yang disembunyikannya. Jari manisnya kembali menyita perhatianku. Sebuah cincin melingkar di sana. Meskipun dia mencoba menyembunyikannya kemarin, tapi aku bukan orang bodoh yang tidak akan menyadarinya.

“Aku mencintaimu,” katanya tiba-tiba, “sangat.”

“Lebih daripada tunanganmu?”

Dia terkikik, “aku bahkan tidak mengenalnya.”

“Jadi apa yang akan kau lakukan?”

“Boleh aku menciummu?” tanyanya kikuk.

Aku bangkit untuk mengantarkannya sampai pintu depan. Aku ingin mengatakan padanya untuk melepas hoodie itu. Ini adalah musim panas dan melihatnya memakai pakaian setebal itu memunculkan rasa penasaranku. Dia tersenyum dan mengatakan bahwa dia akan selalu memakainya, karena itu adalah hadiah pertamaku untuknya. Itu manis tapi aku tidak akan jatuh kepadanya untuk kedua kali.

Minggu berikutnya datang lebih cepat dari dugaanku. Mungkin ini karena Walter yang selalu ada di sampingku. Kukatakan bahwa aku tidak kesepian dan bisa pulang sendiri, tapi dia sudah lebih dari dua kali mengantarku pulang. Terkadang dia hanya menatap La Canasta—tanpa ada niatan masuk—dan pergi setelah melihatku beberapa saat. Sepertinya dia terlalu khawatir padaku.

Kami akhirnya bertemu di perempatan jalan Calle Jeerusalen, tempat Walter sering berdiri menatapku dan mulai menguntitku. Aku tidak menyangka bahwa pria yang sering kupikirkan itu akan muncul di tempat seperti ini. Informasi yang kutahu terakhir kali adalah bahwa Walter ‘terpaksa’ berkuliah di London atas keinginan ayahnya. Tapi kini dia menghampiriku dengan senyum tipis, lalu tanpa izin menggenggam tanganku. Aku pasti akan menyesal jika menolaknya. Kesempatan tidak akan pernah datang dua kali.

“Kita berangkat sekarang?”

“Aku tidak ingin terburu-buru,” ucap Walter, “kau ingin menikmati senja bersamaku, ‘kan?”

“Itu dulu,” ucapku, “aku hampir berusia dua puluh lima tahun sekarang.”

“Itu masih dua bulan lagi. Juni, tanggal 30.”

“Kau masih mengingatnya?”

“Dan aku berani bertaruh bahwa kau lupa.”

Aku tertawa. Memang benar bahwa aku lupa, bahkan tidak pernah mengingat hari ulang tahun Walter.

Kami sampai di Mirado de Yanahuar. Sebuah bangunan terkenal yang terletak tidak jauh dari toko roti La Canasta, sekitar lima belas menit ketika kau menggunakan mobil. Tapi karena kami berjalan, akan menghabiskan sekitar tiga puluh menitan. Pun jika Walter tidak membuatku berjalan lebih lambat dari biasanya. Dia terlihat bersemangat dan perasaannya sedang baik, jadi kukesampingkan rasa penasaranku pada jarinya yang tak lagi memakai cincin.

Dari tempat kami berdiri, terlihat kota Arequipa yang dilatari gunung-gunung yang biasanya berpuncak salju. Mirado de Yanahuara dikelilingi oleh pohon palem yang mengingatkan akan kota-kota di Andalusia. Kawasan ini terkenal dengan es krim keju—Queso Helado—terbaik se-Arequipa. Namanya memang es krim keju, tapi es krim ini tidak menggunakan keju, akan tetapi menggunakan tiga jenis susu; susu segar, susu evaporasi tanpa gula, dan susu kental manis.

Petang datang. Seandainya bisa, aku ingin menghentikan waktu di mana aku akan selalu bersama Walter.

Walter mengangkat sebelah tangannya, menunjukkan jarinya yang sudah tidak mengenakan cincin. Dia tidak menunjukkan ekspresi apapun, kecuali sedikit kegelisahan yang bisa kulihat. Dia berkeringat dan bibirnya kini bergetar.

“Grace; tunanganku mati kemarin malam. Aku tidak ingin menikah dengan siapa pun kecuali dirimu, Ly.”

“Apa?” aku terkejut. Bukan karena Grace mati, tapi karena Walter mengatakannya lalu kulihat senyumnya miring.

“Mereka akan segera tahu aku adalah pembunuhnya. Dan sebelum aku dijebloskan ke penjara, aku harus membuatmu aman dari tangan-tangan mereka. Mereka tidak akan membiarkanmu hidup tenang,” katanya, “jadi, aku melakukan ini karena aku sangat mencintaimu, Ly.”

“Walter, apa kau sudah gila? Hentikan omong kosongmu!”

“Mereka sedang memburuku, Ly. Kau pikir kau akan aman jika aku tertangkap?”

“Hentikan! Kumohon!”

“Bagaimana jika kita melarikan diri bersama? Kau akan aman bersamaku. Aku yakin itu.”

Senyum Walter yang janggal justru membuatku ragu. Dia tidak pernah segila ini saat berpacaran denganku—dulu.

“Mengaku dan serahkan dirimu pada polisi. Kupikir itu yang terbaik.”

“Tidak akan,” katanya, “aku tidak akan melakukan itu.”

“Walter…”

“Kau tidak akan aman. Kau hanya akan aman bersamaku. Kau hanya perlu bersamaku. Selamanya…”

“Walter…” kataku frustasi.

Walter mengambil napasnya dalam-dalam, “kau juga harus mati.”

 

*Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Jepang 2018, Unnes.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *